Dengan mengangguk kecil, Davian memberikan kopernya. "Ibu tidak ikut kemari, Pak?"

"Tidak, beliau berhalangan ikut karena ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan. Mari, mobilnya ada di sebelah sana."

Mengikuti langkah pria berkemeja rapi itu, Davian sedikit mengesah kecewa. Gejolak bersemangat dalam dirinya seketika padam saat mendengar bahwa Ibunya tidak bisa hadir untuk menyambutnya di Bandara, "padahal sudah sejak dua hari yang lalu aku membayangkan seerat apa pelukan Ibu hari ini di Bandara," gumam Davian sembari memasuki mobil.

Perjalanan yang ditempuh Davian di atas awan selama hampir satu hari, tak membuatnya dapat langsung bertemu dengan yang tersayang. Kemacetan kota Jakarta saat jam pulang kerja kini membuatnya harus memijat pelipis, bising kendaraan mengganggu fokus terhadap pekerjaannya.

"Pak, kira-kira dibutuhkan waktu berapa lama lagi untuk bisa sampai ke rumah?" Davian menutup laptopnya.

"Sekitar dua puluh menit lagi, Tuan. Mohon di maklum, di Jakarta apalagi saat jam pulang kerja, jalanan memang sering macet," sahut si pengemudi. Sesekali Davian melihat laki-laki yang lebih tua darinya itu mengeluh pegal dibagian punggung.

"Iya, saya maklum, Pak. Tapi saya punya satu permintaan buat Bapak," ucap Davian.

"Permintaan apa, Tuan?"

"Tolong jangan panggil saya Tuan, umur Bapak lebih tua daripada saya. Panggil saja Dav, atau Davian, itu terdengar lebih nyaman di telinga."

"Oh iya, Den Davian. Maaf ya, Bapak sebenarnya bingung mau panggil kamu pakai panggilan seperti apa, ini kali pertama saya ketemu sama Aden," sahutnya membuat Davian tersenyum.

Semakin pudarnya layung, jalanan yang dipenuhi kemacetan mulai berkurang. Dibukanya kaca mobil sehingga udara dingin dengan bebas langsung menyentuh pori-pori, bangunan yang menjulang tinggi sekarang sudah bertambah banyak. Banyak pula hal lain yang berubah selama dua belas tahun ini.

"Eh, Pak. Taman yang di sebelah rumah sakit itu, apa dipindahkan?" Davian mengerjap beberapa kali saat melihat taman yang dulu sering dikunjunginya sekarang sudah tidak ada.

"Taman dekat supermarket tadi, ya? Tidak dipindahkan, Den. Tapi lahannya digunakan untuk memperbesar rumah sakit, jadi sekarang sudah tidak ada, atau mungkin dipindahkan ke dalam rumah sakit, saya kurang tahu. Ngomong-ngomong soal rumah sakit, kata Ibu mulai besok saya antar jemput Aden ke sana, ya?"

Davian mengangguk mendengarkan, "iya, Pak. Saya pindah ke Indonesia karena dipindah tugaskan ke rumah sakit itu," sahut Davian. "Tapi untuk antar jemput, sepertinya itu belum pasti, rencananya saya lebih baik bawa mobil sendiri saja, takutnya nanti bertabrakan dengan jadwal antar Ibu."

"Ohh, iya, Den."

"Kalo boleh tau nama Bapak siapa? Biar bisa lebih kenal lagi," tanya Davian seperti tak ingin kehabisan topik pembicaraan.

"Nama saya Kartano, panggil saja Karta. Kalo nama Aden, saya sudah tahu dari Ibu. Beliau sering cerita tentang Aden ke saya, katanya rindu karena dua belas tahun tidak bertemu," jawab Pak Karta membuat Davian kembali mengulas senyum. Bapak kepala keluarga ini, sepertinya seru jika dijadikan teman mengobrol. Berbeda dengan di New York, cenderung lebih formal dan serius.

"Iya, Pak. Saya selama dua belas tahun di sana, memang tidak pernah pulang. Panggil saja saya anak durhaka karena lebih mementingkan karir dan pendidikan."

Obrolan mulai terdengar menarik.

"Wah jangan gitu dong, Den. Kalo Aden anak durhaka mungkin sekarang masih di New York dan berniat untuk tidak pernah pulang," ucap Pak Karta. "Saya jadi ingat anak saya, dia juga nggak pernah pulang selama kerja di Jepang. Tapi setelah tujuh tahun, akhirnya pulang juga."

"Anak Bapak sekarang menetap di sini?"

Terlihat dari pantulan kaca, Pak Karta tersenyum lalu mengangguk. "Iya, dia sekarang bikin bisnis sendiri. Dengar cerita Aden dari Ibu, saya jadi ingat sama anak saya dulu," jawab Pak Karta membuat Davian terdiam.

Entahlah, mungkin perkataan Pak Karta mengubah pola berpikirnya. Mau sesibuk apapun seorang anak, mereka tidak akan pernah melupakan kedua orang tua yang sudah merawatnya sedari kecil.

Beberapa menit kembali hening, Pak Karta yang sibuk mengendarai mobil, dan Davian yang kembali menatap layar laptop, sesekali merenungi ucapan supir pribadi Ibunya. Suasana kemacetan yang mulai berkurang, tak membuatnya terlalu berfokus pada dokumen  yang sudah menumpuk di draft.

Tak lama, mobil yang dinaiki Davian melewati sebuah pagar rumah berwarna hitam yang kokoh, lalu mulai memasuki pekarangan rumah yang terlihat luas, terdapat banyak tanaman hias di tepi-tepi pagar, jangan lupakan kolam kecil ditengah-tengah pekarangan, di mana dulu dirinya sering bermain air di sana.

"Den, ini sudah sampai di rumah."

"Iya, Pak, Bapak duluan saja," sahut Davian lalu diangguki. Pak Karta yang sudah berada di luar mobil dengan kedua koper milik Davian berjalan terlebih dahulu.

Setelah membereskan barang-barangnya, dengan segera dibukanya pintu mobil. Satu langkah kakinya menginjak tanah, Davian merasa waktu berhenti. Seakan memberi waktu untuk dirinya kembali mengingat memori beberapa tahun lalu yang terjadi di rumah ini. Rumah bercat putih ini tak ada bedanya dengan dulu.

Dua langkah lalu tiga langkah, Davian berjalan hendak menghampiri pintu rumah yang sedikit terbuka. Mungkinkah ada pesta kecil-kecilan yang disiapkan Ibunya sebagai penyambutan?

"Diam kamu di situ!"

"Ibu?" Menatap wanita lansia yang terdiam kukuh dengan wajah garang beberapa meter di depannya, tepat di pintu rumah. Davian menganalisa bahwa situasi tak akan baik-baik saja.

"Baru ingat pulang setelah dua belas tahun?!"

Tercekat, napas Davian langsung tercekat saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ibunya, rasa rindu dan bahagia bisa kembali pulang ke rumah sirna begitu saja.

"Sini kamu!" Suara nyaring sang Ibu lagi, menyapa gendang telinga Davian, membuat pria itu terkejut beberapa saat. "Sini!" panggilannya lagi.

Dengan langkah ragu, akhirnya Davian menuruti perintah, ia mengikis jarak yang tercipta dengan langkahnya yang lebar. "Ma-maaf, maaf Davian baru pulang, Bu."

"Anak nakal, merantau ke negara orang terlalu lama itu nggak baik!" Mata melotot tajam yang sudah lama tak dilihatnya, sukses membuat Davian menunduk. "Ibu kangen sama kamu!" Davian menanggapinya dengan senyuman kecil canggung, apa amarah Ibunya sudah reda?

"Sini peluk, anak nakal!" Menghembuskan napas khawatirnya, Davian yang sudah merasa sangat bersalah dan menganggap dirinya benar-benar sebagai anak durhaka, akhirnya menatap sang Ibu lalu memeluk wanita tangguh itu.

"Sini peluk, anak nakal!" Menghembuskan napas khawatirnya, Davian yang sudah merasa sangat bersalah dan menganggap dirinya benar-benar sebagai anak durhaka, akhirnya menatap sang Ibu lalu memeluk wanita tangguh itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ohayou, Kanis kembali dengan cerita baru. Mohon maaf cerita *Bunda aku, bad girl* belum bisa lanjut. Kanis pengen wujudin wish tahun ini dulu 🙌 Semoga kalian suka dengan kisah Davian.

Evanescent [TERBIT]Where stories live. Discover now