"Ikut?" Lana mengernyit tak mengerti. "Ikut ke mana?"

"Lho, lo nggak tahu? Gue diminta kadiv lo buat ketemuan nanti siang, makanya gue sekalian aja ke sini, sekalian kuliah online."

"Kadiv? Kak Aryani maksud lo?"

Danar mengangguk. Kok Aryani tidak memberi info apa-apa?

"Terus kok lo cuma sendiri?"

"Oh, Kak Aryani memang minta perwakilan doang yang datang. Tadinya mau Marvel—'cause he's still our leader, by the way. Tapi dia nggak bisa karena mau ngurus keperluan pindah,"

Lana menatap Danar kaget. Marvel mau pindah? "Pindah? Ke mana, Nar?"

"Lho, bukannya Marvel sudah pernah cerita kalau dia pengin banget kuliah di Singapura?"

Lana makin kaget. Marvel memang sering sekali membicarakan mimpinya untuk kuliah di Singapura, sejak dulu. Lana sampai hapal di mana universitasnya, lalu ke mana saja Marvel ingin pergi, tempat favoritnya, sampai makanan-makanan yang ingin ia coba kalau menjajakkan kaki di negara itu. Tapi Lana tidak tahu kalau mimpi tersebut akan benar-benar diwujudkan, apalagi setelah Marvel akhirnya memilih kampus yang sama dengan Lana, di Indonesia.

"Dia sudah lama nggak nyinggung soal itu. Gue kira dia lupa," jawab Lana lemas.

"Ya nggak mungkin, lah, Lan. Mana mungkin mimpi segede itu dilupain," ucap Danar.

Lana melirik jam tangan di lengan kirinya, dalam hati mensyukuri jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. "Nar, sori banget, gue harus kelas. Gue duluan, ya! See you!"

Lana membayar makanan yang tadi ia pesan kemudian langsung berlalu. Ia tidak tahan, rasanya sesak. Bukankah ia harusnya senang karena bisa benar-benar jauh dari Marvel? Bukankah justru itu akan membuat usahanya melupakan Marvel jadi lebih mudah? Harusnya begitu. Tapi perasaan tidak bisa bohong, 'kan?

***

Sudah lewat setengah jam sejak kelas dimulai. Penjelasan dosen yang sedari tadi berpindah antara slide satu ke slide lainnya di layar proyektor kini berganti menjadi pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan kepada mahasiswa.

"Eleana." tunjuk Mbak Irma, dosen Psikologi Konseling yang terkenal dengan pemikiran kritisnya. "Boleh kamu sampaikan bagaimana pendapat kamu mengenai mekanisme superioritas?"

Mendengar namanya dipanggil, Lana langsung terperanjat. Pertanyaan Mbak Irma itu, seharusnya ia bisa menjawab. Materi tersebut sudah ia pelajari semalam, tapi entah kenapa semuanya lenyap karena kini, kepalanya penuh terisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kepindahan Marvel.

"Eleana? Apakah pertanyaan saya kurang jelas?" tanya Mbak Irma lagi.

"Oh, maaf, Mbak. Saya tadi kurang memperhatikan," ucap Lana hati-hati. Ia bisa menangkap raut kecewa dari wajah Mbak Irma. Namun sesegera mungkin wanita berperawakan tinggi itu melempar pertanyaannya kepada mahasiswa lain.

"Lan, lagi mikirin apa, sih? Biasanya lo selalu mindful kalau di kelas Mbak Irma," bisik Karla yang duduk tepat di samping kiri Lana. Yang ditanya enggan bersuara, ia hanya mendengus dan menggeleng seraya menaikkan kedua bahunya. Lana tidak sepenuhnya bohong karena meskipun ia tahu apa yang sedang dipikirkannya, namun sesungguhnya ia tidak mengerti juga kenapa otaknya tiba-tiba memikirkan hal itu.

"Lihat, deh, Na," Marvel menyodorkan layar handphone-nya kepada Lana yang sibuk mengunyah camilan. "Keren, ya? Kalau aku kuliah di sini nanti, aku bisa ngewujudin cita-citaku jadi musisi profesional." lanjutnya. Lana bisa menangkap antusiasme Marvel kala itu, matanya berbinar dan seyumannya merekah lebar. Belum pernah ada hal lain yang membuat Marvel seperti itu sebelumnya.

Seakan merasakan hal yang berbeda, Lana menghentikan kunyahannya dan langsung menatap Marvel nanar. "Jadi, kita akan pisah kampus?"

Menangkap ketidaksetujuan Lana, Marvel mengernyit. "Ya, nggak apa-apa, dong? Yang penting kan komunikasinya tetap jalan," ucapnya meyakinkan.

Lana tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya beberapa saat baru kembali berbicara. "Alright. Tapi janji ya, kalau kamu beneran kuliah di sana, kamu jaga diri?" pinta gadis itu sambil merangkul lengan Marvel dan menyandarkan kepalanya beberapa detik sebelum kemudian memandang lelaki itu lagi, "Jaga hati juga!"

Marvel tertawa pelan dengan tangannya mengacak rambut Lana. "Iya, sayaaang..."

"Nih, lihat, deh," lelaki itu kembali memperlihatkan layar handphone-nya kepada Lana. "Terakhir waktu kelas tujuh, aku sama Mama pergi ke sana. Kami makan di salah satu restoran yang jual laksa. Enaaak banget! Aku kangen sama rasanya. Kayaknya kalau nanti aku ngerantau makan itu setiap hari pun nggak bakal bosan," ocehnya sumringah.

Di sisi lain, hati kecil Lana mengharapkan lelakinya tidak pernah benar-benar pergi jauh. Semua orang boleh bilang ia egois, tapi Marvel satu-satunya yang ia punya. Entah bagaimana nanti kalau ia tak lagi bisa menelepon Marvel setiap kali mood-nya hancur karena perbedaan kesibukan. Entah ke mana ia akan pergi sesegera mungkin ketika satu-satunya yang ia inginkan selain memeluk Marvel adalah menghilang dari dunia. Dalam bayangan Lana, mungkin rasanya akan jadi sekacau itu; karena hanya Marvel yang tahu keadaannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 29, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Endless LoopWhere stories live. Discover now