4

2 0 0
                                        

APA lagu 'on repeat' yang selalu ada di deret teratas playlist-mu hanya karena liriknya terlalu jahat mewakili perasaan? U Lana, lagu berjudul "Kisah Tak Sempurna" adalah on repeat-nya. Perempuan itu pernah mengulang lagu tersebut mungkin sepuluh kali sehari selama berminggu-minggu penuh dua tahun lalu. Lucu, ya? Bagaimana perasaan bisa diwakili oleh barisan kata-kata yang ditulis oleh orang yang jangankan mengerti isi hatimu, tahu kau hidup pun tidak.

Lana menarik napas panjang setelah menyelesaikan bait terakhir. Semua kru saling memberi high five setelah semua lagu rampung ditampilkan. Ini adalah salah satu dari sekian banyak malam minggu yang Lana habiskan untuk mengisi live music—bukan belajar, bukan mengurus dokumen kepanitiaan, bukan juga hangout dengan teman.

"Good job, Lan. Tadi lo menghayati banget, ya, kayaknya?" puji Mas Andre, pemain keyboard yang hari ini mengiringi nyanyian Lana.

Iya, lah, menghayati. Kayak lagi curhat gue. "Yah, semacam heartbreak anthem soalnya, Mas," jawab Lana sekenanya.

Mas Andre menepuk-nepuk pundak Lana sambil berlalu. "Masih soal yang kemarin?"

Lana menghela napas, lagi. Kayaknya satu dunia sudah tahu, ya?

Ada yang menggelitik ingatan Lana tiap kali orang-orang dari luar inner circle-nya membahas soal Marvel setalah hubungan mereka selesai. They used to be like stamps—di mana ada Lana, di situ ada Marvel, and vice versa. Jadi bagaimana rasanya berjalan sendirian setelah menghabiskan setiap hari, dalam waktu bertahun-tahun, bersama orang yang sekarang kau tahu tidak mungkin lagi bisa kau repotkan? Lana tahu mungkin banyak yang bernasib lebih sial dari dirinya. Mungkin, di luar sana sebagian orang sudah menghabiskan lebih dari satu dasawarsa dengan orang yang—tadinya—spesial bagi mereka. Lalu tiba-tiba hubungan tersebut harus selesai dan mau tidak mau, kebiasaan yang sudah menahun harus digantikan dengan kebiasaan yang baru. Sepi? Clueless? Mungkin itu perasaan yang muncul ketika manusia dipaksa keadaan untuk melepas sesuatu yang menurut garis takdir tidak diciptakan buat mereka. Meskipun empat tahun mungkin tidak cukup lama bagi segilintir orang, tapi Lana merasakan perasaan yang persis sama dengan mereka yang ditinggalkan setelah belasan, puluhan tahun. Rasanya... ada setengah bagian yang hilang dari diri Lana setelah Marvel tidak lagi menjadi 'siapa-siapa'-nya. Berjalan sendirian tidak memberi Lana perasaan utuh. Nyatanya, hampir satu tahun Lana habiskan dengan sempoyongan seakan sebelah kakinya sudah patah.

"Kamu kenapa?" Marvel, laki-laki itu, seperti biasanya memperhatikan Lana. Namun kali ini berbeda, ia menyuarakan kekhawatirannya.

Lana mengangkat kepalanya, mendapati Marvel duduk di sampingnya, dengan tatapan yang sulit ia artikan.

"You need this?" ia menyodorkan satu plastik kecil berisikan tisu yang langsung diambil Lana.

"Thanks," gadis itu berterima kasih. Ada sedikit getaran di suaranya. Tidak kentara, tapi Marvel masih bisa mendengar itu.

"Mau cerita, nggak?" tanya Marvel, lebih seperti menawarkan. "Siapa tahu bisa bantu kamu,"

Tidak ada perasaan yang lebih melegakan dari buang angin setelah menahannya seharian, menggaruk kulit yang sangat gatal akibat gigitan serangga, juga mengetahui bahwa masih ada seseorang yang mau mendengarkan ceritamu—tanpa penghakiman—setelah kau habiskan waktu cukup lama meyakini bahwa di dunia yang semrawut ini, kau hanya sendirian.

Marvel menyuguhkan perasaan itu. Ketika Lana berada di titik terlemahnya, Marvel ada di sana. Hadir, mendengarkan, mendekap Lana dalam hening. Membuat Lana percaya sekali lagi kalau cinta itu bukan bualan para penyair belaka. Cinta itu ada, meski ternyata tetap tidak bisa menjadi alasan bagi manusia untuk takabur, lantas berpikir kalau mereka akan punya waktu selamanya untuk bersama dengan orang yang mereka sayangi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 29, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Endless LoopWhere stories live. Discover now