BAGAIMANA rasanya menghindari seseorang yang mau bagaimanapun, langit dan bumi tetap tidak mengizinkanmu putus hubungan dengannya? Buat Lana, rasanya tidak bisa digambarkan. Absurd, bikin pening. Terhitung tiga hari sejak Aryani memintanya menghubungi Unknown dan sejak itu pula Lana seakan dihantui sesuatu yang ia pun tak tahu apa namanya. Intinya, tidurnya tidak tenang, pikirannya melayang ke mana-mana ketika seharusnya ia memperhatikan dosen di kelas, nafsu makannya juga jadi berantakan. Selebay itu? Iya, begini urusannya kalau menyangkut Marvel. Lana tidak bisa tenang. Apalagi mengingat usahanya yang berjalan mulus dua tahun belakangan. Kenapa tiba-tiba jadi runtuh begitu saja?
"Tapi Unknown bukan Marvel doang, kan, Lan? Lo bisa hubungi yang lain," Sero menepuk-nepuk pundak sahabatnya yang kini membenamkan wajah kusut di balik tas.
"Ya gue juga mikir gitu, Ro. Tapi kan gimana pun juga akhirnya gue mesti berurusan sama dia," Lana mengacak-acak rambut ponytail-nya.
"Kayaknya lo memang ditakdirin sama Marvel, sih, Lan," celetuk Karla membuat Lana semakin frustasi. "Lagian lo kenapa sih menghindar segitunya? Udah dua tahun juga, kan?"
Mendengar ucapan Karla, Sero lalu mengangguk setuju. "He-eh, emang lo belum move on, ya?" tanyanya asal.
"It's not that simple, guys!" Lana mendengus. "Yang terjadi antara gue sama dia.. not that simple,"
Karla menatap Sero yang juga menatapnya kebingungan. Mereka baru mengenal Lana dua tahun. Baru bersahabat tiga bulan, Lana sudah putus dengan Marvel. Sejak itu, Lana tidak pernah banyak bercerita soal hubungannya. Yang Karla dan Sero tahu, hubungan Lana dan Marvel sudah terjalin sejak keduanya kelas tiga SMP. Cukup wajar kalau Lana perlu waktu yang tidak sebentar untuk benar-benar melupakan Marvel.
"Ya sudah, terus sekarang lo mau gimana? Kan nggak mungkin juga lo ninggalin tugas lo," Sero menatap Lana prihatin.
"Apa gue ngundurin diri saja?" tanya Lana tiba-tiba.
"Ya nggak gitu dong, babe," sanggah Karla. "Lo kan sudah ngerencanain ini sejak semester dua," katanya mengingatkan.
"Iya, sih," Lana mendengus pasrah.
"Hey, guys!" Arkie datang dengan style khasnya—kaus hitam, kemeja flanel, celana jins, dan sepatu kets.
"Hai, Kie!" sapa Karla. "Mau gabung?"
"May I?"
"Sure," jawab Karla dan Sero kompak.
"Kenapa lo, Lan?" tanya Arkie mendapati wajah Lana yang sangat kusut.
"Nggak apa-apa," jawab Lana cepat. Mood-nya sedang terlalu buruk untuk berinteraksi dengan orang yang bahkan baru ia kenali beberapa hari lalu. "Eh, gue ada kelas. Duluan, ya!" ucapnya kemudian berlalu. Ia rasa Arkie tidak perlu tahu apa-apa soal ia dan Marvel. Ini bukan masalah yang perlu diketahui Arkie. Awas saja kalau sekarang Karla dan Sero malah menggosipkan masalahnya kepada lelaki itu.
***
Inara Pramestha baru saja tiba di Jakarta setelah seminggu menghabiskan waktu liburan bersama keluarganya di Solo ketika Lana, sahabat tersayangnya, menelepon dan meminta bertemu. Persahabatan Inara dan Lana bukan persahabatan yang baru dimulai setahun dua tahun. Tentu ia akan melakukan apa pun yang ia bisa untuk membantu Lana karena ia tahu, sahabatnya pun akan melakukan hal yang sama ketika ia membutuhkan bantuannya.
Maka, di sini lah mereka, di unit apartemen Lana, duduk berhadapan sambil menyantap es krim rasa pepermin kesukaan Inara yang Lana beli untuk menyambut kedatangannya—sekaligus sebagai tanda terima kasih karena Inara mau repot-repot menembus kemacetan Jakarta untuk mendengarkan keresahannya, padahal ia tahu sahabatnya itu juga baru saja pulang dan pasti merasa lelah.
YOU ARE READING
Endless Loop
RomanceApa batas yang pasti antara logika dan perasaan? Bisa jadi batas itu terlalu tipis dan rumit sampai sulit untuk dimengerti. Seperti halnya yang terjadi antara Lana dan Marvel, batas itu terlalu rumit untuk ditegaskan. It's just like an endless loop...
