empat puluh

169 26 9
                                    

Dia sudah gak punya tenaga lagi. Beberapa jam yang lalu suaranya masih bisa ngebentak sosok yang sekarang duduk didepannya dengan senyum lebar tanpa keliatan merasa bersalah sama sekali. Sekarang suaranya habis, tenggorokannya sakit bahkan buat dia nelan ludah. Bekas jeratan tali di tangannya tercetak jelas dan semakin merah. Kontras sama kulitnya yang putih.

Mayat Suji terbujur didepannya dengan kondisi basah kuyup. Kulit sang temen tampak rusak. Luka-luka di sekujur tubuhnya tampak membiru, sebagian lagi masih merah.

Satu jam yang lalu Umji nangis-nangis ke Eric. Mohon buat dilepasin biar bisa ngurus mayat Suji dengan layak, tapi hasilnya nol. Eric justru senang karena tingkah Umji hampir mirip orang depresi. Bicara ngelantur, tatapannya kosong, air matanya mengalir terus.

Eric akhirnya bisa ngeliat Umji dengan kondisi yang dia mau.

Lemah dan butuh orang lain buat hidup. Dan orang yang tepat buat tugas itu adalah dia.

"Kak-"

Baru aja Eric mau bicara, tapi getaran ponsel yang ada di sakunya mengintrupsinya. Tanpa bicara apa-apa lagi, dia pergi dari ruangan tempat Umji dan Suji berada buat nerima panggilan itu.

Cklek

Setelah kepergian Eric, Umji bergerak sekuat tenaganya buat mendekat kearah lemari besi yang ada di pojok ruangan.

Srek srek srek

Jantung Umji terpompa kuat-kuat saat teringat yang dia lakuin sekarang berlomba dengan waktu. Dia gak tau kapan Eric selesai sama panggilan itu, tapi kini ikatan di tangannya hampir terlepas karena bergesekan dengan sudut lemari yang berkarat.

Ptas!

Bersamaan dengan putusnya ikatannya, listrik mendadak padam dan bikin ruangan itu remang-remang. Dari situlah Umji sadar kalau sekarang sudah malam. Temaram bulan masuk lewat celah-celah jendela yang ditutup asal-asalan itu

Beruntung otak Umji masih bisa berpikir cepat saat penglihatannya nangkap cahaya redup di kolong kasurnya. Agak susah, tapi tangannya akhirnya mampu ngeraih benda yang ternyata ponselnya itu.

Kondisinya retak sana sini. Layarnya menghitam di ujungnya. Umji hampir nangis seiring harapannya buat keluar dari sini timbul.

Cklek

"Oh, bisa ngelepas sendiri ya?"

Umji terkesiap sambil nyembunyiin ponsel itu di belakang punggungnya. Dia gak tau perasaan ini dinamakan apa. Rasa takutnya ada, bahkan lebih besar dari sebelumnya saat ngeliat Eric ngeluarin pisau lipat dari sakunya. Tapi disamping itu, masih ada perasaan iba dan sedih ngeliat kondisi sang adek.

"Kak,"

"E-eric, kamu bisa berhenti kan? Berhentiin semuanya sebelum terlambat," katanya lirih namun dengan perasaan was-was. "Kakak bakal turutin kemauanmu. Kakak gak bakal lapor kemana mana."

Sayang, padahal senyum Eric hampir muncul sebelum kalimat akhir itu terdengar ditelinganya  dan keluar dari bibir Umji yang ngerasa gak ada yang salah dari ucapannya.

"Gak bakal? Gak bisa, kali," ralatnya mulai marah karena gerak-gerik Umji keliatan jelas lagi nyembunyiin sesuatu. "Siapapun yang kakak telepon, gak bakal bisa kesini."

Eric mulai mendekat dan secepat kilat narik paksa tangan kiri Umji yang bikin ponsel itu hampir terlepas. Tentu aja Umji ngelawan. Satu tangannya dia pakai buat ngedorong Eric sekuat tenaga, sementara satu tangannya yang lain berusaha buat ngebuka sandi ponsel itu.

"ARGH!"

Umji terkesiap kaget pas dengar suara Eric yang yang kesakitan akibat goresan kawat di tangannya. Jujur dia bahkan gak ngira bakal harus ngelukain adeknya sendiri buat bisa selamat dari tempat ini.

Insanity ✓Where stories live. Discover now