FOUR -SEVEN

11.3K 43 0
                                    

𝐓𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰

V

ania berjalan mendekatiku. Tanpa aba aba dia langsung meremas adikku. Kulitnya yang lembut langsung membuat darahku berdesir.
Aku tersentak. Proses pembuatan lagu ini tidak bisa berhenti begitu saja. Hakim masih meneruskan ide idenya.

Vania tersenyum binal ke arahku.

Dia memaksa membuka boxerku dari pinggir kursi. Aku pasrah. Adikku langsung terpampang jelas, dan masih tidur.
Sentuhan halus tangan Vania perlahan membangunkannya.

Aku berusaha tenang. Tapi tetap saja, akan selalu sulit.
Adikku sudah terbangun. Kini dia sudah berdiri tegak.

“Hihi” Tawa kecil Vania diikuti dengan kocokan halus ke adikku.
Dia begitu menikmati mainan barunya. Dimaju mundurkan tangannya. Terkadang aku tersentak maju ketika dia mempercepat.
Setelah cukup puas bermain dengan tangannya, Vania langsung berjongkok.
Adikku langsung dilahap olehnya.

“ENGH!” Gerakkan tiba tiba itu mengagetkanku.
Hakim juga kaget “Kenapa, Dhit?”
“Eh, ennghh. Enggak, Kim. Aggh. Kakiku kepentok meja” Mulut Vania yang bermain main membuat aku lupa diri, hingga tidak sempat membuat kebohongan yang rasional.

Hakim nampaknya tidak peduli. Dia masih melanjutkan teori teori gilanya.
Dia tertawa puas karena berhasil menggodaku. Sedang aku merem melek menahan kegilaan anak ini.
Aku tak bisa konsentrasi. Jari jariku seakan lupa bagaimana cara bermain keyboard. Ocehan Hakim tidak aku dengar.
“Surprise, Dhit”

Sedikit sedikit aku masih merespon omongan Hakim. Aku sudah tak peduli dia berbicara apa. Yang kupikirkan saat ini hanyalah kenapa anak ini jadi gila seperti ini.

Vania memundurkan kursiku. Menjauhkanku dari keyboardku.
Untung saja headsetku agak panjang. Meskipun dalam kondisi seperti ini, aku masih bisa berkomunikasi dengan Hakim.

“Enghhh, berat, Van” Aku berbisik pelan

Anak gila. Sekarang dia duduk di pahaku. Dia paham jika kursiku agak lebar. Kondisi tersebut masih bisa memberi ruang untuk kakinya bertumpu.

Kini kelamin kami bertemu. Dia tertawa menggoda. Leherku diserang menggunakan bibirnya.
Digesek gesekkan vaginanya ke adikku. Membuat adikku terhimpit dalam kondisi geli.
Masih saja dia begitu. Alih alih berhenti, sekarang dia melumat bibirku.

“Gimana menurutmu, Dhit?”
“Engghh. He em” Aku bisu sesaat karena ulah Vania.
“Berarti oke, ya?”
“He em. Aaahhhh” Aku mengerang pelan

Segera kulepas ciuman Vania, “Anu, abis ngulet”

Kudengar dia sekarang memainkan gitarnya. Jari jari berbakatnya menari indah di fretboard gitar mahalnya.
Vania mengangkat tubuhnya. Adikku diarahkan masuk ke vaginannya.

“ENGGGG!”. Aku menunjukkan muka panik.

Aku menunjuk hardcase keyboardku, lalu berbisik pelan “Buka itu”

Vania turun dari pangkuanku, berjalan ke arah hardcase dan membukanya.
Sesaat dia langsung menoleh ke arahku dan tersenyum.

Diambilnya simpanan kondomku dan langsung dibuka.

Aku sadar, memakai kondom adalah hal yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, akan repot jika ketika klimaks aku harus turun dari kursi. Sedangkan aku masih ada urusan lain dengan Hakim. Jadi nanti ketika klimaks, aku akan langsung menyemprotkan spermaku ke dalam vagina Vania, tanpa takut dia akan hamil.

Vania beraksi lagi. Adikku dibasahinya sebentar. Lalu memakaikan dia “baju”.
Setelah siap, Vania langsung duduk di pangkuanku lagi. Perlahan menggesekkan kelamin kami. Lalu dia mengangkat pantatnya.

*bles*

“Anghhh” Aparat cantik ini mengerang pelan. Sedang aku masih berusaha menahan konsentrasi.
Untung saja Hakim masih sibuk dengan gitarnya. Kurasa dia tidak mendengar erangan Vania.

Adikku sudah masuk ke dalam tubuh Vania. Rasanya hangat sekali.
Tanktop yang sedari awal membelenggu harta karun itu langsung aku singkap ke atas.
Kini terpampang nyata dua bulatan sempurta itu.

Mulutku tak tinggal diam. Puting Vania menjadi sasaranku.
Kini bulatan kecil itu basah karna liurku. Vania mengerang lagi.
“Hnggggg”

Gerakannya makin cepat. Lumatanku bertambah liar.

“HNGGGGG, DHIT”

Kami sama sama menikmati posisi ini.
Remasan remasan halus tidak lupa aku berikan ke payudara Vania.

Kucium pelan bibir manis itu. Nampaknya dia menyukainya
Tanganku meraih keyboardku. Aku bermain mengikuti permainan Hakim. Sedikit banyak agar Hakim tidak curiga dan akan berfikir kalau aku masih mengikuti latihan kami ini.
Kebetulan sekali aku dan Hakim bermain lagu yang temponya sangat pelan. Dengan nuansa relaxing.
Sangat tepat untuk mengiringi dua insan yang mengadu nafsu.

Bibirku masih menyerang bibir Vania. Kini dia memperlambat tempo geraknya. Sangat pelan. Kami terbawa suasana.

Kami masih dengan posisi yang sama, dengan tempo gerakan yang sama.
Kudengar Hakim sudah berhenti bermain. Aku dengan sigap melepaskan bibirku.
Aku tidak sempat menjawab. Vania tertawa kecil.

Vania makin liar. Dia mempercepat gerakannya. Payudaranya langsung aku lahap
“Engggh, enghhh, nghhhhh, aaah, aaah” Vania lalu mengerang lembut, tapi aku yakin Hakim bisa mendengarnya.

Hakim setengah berteriak “Dhit, asu. Suara apa itu?”
Kini payudara Vania aku biarkan bergerak bebas untuk sementara.
“Kok ada suara cewek desah?”
“Oh. Engghh ah. Itu. Sepupuku. Lagi liat Anime” Aku menjawab sekenanya.
Vania masih melanjutkan gerakannya. Kini semakin cepat. Ngebut tanpa ampun.
Tanganku memegangi pantatnya. Sesekali meremas lembut pantat tersebut.

“Kim. Ini. Udah selesai. Kan? Ahh”
“Udah, kok.”
“Lanjut besok lagi, ya? Ahhh. Aku ngantuk. Banget”
“Iya, deh. Kamu inget, kan?”
“Inget banget kok, Kim” Padahal sebenarnya tidak. Bukan hanya tidak ingat “Yaudah, ya. Lanjut besok”

Payudara indah itu masih bergerak bebas. Aku merasa kasihan. Mereka pasti lelah.
Kugigit lembut putingnya. Vania mengeraskan erangannya.

Adikku sudah lemas. Tapi masih terperangkap dalam tubuh Vania. Kini sekujur tubuhnya basah oleh muntahannya sendiri.

Langit malam itu mendapatkan penonton baru. Seorang pria yang sedang kebingungan akan apa yang sedang dia alami.
Pria itu menjatuhkan tubuhnya di kursi taman, menyalakan rokoknya, dan membiarkan asapnya berbaur dengan langit malam.

Dia bergumam, “No, this can’t be happening. This isn’t real”

𝐓𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰

𝐒𝐈𝐀𝐏, 𝐋𝐀𝐊𝐒𝐀𝐍𝐀𝐊𝐀𝐍Where stories live. Discover now