THREE-SEVEN

16.3K 45 0
                                    

𝐓𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰


Sabtu, 07.00

*drrrt* *drrrrrt* *drrrrrrrtttttt*
*drrrt* *drrrrrt* *drrrrrrrtttttt*
*sluurrp*

“Engghh. Enggggghhhh” Suara erangan wanita mencoba membangunkanku.

Mataku belum full membuka. Begitu juga dengan nyawaku yang masih belum penuh.
Pagi ku dibangunkan oleh kebingungan. Bingung antara telepon masuk di handphoneku, atau sensasi hangat di pangkal pahaku.

*drrrrrt*
*Incoming call Pakde Sugeng*

Pakde Sugeng, papa Vania menelpon. Awkward.

Aneh juga jika aku mengangkat telepon pakde Sugeng, sedangkan anaknya, seorang wanita kebanggaannya, sedang bermain main dengan penis pria dewasa yang bukan suaminya.

“Halo, pakde? Aku baru bangun” Aku mencoba berbicara dengan pakde. Dengan nyawa yang belum penuh, serta dengan menahan segala sensasi kenyamanan di bawah sana.
“Duh. Mentang mentang libur. Udah siang ini”
“Walah, pakde. Masih jam 7. Kenapa pakde?”
“Vania mana? Kok pakde telepon gak ngangkat”
“Engh. Aaaah” Tanpa sadar aku mengerang pelan.
“Heh, kenapa kamu?”

Aku gugup. “Engg, enggak, pakde. Biasa, abis ngulet. Engg, itu. Kayaknya Vania masih mandi, pakde.”

Tidak. Vania tidak sedang mandi. In fact, dia sedang “memandikan” adikku.
“Hoalah yaudah. Tolong bilangin kalo pakde bude gak jadi pulang hari ini. Ada tugas dadakan ke Kupang. Pagi ini langsung berangkat. Titip Vania dulu. Bilangin Senin baru dijemput. Yaudah gitu aja. Pakde mau boarding”
“Engghh. Iya. Pakde. Nanti aku kasih tau. Si. Vania” Mulut Vania membuatku terbata bata.

“Aduh, Vaan. Arghhh. Aah. Hnggg” Aku meracau tidak karuan. Yang bisa kulakukan saat ini hanya meracau dan memainkan rambut Vania.
Payudaranya menggoda. Dengan sigap tanganku beralih dari rambut ke payudaranya.
“Hnggggg” Vania hanya menjawab dengan erangan. “Hnggg. Aaaaah”
Vania melepaskan mulutnya. Mengocok adikku dengan lembut, lalu tersenyum.
Sesaat, aku terkesima dengan senyumannya. Kali ini entah kenapa tidak terlihat senyuman binalnya. Hanya senyuman sangat manis yang keluar dari wajah cantiknya.

Dia melanjutkan lagi aktivitas mulutnya.

Dia bergerak turun dari kasur. Membuka kopernya dan mengambil handuk, serta peralatan mandi lainnya.
Kami semua sudah mandi. Duduk depan TV sambil menonton video tidak jelas yang ada di youtube.
Makanan yang dimasak Vania sudah siap kami lahap. Nasi putih, ayam goreng, bumbu pecel, dan kerupuk.
“Kamu gak cuman ngulek adik aja ya yang pinter. Ngulek bumbu pecel juga pinter”
Wadah kerupuk langsung mendarat di badanku. Vania tidak peduli meskipun berantakan, dia lalu melanjutkan makannya

“Eh, tadi papa nelpon kenapa?”
“Cuman ngabarin aja. Katanya gajadi jemput hari ini. Senin besok baru dijemput. Orang tua mu tugas dadakan ke Kupang. Tadi abis nelpon langsung boarding”

Orang tua Vania adalah peneliti senior di Lembaga yang mengelola flora dan fauna. Mereka sering sekali berpergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri juga. Sama seperti orang tuaku. Bedanya, orang tuaku sebulan sekali perginya, sedangkan orang tua Vania sebulan sekali berada di rumah. Itupun hanya 5-7 hari saja. Dan ada beberapa momen yang orang tua Vania hanya sehari dua hari saja di rumah.
Vania berdiri. Pipinya basah.
Dengan sigap kutaruh piring di meja. Aku menghampirinya dan langsung memeluknya.

Pelukan Vania makin kencang, begitu juga dengan tangisnya. “Aku ada kesempatan pulang seminggu, pengenku biar ketemu lama sama mereka. Janjinya hari ini dijemput. Janjinya bakal ninggalin kerjanya seminggu. Kok sekarang malah ke Kupang”

𝐒𝐈𝐀𝐏, 𝐋𝐀𝐊𝐒𝐀𝐍𝐀𝐊𝐀𝐍Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon