1. ...Ready For It?

1K 69 29
                                    

Shit.

Aku terengah-engah.

Dari total ratusan mahasiswa di fakultas Teknik, aku tidak menyangka akan berakhir di lantai dengan si brengsek ini.

Adrenalin mengaliri urat-urat di tanganku, menjerit dan mendesak untuk dikeluarkan. Tanpa perlu diingatkan pun aku sudah akan menghabisi keparat ini. Aku tidak pernah memulai perkelahian, tapi aku tahu caranya membela diri. Aku melayangkan tinjuku pada rahang cowok itu, tapi dia berkelit secepat kilat. Badannya digulingkan ke samping, lalu digenggamnya pergelangan tanganku hingga darahku seakan berhenti mengalir.

Aku meringis. Cengkeraman cowok ini bukan main kuatnya. Aku menduga itu karena aku sering melihat dia main basket. Aku melihat ketika dia menggenggam ring dengan tangan kosong, menghela tubuhnya naik dan turun, lalu menge-bump lawannya hingga jatuh terjengkang. Yah, aku juga anak basket sih. Dulunya. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk kembali pada masa-masa itu.

Cowok ini sudah mengintip tali bra-ku yang menyembul dari balik kerah kemeja, dan aku harus memberikan dia pelajaran seperti dia mempermalukanku di tempat yang sama kemarin sore.

Terhimpit di antara lantai yang keras dan bobot tubuhku, Daniel hanya bisa tersengal-sengal, kehabisan napas.

Aku ingin meludah di wajah tampannya, tapi cowok itu malah tersenyum saat aku menjilat bibir dan bersiap untuk mengotori wajahnya dengan air liurku. "Kenapa berhenti?" kata Daniel, tertawa, lalu menelengkan kepala seakan menyerahkan pipinya untuk kuludahi. "Go on. Spit on me. Spit on me like the bad girl you are."

Dapat kudengar seisi lobi terkesiap. Gigi-gigiku gemertakan. Kami mendapat penonton, tentu saja. Apa pun yang melibatkan Daniel selalu mengundang perhatian khayalak ramai. Aku tidak pernah membenci Daniel untuk popularitasnya. Daniel dan aku bahkan tidak pernah saling bicara. Sampai kemarin tiba and look at how the tables have turned. Daniel yang mencari masalah duluan denganku, dan cara Daniel mengonfrontasiku tidak memberiku banyak pilihan selain untuk meludah di wajahnya.

"Won't you shut up," aku menggeram.

Daniel menyeringai. Sempat-sempatnya. "Make me."

Aku memberontak lepas dari cengkeraman cowok itu dan mencekik lehernya kuat-kuat.

Seharusnya aku tahu kalau Daniel sudah nge-poor sejak awal duel panas ini dimulai karena yang selanjutnya cowok itu lakukan adalah membalikkan tubuhku dan menindihku. Dua kancing teratas kemejanya sudah copot sejak aku mencekik cowok itu tadi, dan aku penasaran apakah Daniel juga akan merobek kemejaku. Tidak. Kurasa tidak. Daniel menatapku seolah cowok itu akan menikmati tubuhku untuk dirinya sendiri, dan itu bahkan lebih parah daripada harus berantem di lobi dan disaksikan oleh mahasiswa-mahasiswa arsitektur semester tua yang baru keluar kelas.

"Aku serius, Marki." Daniel semakin merapatkan tubuhnya padaku. Belum pernah aku berada sedekat ini dengan cowok seumur hidupku. Biar kuulangi: belum. Pernah. Daniel adalah yang pertama, dan aku membenci fakta kalau Daniel-lah yang pertama. Damn it, menyentuh kehidupan Daniel adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di sini. Aku betul-betul hanya ingin datang, lulus, dan mewujudkan impianku sebagai presiden direktur.

Kalau tahu begini jadinya, aku tidak akan iseng mendekati pacar Daniel dan membuat cowok itu cemburu buta.

"Let me go," desisku, memejam rapat-rapat saat napasnya menyapu pipiku, lalu turun ke leherku.

Dia sedang membalaskan dendamnya. Oh, Tuhan. Dia sedang membalaskan dendamnya.

"Kamu cantik, Mark," cowok itu berbisik ke dalam telingaku, tapi masih cukup keras sehingga, lagi-lagi, kudengar sentakan napas terkejut dari para penonton kurang kerjaan di sekitar lobi. Harga diriku yang telah kubangun dengan susah-payah di kampus ini anjlok seanjlok-anjloknya.

Daniel memang tahu caranya membalaskan dendam.

"Kamu kebanyakan ngelem," tukasku.

"Ngelem tapi mikirinnya kamu, apa bedanya?"

"Ngelem bikin otakmu rusak." Aku meraih belakang kepala Daniel, berencana untuk membanting tubuh cowok itu lagi, tapi kembali Daniel mendapatkan tanganku, keduanya, lalu mengunci mereka di atas kepala.

"Holy shit," dia mendesis, dan sebelum sempat kutendang kedua bola ajaibnya itu, Daniel menutupi mulutku tangannya dan mengecup punggung tangannya di mana dia membungkamku barusan, menciumku hanya dengan sebuah telapak tangan sebagai penghalang.

Aku yang ceroboh lagi-lagi melakukan hal konyol dengan membuka bibir untuk meraup oksigen. Daniel menggeser telapak tangannya, dan aku bisa melihat cowok itu bergidik kesenangan saat dia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku untuk memberiku French kiss-ku yang pertama.

AAAHHHHHH, BRENGSEEEEEEEEK!

Aku memang kepengin dicium, tapi aku belum punya bayangan dengan siapa aku akan melakukannya! Aku semakin ingin meluluh-lantakkan selangkangannya ketika mendengar dia mendesah dan mendesis ke dalam mulutku. Aku akan melakukannya begitu teringat kalau dia bakal kehilangan aset berharganya sebagai seorang gentleman. Aku tidak mau dituntut. Aku belum siap dipenjara, apalagi jadi viral dan merambah di Instagram.

Tahan, Marki, tahan. Aku bisa mengatasi ini. Pokoknya, aku bakal mengikuti ini sebagaimana mestinya. Meski tanpa rasa sekalipun. Oke. Lakukan. Mulai sekarang.

Rencanaku gagal total. Daniel mulai keterlaluan dengan meraba-raba tulang punggungku. Tentu saja aku merasa aneh. Aku belum pernah disentuh cowok. Lagi pula, rasanya biasa-biasa saja. Aku belum menganggap itu pelecehan. Aku bersandar, mengikuti permainan Daniel yang sangat hobi menghisap. Aku ingin sekali menunjukkan kebosananku. Misalnya dengan memutar bola mata atau melirik kerumunan. Hanya saja Daniel tidak memberiku ruang untuk bergerak sedikit pun. Yang cowok itu kehendaki hanyalah aku memejamkan mata atau mataku tetap terpaku padanya.

"EEEMMMHHH!"

Lututku seketika lemas begitu lengan berotot sialan itu menggesek dadaku. Aku langsung merinding. Sekali lagi, sebelum akhirnya dia menyudahi ciuman mautnya, kulihat Daniel tersenyum. Dia menghadiahi kecupan lembut terakhir di bagian bawah bibirku yang dia acak-acak beberapa menit belakangan. Cowok itu lantas berdiri dan melangkah mundur, tersenyum lebar. Aku yang masih syok setelah bencana yang menimpaku di sore apes ini cuma bisa menahan napas dan mengubur amarahku dalam-dalam, rapat-rapat, di bagian terdalam diriku.

Dijulurkannya tangan padaku, lantas dia bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

Nggak apa-apa gigimu!

Tapi untuk publisitas, aku tidak akan bereaksi secara dramatis. Sekuat tenaga aku menahan tinjuku yang sudah siap menghabisi kepala atas sampai kepala bawahnya tanpa ampun. Keadaanku sekarang persis kucing yang habis mandi: berantakan dan siap mencakar. Aku mengatur napasku, berpikir ciuman itu pasti pembalasan untuk yang kemarin.

Well, dia tidak akan mendapatkan pembalasannya, that's for sure.

"Yeah." Aku melengos, menatap ke arah pintu keluar. "Aku nggak apa-apa."

"Tapi, Marki, aku serius."

Aku menoleh.

"I like you."

🌇

Kiss & TellWhere stories live. Discover now