Lana masih memerhatikan layar handphone-nya ketika lampu gedung di belakang mati, membuat pencahayaan semakin minim. Hanya ada lampu jalan sekarang, sementara cahayanya masih kalah dengan pepohonan rindang yang berjejer di kanan kiri jalanan kampus. Mengikuti instingnya, Lana berjalan menjauhi gedung tempat ia rapat tadi, mencari kawasan yang lebih terang atau setidaknya lebih ramai.

"Lana? Belum pulang?" tanya seseorang dari arah belakang membuat Lana terperanjat, hampir menjatuhkan handphone-nya.

"Astagfirullah, Kie!" protes Lana yang masih merasakan detak jantungnya seperti mau balapan.

"He he, maaf, maaf. Tadi gue habis dari gedung dekanat, terus ngelihat lo lagi jalan sendirian. Kenapa belum pulang jam segini, Lan?" Arkie tersenyum, manis sekali.

"Baru selesai rapat," jawab Lana singkat, masih terus memeriksa layar handphone yang tak menunjukkan tanda-tanda kalau pesanannya akan diambil.

"Belum dapet ojek?" Lana menggeleng.

"Sama gue aja, yuk? Tapi tunggu dulu beberapa menit lagi, gue masih ada rapat BEM. Bentar lagi selesai," tawar Arkie.

"Nggak apa-apa?" tanya Lana, takut merepotkan.

"Ya nggak apa-apa, makanya gue nawarin. Yuk, ikut nunggu di ruang BEM aja, daripada gelap-gelapan di sini, nanti diculik setan," ujarnya menakut-nakuti.

Lana memukul lengan Arkie, menatapnya tajam. Arkie terkikik geli melihat perempuan itu kesal.

"Hai, gue bawa tamu," Arkie menarik lengan Lana lembut, membawanya ke dalam ruangan BEM yang dipenuhi banyak orang dengan jaket warna putih, sama dengan yang dikenakan Arkie.

"Lho, Lana?" Seorang perempuan dengan rambut digulung menyebut nama Lana. Itu Sissy, teman sekelas Lana di mata kuliah Psikometri. Mereka tidak begitu akrab, tapi pernah beberapa kali satu kelompok.

"Hai, Sy," sahut Lana sambil tersenyum.

"Pacar baru, Kie?" celetuk seseorang di ujung ruangan. Kalau Lana tidak salah ingat, itu Beno, mahasiswa seangkatan Arkie yang dulu menjadi panitia ketika Lana menjalani ospek.

Arkie menggubris pertanyaan Beno hanya dengan mengangkat alis. Apa artinya? Cuma Arkie dan Tuhan yang tahu.

"Sudah, yuk, guys. Kita beresin rapatnya. Dikit lagi, kan? Ada penumpang yang perlu diantar pulang dengan selamat, nih," Arkie menepuk-nepuk tangan, mengajak anggotanya untuk segera merampungkan apa pun urusan mereka hari ini. Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya, Arkie menoleh ke belakang, lalu mengerling jahil. Dih, genit bener? Apa maksudnya, nih? Tapi kok gue jadi deg-degan, ya? cuit Lana dalam hati.

Sekitar dua puluh menit, Lana memperhatikan gerak-gerik Arkie di ruang rapat. Benar kata orang, tidak ada yang bisa mengalahkan pesona seorang Arkie. Coba lihat dia, dengan jaket putih yang agak kebesaran di badan itu, sama sekali tidak mengurangi kegantengannya. Raut mukanya ketika sedang memimpin rapat, suaranya yang tegas dan tampak berwibawa, diksi-diksi jenius yang keluar dari mulutnya, semuanya... sempurna.

Lamunan Lana terpecah ketika handphone-nya bergetar. Buru-buru, ia melipir keluar dan mengangkat telepon yang rupanya dari Inara.

"Hei, kenapa?" tanya Lana dengan ujung rambutnya yang sedikit beterbangan karena tertiup angin.

"Lo di mana, Lan? Gue di lobi apartemen lo, nih. Nanya ke resepsionis katanya lo belum di unit,"

"Oh, gue masih di kampus, habis rapat." terang Lana. "Lo ngapain ke apartemen gue?"

"Nyokap sama bokap ada urusan mendadak ke Solo, terus Kak Fariz juga kayaknya nginep di rumah temannya karena lagi skripsian bareng. Gue nginep di tempat lo, ya, ya, ya?" mohon Inara manja.

Endless LoopWhere stories live. Discover now