Melihat tatapan Marvel yang menyedihkan, Lana akhirnya mengalah. Apa itu logika? Seakan jadi hal nomor paling sekian yang ia miliki saat ini. "Berapa persen probabilitas yang terbentuk buat kamu dan aku sama-sama lagi?" tanya Lana tegas meskipun air matanya hampir lolos, kalau saja ia tidak menahan kuat-kuat.
"Maksud—"
Marvel belum menyelesaikan pertanyaannya ketika Lana memotong dengan cepat, "Nol, nol besar." singkat Lana. Marvel mengernyit tidak mengerti.
"The idea of us, having a second chance, it DOESN'T make sense, Vel." Lana menjelaskan penuh penekanan di setiap katanya, terutama pada kata doesn't. "Bahkan kalau kita mencoba. Bahkan kalau aku, atau kamu, masih sebegitunya punya rasa. Bahkan kalau kita maksa sekali pun." Air mata Lana lolos kali ini.
"So let it stays like this, this is the only best way that I could offer to you." Lana bangkit, meninggalkan Marvel yang tertegun sebelum tangisannya makin pecah.
Ini benar, kan? Keputusannya sudah benar, kan? Lana berkali-kali menanyakan itu kepada dirinya sendiri. Batas antara logika dan perasaan itu wujudnya seperti apa? Sebab bukan sekali dua kali ia bahkan tidak tahu mana yang sedang mendominasi dirinya sendiri—otaknya, atau hatinya. Lana tahu, Marvel bukanlah jalan pulang. Ia hanya berputar-putar dalam ruang yang sama, berulang-ulang. Kali ini, sekali lagi tak ia pecahkan misteri itu; tentang kenapa ia tak pernah bisa pergi, meski telah melangkahkan kaki berpuluh-puluh mil, meski telah ia labuhkan hatinya lagi dan lagi pada cinta yang lain.
***
"Kak, gue sudah hubungi Unknown." jelas Lana malam itu seusai rapat panitia.
"Oh, ya? Terus gimana? Mereka mau?" tanya Aryani penasaran.
"Masih mau dirundingkan," balas Lana. "Tapi katanya mereka usaha untuk prioritasin undangan kita," tambahnya dengan senyum.
"Serius, Lan?" mata Aryani berbinar. "Makasih banyak, ya! Nggak salah memang gue rekrut lo jadi anak acara,"
Iya, nggak salah lo rekrut gue, Kak. Cuma masalah gue makin banyak gara-gara lo dan BPH ngide undang band-nya Marvel, geram Lana sambil mencoba tetap tersenyum.
"Lan, lo balik sama siapa?" Laki-laki berkacamata, Garin, berjalan mendekati Lana.
"Ojek online, paling."
"Mobil lo masih di bengkel? Lama amat," komentar Garin.
"Nggak tahu, tuh. Gue juga udah capek naik ojek online," keluh Lana meski tak punya pilihan. Mobilnya sudah hampir empat minggu di bengkel lantaran mogok, ia juga tidak tahu apa yang salah padahal ia selalu menuruti petuah pamannya untuk rajin ganti oli, selalu memanaskan mesin sebelum pergi, bahkan mobilnya itu selalu dibawa ke car wash setiap dua minggu sekali takut-takut ada debu yang masuk ke mesin—yah, meskipun Lana tidak tahu apakah debu bisa masuk mesin atau tidak. Yang jelas, untuk standarnya, ia selalu menjaga mobil itu dengan apik.
"Nebeng gue aja, yuk? Gue mau ke daerah apartemen lo," tawar Garin.
"Sekarang banget?" Garin mengangguk.
"Iya lah, masa besok?"
Lana menatap Garin sinis. Garin memang garing, sih.
"Lo duluan aja, deh. Gue ada urusan dulu," tolak Lana halus. Sebenarnya ia cuma merasa tak nyaman jika harus nebeng dengan orang yang tidak begitu dekat, apa lagi lawan jenis.
"Oke kalau gitu. Gue balik duluan, ya, Lan!"
"Bye, Gar!"
Satu per satu rekan kepanitiaan Lana meninggalkan ruang rapat. Sebenarnya itu tidak terlalu berpengaruh terhadap keramaian area kampus karena masih banyak mahasiswa yang berkegiatan—mungkin sampai larut malam. Hanya saja, tidak ada satu pun yang Lana kenal untuk dijadikan teman ngobrol sambil menunggu ada abang ojek yang mengambil pesanannya.
YOU ARE READING
Endless Loop
RomanceApa batas yang pasti antara logika dan perasaan? Bisa jadi batas itu terlalu tipis dan rumit sampai sulit untuk dimengerti. Seperti halnya yang terjadi antara Lana dan Marvel, batas itu terlalu rumit untuk ditegaskan. It's just like an endless loop...
