marvelsrg : Okay, okay. Ketemuan di coffee shop dekat apartemen kamu, gimana?
eleaneisha : Nggak usah. Besok aja aku ke fakultas kamu. Nanti aku kabari lagi.
Ya, make it practical. Lana akan mengontrol agar urusannya dengan Marvel jadi sepraktis, sesingkat, dan seprofesional mungkin. Kalau sudah beres bicara soal pekerjaan, Lana harus langsung pergi. Gampang, kan? Seharusnya begitu.
***
Seperti yang Lana bilang, it's not that simple. Belum apa-apa, jantungnya sudah seperti mau lompat dari rongga dada. Air mineral botolan yang tadi ia beli di kantin Fakultas Teknik, kini sudah tinggal setengah. Padahal sepertinya ia baru menghabiskan waktu tujuh menit di sini.
"Na!" suara itu, suara itu. Napas Lana tercekat, ia enggan menoleh ke sumber suara. Stay cool, stay cool. Batin Lana mengulang-ulang.
"Hey," laki-laki berambut wavy itu duduk di hadapan Lana sambil tersenyum. Tak banyak yang berubah, hanya saja kulit kecoklatan Marvel kini terlihat sedikit lebih terawat. Dia pakai skincare apa? Atau diam-diam sudah ada yang ngurusin? pikiran Lana meracau tidak karuan.
"Hey," jawab Lana setelah bisa sedikit mengontrol degup jantungnya yang berantakan.
"Udah lama nunggunya?"
Lana menggeleng dengan senyum yang dipaksakan. "Baru beberapa menit." ia menarik napas pelan, mengembuskannya, lalu mulai membuka obrolan. "Kita langsung saja. Dua bulan lagi, fakultasku mau ngadain charity event dan rencananya mau undang Unknown."
Marvel manggut-manggut, memperhatikan setiap kalimat yang keluar dari bibir Lana.
"Kalau dari kalian sendiri, bersedia, nggak? Kalau boleh, tolong dipikirin, Vel. Soalnya rumor mau undang Unknown sudah sampai ke dekan, beliau suka banget sama Unknown, sama kamu." jelas Lana detail.
"Dua bulan lagi, berarti Desember, ya?" Lana mengangguk pasti. "Hmm, biasanya Desember banyak yang book, sih. Tapi kalau kamu yang undang, akan aku coba prioritasin," Marvel tersenyum tulus.
Lana mengangguk, lagi. Ada ruang di hatinya yang masih merasa hangat ketika Marvel bilang akan menjadikannya prioritas, padahal Lana yakin banyak sekali yang mengundang Unknown untuk jadi bintang tamu. Jadi, dirinya masih sespesial itu, ya? Lana mungkin akan kembali terjebak dalam siklus tanpa akhir ini kalau ia tidak buru-buru mengusir perasaan-perasaannya yang mulai keras kepala.
"Okay. Tell me as soon as you got the answer, ya." ucap Lana mencoba tak memperpanjang lagi obrolan mereka dan beranjak dari tempat duduk, tepat sebelum Marvel memanggilnya.
"Nggak ada lagi, Na?" tatapnya nanar.
"Sudah. Memang ada apa lagi?" tanya Lana pura-pura tidak mengerti. Stay cool, stay cool. Lana mengulangi frasa itu berkali-kali, mencoba mendominasi perasaannya yang mungkin akan buyar sedikit lagi.
"Duduk dulu, lah, Na. Sudah lama kita nggak ngobrol begini," Marvel memalingkan muka sekilas, lalu kembali menatap Lana nanar. "Aku kangen." sambungnya lirih tapi tegas, seakan tidak menerima apa pun bentuk alasan perempuan itu untuk kabur. Dalam hatinya, ia tahu Lana juga masih menyimpan rasa yang sama.
Lana masih pada posisinya ketika hampir meninggalkan Marvel tadi, berdiri dengan tangan lelaki itu mencengkramnya erat. Dalam diam, Lana menunggu Marvel melanjutkan. Namun, bukannya membuka mulut, Marvel malah mendongak, menatap Lana sendu. Kekasihnya, perempuan yang paling ia sayang, seorang yang tidak pernah mau kalah kalau soal cita-cita. Kekasihnya, dulu, yang kini terasa amat jauh, bahkan lebih jauh dari jarak yang mereka miliki sebelum saling mengenal sebagai teman di SMA.
YOU ARE READING
Endless Loop
RomanceApa batas yang pasti antara logika dan perasaan? Bisa jadi batas itu terlalu tipis dan rumit sampai sulit untuk dimengerti. Seperti halnya yang terjadi antara Lana dan Marvel, batas itu terlalu rumit untuk ditegaskan. It's just like an endless loop...
