"Iya, tadi gue perlu nyelesaiin beberapa hal. Jadi ya, nggak kepikiran buat makan siang,"

"Oke, kalau gitu kita makan dulu, ya. Ada makanan enak dekat sini." Kata Arkie sembari memutar kemudinya. "Lo suka soto mie, kan?"

"Suka."

Mobil sedan Arkie terparkir di depan sebuah ruko yang tidak terlalu luas, mungkin hanya muat lima belas sampai dua puluh orang di dalamnya. Ini sudah lewat jam makan siang, tapi Lana bisa melihat hampir semua kursi di ruko itu sudah ditempati orang. Hanya satu bangku yang tersisa, cukup untuk ia dan Arkie.

"Bang, saya pesan yang biasa dua porsi, ya!" Arkie membentuk angka dua dengan telunjuk dan jari tengahnya.

"Yang biasa kayak gimana, Kie? Gue kan belum pilih," protes Lana sembari mengernyit di samping Arkie.

"Udaahh, percaya saja sama gue. Pasti dibuatin spesial sama Bang Alo. Ya, Bang?" ucap Arkie meminta dukungan bapak-bapak paruh baya yang sedang memotong risol.

"He he, iya, Mbak. Tenang saja, Mas Arkie saja sampai selalu makan di sini tiap minggu, saking doyannya,"

"Tiap minggu?" Lana membelalak. Memang seenak apa, sih, makanan pilihan Arkie ini? Lana jadi penasaran. Lidahnya itu sangat selektif dan peka terhadap rasa. Ada sedikit saja yang kurang, ia bisa tahu hanya dari sekali suapan. Kalau yang Arkie bilang enak ternyata pas di lidahnya, berarti selera cowok ini boleh juga.

"He he, udah, ah. Yuk, duduk! Keburu ditempati orang," Arkie berjalan menuju bangku di ujung ruangan lalu Lana mengekorinya.

"Jadi, sudah berapa lama tahu tempat ini?" tanya Lana membuka obrolan.

Arkie memotong kerupuk yang ia ambil dari toples, memasukannya ke dalam mulut, lalu menjawab, "Sudah lama," singkatnya. "Kira-kira sejak SD. Dulu nyokap dan bokap sering ngajak kemari kalau bokap libur ngantor,"

"Oohh," mulut Lana membulat diikuti anggukan dari kepalanya.

"Lo sendiri, what's your favorite food di Jakarta?" Arkie balik bertanya.

"Hmmm..." pikir Lana mengingat-ingat. "Kayaknya belum ada yang segurih di Bandung, sih. Tapi belakangan gue lagi sering pesan kwetiau Mangga Besar kalau nggak ada makanan di apartemen,"

"Eh, jadi lo asli Bandung?" simpul Arkie.

Lana mengangguk. "Dari lahir sampai SMA, kuliah baru deh ke sini." Mantapnya.

"Wow, gimana rasanya merantau? Gue dari lahir sudah di Jakarta. Bosan, ketemu polusi tiap hari."

Lana tertawa mendengar ucapan Arkie. Jelas, sih, kalau dia jadi Arkie pun pasti akan muak dengan hiruk pikuk Jakarta yang tiada henti itu. Kalau kata orang, Jakarta itu kota yang nggak pernah tidur. "It feels good, terutama ketika bisa jauh-jauh dari orang rumah yang senang banget bikin pusing,"

"Permisi, ini pesanan spesial untuk Mas dan Mbaknya," Bang Alo menyodorkan dua mangkuk soto mie ke hadapan Lana dan Arkie. "Masnya tumben sekali bawa cewek. Pacarnya, ya? Cantik." puji Bang Alo setelah melirik Lana sekilas.

"Ya, masa sendiri terus, Bang?" kekeh Arkie tidak menyanggah ataupun memberi tanggapan apa-apa terhadap asumsi Bang Alo dan entah kenapa Lana tersenyum mendengar itu.

"Alright. Let's see seenak apa selera lo," tantang Lana sembari membersihkan sendok garpu dengan tisu.

Arkie belum terlihat ingin menyantap makanannya. Laki-laki itu malah menatap Lana dengan mata elangnya. Sial, harus banget dilihatin kayak gitu?

Lana menyuap sepotong risol, daging, dan sedikit gumpalan mie lengkap beserta kuah ke dalam mulutnya. Ia termenung beberapa detik, mencoba merasakan semua komponen bumbu di dalam suapan itu. Setelah semua perintilan makanan itu masuk ke dalam kerongkongannya, Lana mengangguk-angguk. "Oke juga selera lo,"

Arkie tersenyum bangga sembari menepuk-nepuk dadanya dengan tangan mengepal, seakan memberi tahu Lana kalau seleranya itu memang tidak perlu diragukan.

Lana terkekeh. "Dimakan, dong. Kasihan dianggurin begitu," Lana menatap mangkuk Arkie yang belum terjamah sedikit pun. Sebenarnya, karena ia salah tingkah ketika Arkie malah terus menatapnya sambil tersenyum.

"Lo kalau lagi serius.." lirih Arkie menggantung.

Lana menaikkan kedua alis, menunggu Arkie melanjutkan kalimatnya. Namun laki-laki itu malah menggeleng lalu segera menyambar soto mie di hadapannya.

Arkie dan Lana sudah kembali masuk ke mobil setelah mereka menyelesaikan makan siang yang sebenarnya sudah tidak cocok lagi disebut makan siang. "So, where are we going now, Bapak Soto Mie?" tanya Lana antusias diikuti dengan tawa renyah. Entah sejak kapan Lana mulai merasa akrab dengan Arkie.

"Lo punya kafe favorit, nggak? Tempat lo biasa hangout, gitu?"

"Jadi lo ngajak gue hangout, tapi nggak tahu tempat?" Lana menanggapi dengan sebal.

Arkie terkekeh. "Ya, sayangnya begitu. Gue jarang hangout di kafe daerah sini. Biasanya cuma bolak-balik kampus atau ke rumah teman." Arkie terus terang. "Lagi pula, gue janji soal dokumentasi gue di US, kan? Jadi tugas lo milih tempat,"

Lana mendengus malas. Arkie ini, memang sudah biasa jadi tukang perintah, ya? Apa jangan-jangan bawahan-bawahannya di BEM juga selalu diperintah yang aneh-aneh? Huh, sudah tahu cewek itu seringnya cuma pengin bilang terserah. Ini lagi disuruh tentukan tempat!

Akhirnya pilihan Lana jatuh kepada Laker, lagi, pilihan yang menurutnya paling aman. Makanannya enak, tempatnya nyaman, parkirannya juga luas jadi Arkie tidak perlu kerepotan mencari lahan kosong dan mereka tidak perlu jalan jauh-jauh dari tempat parkir ke kafe.

Ditemani segelas iced matcha latte dan segelas hot americano, kini Arkie dan Lana sudah duduk berdampingan dengan laptop Arkie yang menyala.

"So, we start here," Arkie membuka folder bernama 'US' di file explorer-nya. Ada banyak folder lagi di dalam situ, mulai dari folder foto, tugas-tugas, hingga bahan presentasi. Arkie mengeklik folder foto terlebih dahulu, memperlihatkan ratusan foto yang diambilnya ketika exchange dulu.

"Ini, gue waktu baru banget sampai sana. Waktu itu, gue berangkat dari Soetta sama tiga orang lagi perwakilan dari Indonesia—dua dari kampus lain, satu dari kampus kita." jelasnya dengan tempo yang tidak begitu cepat, tapi juga tidak lambat. Pas. Lana dapat mengikuti ceritanya dengan baik.

"Kami transit sekali di Qatar, baru setelah itu berangkat lagi ke JFK. Kira-kira perjalanannya makan waktu 25 jam," terang Arkie sedetail mungkin. Lana menanggapinya dengan manggut-manggut. Tatapannya fokus menatap Arkie, tidak terdistraksi sedikit pun sampai sebuah suara yang berat namun menggelegar mengagetkan mereka berdua.

"Eleana Kaneisha! Sejak kapan lo dekat sama Arkie?!" suara itu milik Sero, sama hebohnya dengan Karla. Tanpa disuruh, laki-laki bertubuh kurus itu duduk di hadapan Lana dan Arkie, ikut nimbrung padahal tidak diajak juga.

"Ro, berisik banget sih, lo!" Lana menaruh telunjuk di depan bibirnya, menyuruh Sero untuk tidak berisik. "Gue lagi sharing sama Arkie. Lo tahu, kan, gue pengin banget ikut exchange semester depan?"

"Arkie?!" pekik Sero mengutip ucapan Lana—bahkan lebih nyaring dari sebelumnya. Dasar keras kepala, protes Lana dalam hati. "Sejak kapan lo berani manggil kakak tingkat nggak pakai embel-embel 'Kak'? Lo berdua pacaran? Kok nggak kasih tahu gue? Jangan-jangan Karla sudah tahu?!" pertanyaan Sero lebih terdengar seperti pemaksaan. Merembet, bikin pening.

Lana tidak mendengar ada jawaban dari mulut lelaki di sampingnya. Ia menoleh, mendapati Arkie cuma tertawa singkat menanggapi celotehan Sero yang panjang lebar dan super heboh. Kenapa malah tertawa? Bukannya bantu jawab, bikin asumsi yang enggak-enggak saja. Lana merutuki Arkie dalam pikirannya sendiri.

Endless LoopWhere stories live. Discover now