part 26

1K 63 2
                                    

" Maaf, kakak tidak bisa, Nara. Karena kakak akan segera menikah,"

"Me--menikah? i--itu berarti bapak yang akan menjadi saksi?"

Wanita itu merespon dengan gelengan. Bibir merah itu terbuka dan kemudian ia berucap," kakak bilang Bapak sudah mati!"

Nara tercekat. Gadis yang berkaos merah dengan lambang N di dada sebelah kiri itu shock mendengar ucapan kakak kandungnya.

Pupilnya melebar, menatap lurus ke arah kakaknya yang dengan santai menyeruput kopi latte seolah tidak ada yang salah dengan ucapannya.

"Kenapa Kak? apa begitu malunya punya mereka?"

"Sadar, Kak. Sadar! merekalah yang membuat kita masih berdiri saat ini," Nara menahan perih.

Starla--wanita yang saat itu asik menatap jalan dan sengaja menghindari tatapan Nara hanya menghembus napas kasar dan kemudian menggerakkan wajahnya ke arah Nara.

Matanya berkilat, ada tangis di sana. Nara tahu, sekeras apa pun Starla ingin lepas dan berusaha pergi, di dalam lubuk hatinya rindu itu masih ada.

Buktinya, air mata itu masih singgah dan menganak sungai meski belum terjun bebas.

Starla menyeka air matanya sebelum sempat meluncur dan membasahi pipi mulusnya yang tersapu blush on warna peach.

"Kakak tidak mungkin mengenalkan keluarga kita yang miskin pada calon suami kakak yang kaya raya,"

"Keluarganya pasti memandang rendah kakak. Kakak tidak mau semua perjuangan kakak terbuang sia-sia,"

"Kakak mohon, bilang saja kalau kakak sudah mati jika ibu dan Bapak bertanya tentang Kakak,"

Starla meraih tangan Nara dan memohon padanya. Nara bergeming. Tangisnya mengucur begitu saja. Sebegitu rendahnya-kah orang tuanya di mata kakaknya hingga ia malu untuk mengakuinya?

Yang membuat sesak dadanya bukan orang lain, tapi kakaknya sendiri. Nara sakit hati, dan ia kecewa pada Starla. Padahal selama ini ia mencoba mencari keberadaan wanita di hadapannya itu, dengan asa bisa kembali bersama dan merenda tawa serta mengukir senyum di wajah tua kedua orang tuanya.

"Baik, semua pesan kakak akan Nara sampaikan kepada orang tua kita. Kakak tidak usah memikirkan bagaimana keadaan kami nantinya. Kakak fokus saja pada pernikahan kakak,"

"Nara janji. Nara akan menyimpan rapat-rapat siapa jati diri kakak. Nara doakan semoga Kakak bahagia. Dan Kakak jangan takut, Nara yang akan menggantikan posisi kakak untuk membuat ibu dan bapak bahagia,"

Seraya menahan tangis dan getir dalam hatinya, Nara menarik tangannya perlahan, menggeser kursi yang ia duduki dan berdiri.

Wanita itu menengadah dan mendapatkan wajah Nara yang datar, tidak ada lagi kesedihan di sana, yang ada hanya rasa kecewa.

Nara menarik dua sudut bibirnya. Senyum getir tercipta di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia melangkah pergi dengan perasaan sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Hatinya hancur. Rasa rindu itu menjadi rasa kecewa yang teramat sangat. Namun, ia berjanji untuk tidak menangis. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata wanita yang sudah menginjak-injak harga diri orang tua dan dirinya.

***
Pemuda bermata coklat itu mengacak-ngacak rambutnya di ruangan kerjanya. Temannya yang  berada di pojokan menatap heran tingkah laku Rendra yang tidak biasa.

Perasaan Rendra tengah kacau. Gara-gara ia yang salah tanggap, malam itu dengan keadaan sadar ia mencium Nara.

Sejak malam itu, wajah Nara selalu terngiang yang dipelupuk mata Rendra. Menari-nari cantik di setiap sudut rumah. Senyumnya membayangi setiap langkah. Rendra benar-benar jadi ter-Nara-Nara.

"Woy Ren. Napa Lu. Stress Lu ya?"

Rendra tersadar saat mendengar ucapan temannya. Ia pun langsung melesatkan pandangan ke arah temannya.

"Eh, nggak kok," jawabnya kikuk.

"Nah ntu tadi, ngacak-ngacak rambut. Mikiri apa sih, Lu," tanya temannya kepo, seraya beranjak dari duduknya dan melangkah ke arah meja kerja Rendra.

Rendra menggigit bibirnya. Mulutnya ingin berbicara tapi hatinya menentang.

"Woy, Ren. Cerita aja. Gua janji nggak akan sebar ke mana-mana. Lu lagi jatuh cinta ya, Ren," laki-laki berambut cepak itu duduk di meja Rendra dan menatap temannya  dalam.

"Ah, nggak kok. Mau tahu aja sih, kamu," Rendra mendorong tubuh temannya hingga laki-laki itu terpaksa menjauh dari Rendra.

"Biasa aja sih, Ren, jangan dorong-dorong juga kali," temannya itu mendengus kesal.

Rendra hanya melirik dengan ekor matanya dan kembali  menatap laptop miliknya.

"Kalau butuh teman curhat itu, ngomong aja. Jangan dipendam nanti jadi jerawat," goda temannya seraya tersenyum simpul.

Rendra semakin bingung. Benar kata temannya, saat ini yang ia butuhkan hanya teman curhat.

"Eumhh, menurut kamu, kalau kamu ketemu cewek yang bisa buat hatimu bergetar, apa kamu akan terus mengejarnya?" Rendra akhirnya buka suara.

"Nah, kan, sudah Gua duga, Lu pasti jatuh cinta. Gerak-gerik Lu itu kelihatan. Suka senyum-senyum sendiri dan mukamu itu merah," jawab temannya diselingi tawa renyah.

"Ah, ga jadi tanya, deh," Rendra menekuk wajahnya dan kembali menatap laptop, kesal.

"Wei-wei, jangan marah dong, Bro. Gua ikut bahagia kalau Lu senang. Gadis mana yang beruntung mendapatkan hatimu, hah?" tanya lelaki itu saat melihat wajah Rendra yang berubah masam

Rendra melirik dengan ekor matanya. Tatapan sinis itu seketika membuat temannya itu membungkam mulutnya.

"Bukan siapa-siapa, cuma gadis biasa, tapi ...," ucapan Rendra terhenti saat ia kembali mengingat Nara. Kembali senyum terukir di wajah tampannya.

"Biasa-biasa aja ekspresimu seperti itu Rendra, apalagi kalau luar biasa, ck-ck-ck. Dunia memang indah saat jatuh cinta, serasa milik berdua," temannya kembali menggoda.

Rendra menghela nafas dalam dan menatap sedih temannya.

"Sayangnya, dunia tidak milik berdua karena ... gadis yang kutaksir sudah ada yang punya," ungkap Rendra dengan wajah sendunya.

"Hah? jadi ... yang kamu sukai itu ... istri orang? ck-ck-ck, sadar Ren. Dosa itu,"

" Ya bukanlah! kalau itu aku mah juga ngerti. Dia udah punya pacar,"

"Kalau cuma pacar ... masih bisa Ren. Kata orang tua zaman dulu, sebelum janur kuning melengkung di depan rumah, dia masih milik bersama," sebuah senyuman jahat terukir di wajah temannya.

"Jadi ... menurutmu .... aku masih punya harapan?" Rendra menatap temannya dengan harapan yang terekam jelas di matanya.

Temannya itu menggangguk dan tersenyum culas.

"Rebut aja Ren, kalau memang dia suka sama kamu, pasti dia akan mutusin pacarnya," hasut temannya dengan semangat.

Sekilas Rendra terperdaya dengan ucapannya, begitu ia mengingat jika laki-laki yang disukai Nara itu adalah kakaknya sendiri, Rendra langsung menggeleng pelan.

"Ga ah, aku nggak mau ganggu hubungan orang,"

"Itu bukan mengganggu Ren. Itu namanya kompetisi. Kompetisi untuk mencari siapa yang dicintai oleh si gadis dan akan dipilih olehnya,"

"Kompetisi?"

****

My Handsome GhostWhere stories live. Discover now