part 18

1.1K 76 0
                                    

Jantung bergemuruh, dan napas yang tersengal karena kehabisan oksigen membuat Nara menarik pelan wajahnya dan menarik napas dalam.

Tatapan mereka saling bertemu, dan ...

"Nares ... menjauhlah," pinta Nara seraya mendorong pelan dada Nares, yang membuat hantu tampan itu menatapnya heran.

Nara membuang muka saat Nares mendekat, seolah mencari jawaban atas ucapan Nara barusan.

Gadis bermata coklat itu sengaja memutus tatapannya pada Nares. Jantung yang yang bergemuruh seolah menjadi bukti bagaimana gadis itu tak mampu menahan gejolak yang menggebu dalam dadanya.

'Astaga! aku pasti gila! dia hantu! tapi ... tampan!' Nara berjibaku dengan pikirannya.

Mata indahnya itu terpejam dan berusaha membuang pikiran tentang Nares yang menguasai isi kepalanya.

"Nara ...,"

Nara tersentak. Matanya seketika terbuka, debar jantungnya semakin berirama tak beraturan kala ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulit wajahnya.

"Nara ...,"

Kali ini gadis itu tak mampu menolak saat tangan yang kini memenuhi sebagian wajahnya itu membawa wajahnya untuk menatap ke arah Nareswara--hantu tampan yang tadi menciumnya.

"Nara ... apa aku memang tak pantas untuk bersamamu? apa karena aku hantu? atau karena aku bukan tipemu?"

"Apa laki-laki brengsek seperti tadi adalah tipemu?"

Nara hanya mampu menarik napasnya dalam. Ia menatap sendu Nares, menggigit bibirnya saat mata itu tak sengaja menatap bibir Nares yang basah.

"Bukan begitu, Res ... aku ...,"

"A--apa kamu marah karena tadi aku menciummu? maaf Nara ... aku memang tak pandai soal itu..., karena aku ....,"

"Bukan, bukan itu, Res ...," jemari Nara refleks menyentuh bibir Nares dan membuat hantu tampan itu terdiam.

Nares dengan lembutnya meraih tangan Nara yang saat itu berada di bibirnya hingga membuat mata Nara kembali membesar.

Ia menciumi telapak tangan Nara. Benar-benar memuja gadis di hadapannya. Entah apa yang merasuki hantu tampan itu hingga ia tak melewatkan waktu sekejap pun untuk tidak menyentuh gadis yang saat itu mati-matian menahan gelora dalam tubuhnya.

"Na ... Res ...,"

Nares menoleh dan mendapati Nara yang sedang menggigit bibirnya. Matanya berbinar.

"Res ... jangan begini, Res ...aku takut ...,"

"Takut ...,"

"Takut jika aku jatuh cinta padamu, Res, dan kamu sendiri tahu, kalau kamu dan aku ... kita ...," Nara tak mampu melanjutkan ucapannya kala ia melihat wajah Nares yang berubah murung dan menjauh darinya.

"Ya, kamu benar, Nara. Kamu benar. Kalau begitu, aku tidak akan mengungkit hal ini. Maafkan aku, Nara, maafkan," Nares pun menggeser tubuh dan berdiri perlahan.

"Ka--kamu mau kemana, Res ...," Nara menatap sedih Nares yang sepertinya ingin beranjak dari sisinya.

Hati Nara tiba-tiba perih. Sungguh, ia menyesal sudah membuat Nares marah, dan apa yang ia ucapkan sejujurnya bertolak belakang dari hatinya.

"Ra ... aku ... tidak akan mengganggumu lagi, tapi kamu jangan takut, aku pastikan kamu aman dan tak akan ada yang berani mengganggu dirimu," tanpa menoleh ke arah Nara, Nares mengucapkan kata yang membuat mata Nara berembun.

"Nggak, Res, maksud aku bukan gitu, Res, aku ....,"

Wuzzzhh!

Hantu tampan itu hilang begitu saja hanya dalam hitungan detik dan kejapan mata saja.

Tinggallah Nara seorang diri dengan kemelut di dalam hatinya. Bagaimana jika Nares menepati ucapannya dan tidak akan pernah menemuinya?

Air mata itu meluruh begitu saja di kedua pipinya. Nara menahan sesak didada yang sejak tadi bergejolak.

"Nares ... seandainya kamu bukan hantu ... aku pasti akan berjuang untukmu,"

"Tapi ... aku juga harus realistis. Ini akan membuat hatiku terluka cepat atau lambat. Lagipula, aku wanita hina. Apakah aku harus ikut denganmu saja? toh, hidupku juga tidak ada guna. Apa kita bisa hidup bahagia jika aku mati, Nares?"

"Nares...,"

Tak ada jawaban. Nara pun memilih merebahkan tubuhnya. Bergolek ke samping. Bulir bening itu masih bergulir. Gadis itu menekuk kakinya dan memaksa agar matanya terpejam.

Malam itu, Nara di balut kesunyian dan kesedihan yang dalam. Berharap, ketika ia membuka mata, Nares hadir di depan matanya dan mereka bisa bersenda gurau, seperti sebelumnya.

***
Nara menatap matahari yang sinarnya menantang siang itu. Cuaca terik tak menyurutkan langkah gadis itu kembali bekerja dan menambah pundi-pundi rupiah.

Ya, sudah seminggu masa pemulihan akibat luka itu membuat Nara harus benar-benar bekerja keras.

Kuliah yang tertinggal dan juga pekerjaan yang menunggu dirinya, membuat Nara tak ingin bermalas-malasan, apalagi teringat hutangnya pada Rendra.

Ah, tiba-tiba ia teringat pada Nares dan Rendra yang sama-sama tak lagi di jumpainya, juga Brian.

Selama seminggu itu, Nara benar-benar sendirian. Nares tak sedetikpun menampakkan wajah tampannya, pun Rendra yang semenjak ia tolak kedatangannya.

"Ayo, Nara. Semangat!" Nara mengepal tangan dan menyemangati dirinya sendiri.

Gadis itu kembali mengayun langkah ke arah butique yang menjual pakaian pengantin, tempatnya bekerja paruh waktu selama ini.

Pintu kaca itu ia dorong, dan saat dirinya sudah berada di dalam ruangan yang memamerkan jajaran pakaian pengantin pria dan wanita itu, ia kembali menghirup napas lega.

"Hmmm, bau-bau uang," gumam Nara nyaris tak terdengar.

Nara kembali mengayun langkah mendekati seorang wanita yang saat itu sedang mengecek gaun pengantin berwarna biru di ujung ruangan.

"Siang Bu Windi, maaf Nara liburnya kelamaan," sapa Nara ramah.

Wanita berambut pendek yang saat itu sedang memunggunginya itu memutar tubuh dan menatapnya heran.

"Ya ampun, Nara. Ibu kan sudah bilang, kalau kamu masih belum sehat, istirahat dulu di rumah," wanita itu menatap gusar Nara yang terlihat mengulas senyum padanya.

"Ga apa, Bu. Nara sudah enakan. Sudah bisa kerja. Lagian, bosen di kosan ga ada kegiatan," tukas Nara sopan.

"Baik kalau begitu kamu bantu ibu. Ini ada payet yang belum terpasang. Orangnya sebentar lagi akan datang untuk fitting. Apa kamu bisa, Nara?"

Nara terdiam. Memasang payet bukan hal yang gampang, tapi kalau ia menolak, pasti akan membuat Bu Windi kecewa.

"Bisa Bu, Nara bisa," jawab Nara sekenanya.

Mendapat persetujuan Nara, wanita itu lantas meraih baju pengantin berwarna biru dan membawanya ke tempat lain dimana Nara bisa mengerjakan baju itu dengan leluasa.

Nara lalu berjibaku dengan baju pengantin itu. Pikirannya fokus hingga tak sadar sudah berjam-jam ia larut dalam kegiatannya itu.

Tiba-tiba saja Bu Windi menyuarakan namanya hingga jarum yang ia pakai untuk bekerja menusuk jemarinya karena terkejut dengan suara Bu Windi yang lantang.

"Nara, cepat bawa ke sini bajunya. Orangnya sudah datang,"

"Ba--baik, Ibu. Ini sudah selesai," jawab Nara sembari menghisap jarinya yang mengeluarkan darah.

Gadis itu cepat-cepat menemui Bu Windi. Namun, saat ia berhadapan langsung dengan Bu Windi, pandangannya tiba-tiba tertumpu pada seseorang yang berdiri di samping Bu Windi.

"Ka--kau... Nara?"

*****

My Handsome GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang