Proses perceraian sudah Kia ketahui. Ternyata malam di mana ia menelpon Awan ada Hujan yang tidak sengaja mendengarnya. Sungguh, Kia menyesal mengatakan itu melalui via telepon.

"Mas, mending Mas temuin kak Hujan. Bicarain baik-baik. Barangkali kak Hujan bisa berubah pikiran." usul Kia mengelus pundak Awan sekaligus menyadarkan lelaki itu dari lamunannya.

Awan hanya tersenyum lalu menuntun Kia memasuki kamar. "Kamu istirahat dulu. Kata dokter gak boleh banyak pikiran."

Usai mengatakan itu ponsel Awan berdering. Alisnya menyerngit saat mendapat nomor pihak rumah sakit menghubunginya.

"Hallo."

"...."

"Apa?!"

Rupanya suara Awan membuat Kia tak jadi merebahkan tubuhnya. Air muka Awan tampak sulit dijabarkan bahkan setelah telpon dimatikan.

"Mas ada apa?" tanyanya menggenggam tangan Awan. Kini atensi pria itu mengarah padanya.

"Mertua Mas meninggal 30 menit lalu."

Kia menutup mulutnya, terkejut setelah apa yang ia dengar. "Ayo Mas. Kita ke sana. Kak Hujan pasti terpukul."

Dan di sinilah mereka berada.

Sama-sama mengenakan pakaian hitam, Awan dan Kia berjalan masuk kedalam rumah sederhana Hujan. Baru saja sampai, keduanya sudah disambut oleh suara tangisan saling bersahutan dari beberapa orang.

Fokus Awan jatuh pada Hujan yang diam memandang wajah sang ibu di balik sepotong kain putih yang menutupnya.

"Rain."

Hujan mengangkat kepalanya dan kembali menatap wajah sang ibu setelah tau siapa yang memanggilnya.

Awan mengambil posisi di sampingnya kemudian ikut menatap tubuh kaku mertuanya yang telah berpulang. Kembali melirik Hujan di sampingnya, Awan memeluk bahu wanita itu dan mengusapnya lembut.

Saat ini Hujan tak membutuhkan ungkapan semangat dan bela sungkawa. Jadilah Awan hanya diam seraya memberikan kecupan singkat di kepala wanita yang masih berstatus istrinya tersebut.

Beberapa jam berlalu, pemakaman akhirnya selesai. Semua pelayat satu persatu mulai meninggalkan kuburan. Tersisa Hujan beserta keluarganya dan Awan yang berada di sana.

Meski sedari tadi tidak mengeluarkan sepatah kata tapi melihat dari kedua matanya yang sembab sudah pasti Hujan telah menangis sejadi-jadinya saat ibunya menghembuskan napas terakhir.

"Kadang Ibu ingin pergi duluan. Kalo hidup gini, Ibu cuman nyusahin kamu."
Itu adalah dialog terakhir sang ibu sebelum dinyatakan kritis.

Memang setelah obrolan keduanya mengenai percerainnya bersama Awan. Kesehatan ibunya semakin menurun dari hari ke hari sampai puncaknya adalah kemarin.

Segala upaya Hujan lakukan tetapi Tuhan lebih menyayangi seseorang yang telah melahirkannya itu ke dunia.

"Om sama tante mau pulang dulu. Bentar malam bakal datang ke rumah." sang tante mengelus rambut keponakannya itu sayang. Hujan mengangguk singkat dan menatap kepergian mereka dengan pandangan kosong.

Tinggallah Awan serta Hujan yang diliputi keheningan tak berarti.

"Rain, kenapa gak bilang soal kondisi ibu?"

Pertanyaan itu membuat Hujan menaruh atensi pada lelaki yang mungkin sebentar lagi menjadi mantan. Mengulang kembali ucapannya barusan dalam pikiran, Hujan hanya mampu mendengus lirih.

"Kenapa musti bilang? Bukannya ini yang Mas mau? Ngaku kalo udah nikah lagi, terus niat cerain aku. Setelah itu ibu drop. Sekarang tanggungan Mas udah gak ada. Ibu udah pergi, dia juga udah ninggalin aku." paparnya menahan pilu yang kian menekan raga serta jiwanya. Berusaha terlihat tegar memang tidak mudah, tapi akan Hujan lakukan bila harus bersinggungan dengan Awan.

Pria dengan penabur sejuta luka.

"Rain, untuk masalah itu Mas minta maaf. Mas hanya gak ingin rahasiain terlalu lama, Mas ngerasa dosa. Merasa emang itu waktu yang tepat buat Mas jujur." balas Awan memegang kedua bahu Hujan yang beruntung tidak ada perlawanan kali ini. Ditatapnya lekat manik hitam yang menyimpan banyak duka itu, satu kesadaran yang membuat Awan telah melukai begitu dalam hati Hujan.

"Rain, Mas gak mau kita cerai. Mas ingin kita sama-sama menjalani rumahtangga ini."

Pegangan Awan dilepas begitu saja sebelum Awan menuntaskan kalimatnya. Hujan menatapnya sengit, tapi meski begitu masih ada sisa kelembutan di dalam bola matanya itu.

"Keputusan gak ada yang berubah. Aku rasa surat itu udah lebih dari jelas untuk aku yang ingin melepaskan pernikahan ini," Hujan mengambil langkah mundur, berdekatan dengan Awan hanya akan membuat gemuruh dadanya bertambah.

"Mungkin Mas tidak tau. Tapi setiap wanita selalu menginginkan dia menjadi satu-satunya di hidup prianya. Entah itu aku ataupun Kia. Tidak ada yang benar-benar mengikhlaskan jika bukan ego yang berusaha ditekan. Selama ini aku udah nahan ego aku untuk selalu ngalah, tapi surat perceraian itu adalah titik di mana kamu emang berniat untuk lepas. Persetan dengan khilaf atau sadar diri, nyatanya niat itu muncul saat Mas benar-benar sadar. Dan bila memungkinkan bersama, tak bisa dipungkiri niat itu bakal balik bila Mas merasa mulai jenuh sama aku."

💍💍💍

Ketika ego ditahan maka ada dua kemungkinan. Mendapat rugi atau mendapat untung.

True?

Tim cere mana nih?

Yang misuh2 kapan cerenya, sabar.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now