NABASTALA DAN NISKALA NIRWANA

Start from the beginning
                                    

Hari telah gelap. Baskara telah digantikan oleh sang candra yang dengan anggun menyabit pada singgasananya ditemani oleh ribuan formasi gemintang. Tak lupa dengan angin malam yang berembus pelan tengah menggelitik pori-pori dengan bulu-bulu kedinginan. Kivandra beranjak berdiri di samping Niskala. “Mari kita makan. Anda perlu meminum obat.” Ia mengulurkan tangannya pada Niskala.

"Aku tidak membawa uang apalagi obat.” Gadis itu masih saja bersifat dingin pada Kivandra.

"Saya yang traktir.” Dan dengan sigap ia menangkap pergelangan tangan Niskala dan menarik berdiri gadis itu. Ia menggandeng tangannya sehingga Niskala tidak memiliki pilihan selain mengikuti Kivandra.

Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak alun-alun kota. Kivandra mengajak Niskala makan di salah satu warung terdekat yang menjual pecel lele. Lelaki itu kenal dekat dengan penjualnya karena memang sering mampir ke warung ini. Ia menyapa pemilik warung dan memesan dua porsi pecel lele beserta teh hangat, lantas mengajak Niskala duduk di salah satu bangku.

“Pecel lele di sini sangat enak. Anda harus mencobanya,” ujar Kivandra memberi tahu.

“Apakah lebih enak dari yang dijual di restoran?” Niskala menimpali dengan tanya, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Kivandra.

Keduanya terdiam sembari menunggu pesanan datang. Niskala yang melamun tengah menatap jauh keluar sana. Sedang Kivandra menggunakan kesempatan itu untuk mencuri pandang. Ia memerhatikan pahatan elok dari wajah seorang Niskala Nirwana. Netranya yang bulat tampak sendu seperti biasa, dengan pipi tembamnya yang berpadu dengan gigi kelinci yang tampak menggemaskan kala mulutnya sedikit terbuka seperti sekarang. Apalagi ditambah dengan rambut sebahunya yang menambah kesan tersendiri yang tak dapat ia jelaskan.

Sejenak kemudian, pesanan mereka datang. Namun, tak ada respons dari gadis manis di hadapannya. Ia masih saja melamun seperti sebelumnya. Kivandra mengibas-kibaskan tangan kirinya di depan wajah Niskala, namun tak mengubah apa pun. Beberapa kali pula ia menyebut nama Nirwana maupun Nabastala. Hingga sebait nama meluncur dari mulut gadis itu. “Kavi.” Asma itu diucapkannya dengan teramat lirih. Pandangannya telah menoleh seolah menatap ke samping Kivandra. Tapi anehnya, tak ada siapa pun di sana.

“Ke mana saja kau, Tuan. Aku merindukanmu,” lirihnya sekali lagi. Ia beranjak berdiri. “Nabastala tengah menantikan Auriganya, sedang Nirwana sudah merindukan kegilaannya.”

Tangan gadis itu terangkat, seolah ada seseorang di hadapannya yang tak dapat dilihat oleh Kivandra. Bahkan psikiater itu beberapa kali mengucek matanya, khawatir ada yang salah dengan penglihatannya. Dan pada saat selanjutnya, ia melihat Niskala seolah ingin memeluk orang di hadapannya yang ia sebut sebagai Kavi. Tapi, ia hampir terjatuh jika saja Kivandra tidak memeganginya. Sebab di hadapan gadis itu hanya ada meja dan udara kosong. Bukan sesosok laki-laki berasma Auriga Kavi.

“Anda baik-baik saja?” tanyanya setelah dirasa Niskala telah sadar dari ilusinya.

Gadis itu tak menjawab pertanyaannya. Ia kembali terduduk dan menatap pecel lele miliknya tanpa menyentuhnya. Dan pada detik selanjutnya ia telah menangis sejadi-jadinya.

***

“Maaf karena telah mengganggu waktu anda malam-malam seperti ini.” Itulah kalimat pembuka yang diucapkan Kivandra pada sambungan telepon pada Mira setelah sapaan selamat malam. “Saya ingin memberitahukan perihal keadaan anak Ibu.”

Mira melirik sekilas pada putrinya yang telah tertidur. Menghela napas berat lantas mengangguk sebagai jawaban, meski ia tahu Kivandra tentu tak akan dapat melihatnya.

“Setelah apa yang saya lihat dari kondisinya pada tiga hari terakhir, saya memiliki keyakinan kuat bahwa Nirwana menderita Dissociative Identity Disorder atau yang biasa disebut dengan kepribadian ganda. Ia memiliki dua kepribadian, yang pertama adalah Niskala Nirwana yang kita ketahui memang dialah yang lebih sering menguasai Nirwana. Dan yang kedua adalah Nabastala.”

Kalimat terakhir dari Kivandra membuatnya tercengang. “Nabastala?”

“Benar, Bu. Seperti yang kita tahu, Nabastala adalah kepribadian aslinya. Dan kemudian muncullah Niskala Nirwana sejak ia berusia tujuh tahun.”

“Tapi, apa yang membuatnya sampai seperti ini, Dok?” tanya Mira sembari berjalan mendekati jendela kamar Niskala. Ia memandangi langit di luar sana yang tampak mendung sedari dua jam yang lalu, namun hujan tak kunjung turun.

“Hal ini banyak terjadi karena trauma. Setelah saya meneliti kasus Niskala, ada suatu tragedi yang saya yakini sebagai pemicu terbentuknya kepribadian baru.” Kivandra menjelaskan dengan perlahan.

Mira kembali menghela napas panjang. “Apakah itu?”

“Kematian Ayahnya yang bernama Bintang. Menurut saya, itulah pemicunya. Seperti yang anda katakan, bahwa Niskala sangat dekat dengan Ayahnya. Kematian beliau membuat Nirwana merasa kehilangan dan amat terluka. Putri anda tidak dapat menerima hal itu, sehingga terciptalah kepribadian lain untuk menutup kisah menyedihkan tersebut. Kisah itu milik Nabastala. Niskala Nirwana hadir untuk menyimpan rapat-rapat tragedi menyakitkan itu bersama Nabastala.”

Setetes bulir bening lolos dari pelupuk matanya. Dengan segera Mira menghapus butiran sendu itu. Kematian suaminya memang benar-benar melekat dalam diri Mira hingga membuatnya sempat depresi. Kehilangan suaminya menciptakan luka yang teramat dalam pada hati Mira. Jika ia saja yang telah dewasa dapat mengalami kondisi seperti itu, bagaimana dengan putrinya yang pada waktu itu masih berusia tujuh tahun? Ini pasti terlalu berat untuk ditanggung oleh putri kecilnya seorang diri, sedang ia baru menyadarinya sekarang. Dalam hatinya ia menanggung perasaan bersalah, ia merasa gagal menjadi Ibu yang baik untuk putrinya.

Ternyata, isak tangisnya terdengar dari ujung sana. Dengan cepat Kivandra berkata, “Anda tenang saja. Saya berjanji akan terus mendampingi hingga Nirwana sembuh. Ini janji saya sebagai dokter dan teman untuknya. Saya akan melakukan psikoterapi secara perlahan untuk menyadarkannya, dan membantunya untuk ikhlas.”

Tanpa ia sadari, Mira mengangguk dan menghapus air matanya. “Terima kasih. Terima kasih sudah mau bekerja keras untuk kesembuhan anak saya.”

“Sudah menjadi tugas saya.”

“Sepertinya sudah terlalu larut. Jika sudah selesai, saya izin menutup telepon.”

“Sebentar.” Kivandra mencegah dengan cepat. “Ada lagi yang ingin saya sampaikan kepada anda.”

Mira terdiam, urung memutuskan sambungan. Ia menunggu Kivandra melanjutkan pembicaraannya.

“Apakah anda mengenal Auriga Kavi?”

Ia tampak berpikir sejenak. “Sebenarnya tidak. Tapi, saya pernah membaca nama itu dalam cerita novel yang ditulis oleh Niskala.”

“Nirwana juga menulis novel? Ia pernah mengatakan pada saya bahwa ia hanya menulis puisi.”

“Sebenarnya dulu, iya. Tapi, sejak satu bulan yang lalu ia mulai menulis novel. Apakah itu penting, Dok? Jika memang dibutuhkan saya akan carikan file cerita tersebut dan mengirimnya kepada Dokter.”

Beberapa saat hening, tidak ada balasan dari ujung sana. Sepertinya, Kivandra tengah berpikir. “Ah, seperti itu rupanya. Boleh, jika tidak merepotkan anda.”

“Baik, Dok. Setelah ini akan segera saya kirimkan.”

“Baik. Maaf telah mengganggu waktu anda malam-malam seperti ini. Dan terima kasih atas informasi yang telah anda berikan.” Kivandra mulai menggiring menuju akhir percakapan.

“Seharusnya saya yang berterima kasih. Terima kasih banyak, Dok.”

“Baiklah, sampai jumpa dan selamat Malam.”

TO BE CONTINUED

MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now