KUNANG-KUNANG DAN KEPERGIANNYA

6 4 1
                                    

HAPPY READING

Perlahan, aku membuka mata. Beberapa kali mengerjap untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu di atas sana. Saat telah sepenuhnya sadar, pandanganku mulai menelusuri setiap jengkal ruangan. Ruangan tersebut tampak tak asing, namun aku belum pernah memasukinya sebelum ini. Aku melirik ke arah dadaku kala merasa ada sesuatu yang menimpanya. Sedikit tertegun ketika mendapati wajahnya begitu dekat.

Aku baru menyadari jika ini adalah kamar Nirwana. Dan kini si tuan kamar tengah tertidur dengan terduduk di kursi sebelah ranjang, menggunakan dadaku sebagai bantalnya. Aku mengusap surainya hati-hati, namun rupanya itu tetap mengusiknya. Gadis itu kini telah terbangun. Beberapa kali ia mengerjap, dan langsung sadar sepenuhnya saat mendapatiku telah membuka mata. “M-maaf. Kamu baik-baik saja?” tanyanya.

Aku mengangguk sebagai jawaban. “Aku baik-baik saja, Nona. Aku sudah kembali pulang.” Menampakkan senyum termanis di hadapannya. “Terima kasih sudah menolongku dan tidak membiarkanku tetap terjerumus di tanah.”

“Aku tidak sekejam itu untuk melakukannya.” Ia kembali pada sifat angkuhnya. Terkadang aku heran dengan perubahan sifat dan suasana hatinya yang begitu cepat beralih. Apakah semua perempuan seperti itu, atau hanya gadis di hadapanku ini?

Lantas dia beranjak dari kursi, memutari ranjang untuk menuju nakas di sisi lain tempat tidur ukuran single tersebut. Menyeduh air hangat pada gelas kaca bening.

Namun, sebelum ia kembali ke sisihku dan memberikan segelas air hangat itu, aku merasakan ada yang meliuk dalam perutku. Rasanya seperti ada yang mengobok makanan di dalamnya dan ketika berangsur membaik isi perutku seolah didorong ke atas. Dan pada saat selanjutnya aku sudah memuntahkannya ke lantai.

Nirwana menatapku dengan tajam. Bukan. Gadis itu tidak memarahiku karena telah mengotori lantainya. Sesaat kemudian ia berkata dengan tajam, “Mengapa kamu memakan nasi goreng itu saat kamu sendiri tidak bisa memakannya.” Tidak ada nada bertanya dalam kalimatnya. Sekali lagi aku terheran, apakah firasat perempuan memang setepat itu?

Ia mengulurkan gelas di genggamannya padaku, yang kuterima dengan senang hati. “Aku tidak pernah menyesal telah menghabiskannya, Nona. Akan lebih menyakitkan melihatmu dalam keadaan sakit.” Lantas meneguk air hangat yang dituangnya.

Ruangan itu sunyi, menyisakan suara detak jam dinding yang kini tengah menunjuk angka lima. Itu berarti sudah sekitar empat jam lebih aku tak sadarkan diri hanya karena memakan separuh porsi dari nasi goreng ekstra pedas miliknya.

“Nona, tetap naungi aku dengan nabastalamu, ya?” Gadis itu menatap tepat ke mataku. Seolah telah terkena sihirnya, aku tak dapat mengalihkan pandang dari netranya yang kecokelatan. “Aku butuh rumah untuk pulang.”

Tidak ada tanggapan darinya. Ia hanya menatapku dalam diam.

“Tetap jadi langit untuk semua orang, meski bintang favoritmu telah hilang,” lanjutku.

“Apa maksudmu? Jangan bicara omong kosong!”

“Malam ini, bolehkah aku menunaikan semua janjiku yang tertunda?”

***

“Kamu benar-benar sudah baik-baik saja?” Gadis dengan surai hitam sepundak tersebut menatap lelaki di sampingnya dengan khawatir. Keduanya tengah berjalan menelusuri jalan setapak yang sepi. Dengan dingin yang menghampiri.

“Aku baik-baik saja, Nona. Kamu sudah merawatku dengan baik tadi. Dan sekarang giliranku untuk menepati semua janji-janji yang telah tertunda.” Pemuda berasma Auriga Kavi tersebut balik menatapnya dengan tatapan memohon maaf. Mengisyaratkan bahwa ia begitu menyesal karena tak dapat menunaikan janjinya di malam-malam yang telah ia janjikan.

Malam itu, dunia seolah tengah berbahagia. Gemintang bertebaran dengan indah di luasnya nabastala yang tampak cerah tanpa awan, menemani sang candra pada takhta tertingginya. Semilir angin berembus menggoyangkan pohon-pohon  cassia di pinggir-pinggir jalan yang mereka lewati. Ilalang menari-nari sembari membisikkan jawaban-jawaban singkat dari tanya yang tak sempat terucap. Benar-benar cuaca yang tepat untuk menghabiskan malam dengan berjalan-jalan bersama pasangan yang baru saja mulai bertegur sapa.

“Masih ada besok. Besok hari Minggu, kita bisa menghabiskan waktu seharian penuh besok. Itu lebih dari janjimu menikmati malam hari berdua.” Gadis berpipi tembam yang kerap di sapanya dengan asma Nirwana itu tampak khawatir.

Mereka telah sampai di padang rumput luas itu. Dari atas bukit sana, cahaya perkotaan seolah memiliki keindahannya sendiri. Keduanya duduk di atas rumput tebal tanpa alas, menatap langit cerah dengan ribuan formasi bintang yang bernaung padanya.

“Tidak, Nirwana. Tidak akan ada hari esok. Seperti halnya novel, kita telah berada pada bab epilog, dan terus berjalan menuju halaman terakhir. Malam ini kita akan menuju halaman terakhir tersebut.” Kavi menatap Nirwana dalam. Keduanya tenggelam dalam tatapan yang menjerumuskan pada niskala.

Nirwana yang duduk di sampingnya menoleh cepat. “Apa maksudmu? Sudah kubilang, jangan bicara omong kosong!”

Tapi, seruan dari gadis itu hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Kavi. “Kamu tidak seharusnya ada di sini. Masih ada harapan untukmu. Masih ada orang-orang yang menunggumu di sana.”

“Sudah kubilang. Keadaanmu belum cukup baik, bicaramu jadi ngelantur.”

“Tempatmu bukan di sini, Nona. Jangan cemaskan aku, jika Tuhan berbaik hati dan mengehendaki perjumpaan kita, mungkin akan ada seri kedua dari novel tersebut. Dan sembari menunggu seri itu, aku akan terus merindukanmu.”

“Sebaiknya kita pulang, Tuan. Udara dingin tidak baik untuk keadaanmu saat ini.” Nirwana mencoba untuk menetralkan kekhawatirannya, berbicara dengan lebih tenang.

“Kamu seorang penyair yang berhasil membuatku candu, Nona. Puisi-puisimu mengalir bagai sungai murni yang menghadiahkan getaran-getaran yang menggila.” Laki-laki itu kembali menatap gadisnya dengan lembut, tatapannya jauh lebih dalam dari sebelumnya.

“Kini, puisi itu telah sempurna selesai, Nona Niskala Nirwana.”

Tepat di ujung kalimat itu. Kawanan kunang-kunang itu kembali hadir seperti malam-malam sebelumnya. Namun, dalam penglihatan Nirwana, mereka hadir untuk hal yang sama sekali lain dari pada malam-malam yang lalu.

Kunang-kunang itu beterbangan di sekeliling mereka. Tapi, tiada perasaan gembira yang ikut hadir dalam diri seorang Niskala Nirwana. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh dan tak dapat dimengertinya.

Seberkas cahaya tiba-tiba hadir menyelimuti dirinya. Cahaya itu kian bersinar menyilaukan. Nirwana merasa seolah ia ditarik ke dalamnya dan menjauh dari Kavi. Beberapa kali ia berseru meminta tolong pada pemuda itu, namun tak ada jawaban. Laki-laki itu tetap pada duduknya.

Nirwana terus memberontak, berharap ia dapat terlepas dari kungkungan cahaya itu. Tapi, ia tetap terseret seolah cahaya itu akan melahapnya. “Tolong aku, Tuan! Aku ingin tetap bersamamu!” Seruannya tak mendapat tanggapan.

“Sampai jumpa, Nona.”

Dan pada detik itu pula, ia terseret ke dalam cahaya seolah terlahap. Sinarnya yang begitu menyilaukan membuat Nona penyair mengerjap-ngerjap tak mampu memandang dengan benar. Ia merasakan seolah tubuhnya terangkat dan melayang sekitar setengah meter dari tanah. Lantas terseret pada arus cahaya yang semakin menyilaukan mata, mengambil alih penglihatannya.

Dua insan itu telah berada pada halaman terakhir dari cerita ini. Puisi panjang yang menggetarkan telah usai ditulis. Sampai jumpa pada judul berikutnya, yang mungkin hanya menyisakan hampa. Atau biarkan saja semua berhenti pada larik terakhirnya?

Sebungkus renjana telah dibawa pergi oleh angin yang menerbangkannya

Beberapa berjatuhan di lautan lepas terhantam ombak dan hanyut

Sebagian berserakan di jalan-jalan menjadi makanan burung gereja

Sisa sebiji menjadi teman sebuah kisah yang telah terhenti di persimpangan


TO BE CONTINUED

MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now