BAB 1. 1016 (Ana)

Mulai dari awal
                                    

Sejurus kemudian muncul gumpalan awan yang bergerak ke arahku, berhenti tepat di depan kakiku. Rasa penasaran membuatku menjerumuskan kakiku ke dalam awan itu, ternyata ada lantai keras yang bisa kuinjak, tadinya kukira kakiku akan tembus. Saat tanganku asyik meraih awan tersebut untuk merasakan teksturnya, muncul sebuah kursi setinggi lututku, baru sedetik aku duduk, awannya bergerak. Ternyata ini adalah kendaraan ajaib, alat transportasi para penghuni Pulau Impian. Tak hanya kursi yang muncul sendiri, kini aku disuguhi makanan dan minuman yang entah muncul dari mana, serta televisi canggih yang langsung menayangkan film sesuai seleraku seakan bisa membaca pikiranku.

Perjalanan kali ini cukup singkat, aku diantar ke sebuah bangunan terapung yang tidak terlalu besar. Bangunan ini memiliki dua lantai, hanya ada satu ruangan tertutup dan satu ruangan terbuka di setiap lantainya. Ajaibnya, ruangan tertutup di setiap lantai bisa berubah sesuai kebutuhan. Saat kita perlu kamar, ruangan otomatis memunculkan kasur, saat ingin makan, ruangan ini seketika menghadirkan meja, kursi, serta makanan lezat. Tidak heran, karena aku sedang berada di dunia fantasi bernama Pulau Impian. Justru aneh rasanya kalau tidak ada keajaiban di sekitarku.

Sendirian, tadinya kukira akan tetap begitu. Ternyata ada satu orang lagi yang sampai ke tempat ini, sama sepertiku dia juga mengendarai awan. Mungkin awan itu satu-satunya alat transportasi di sini. Gadis cantik berambut panjang yang mengenakan gaun selutut lengan pendek dengan motif bunga berwarna merah muda berhasil menarik perhatianku. Entah kenapa aku familiar dengan matanya, padahal aku tidak kenal dengan kakak kelasku karena kelas kami berada di wilayah yang berbeda.

"Nomor induk siswa 1003, namaku Sica. Siapa namamu?" sapanya ramah dilengkapi senyuman manis yang membuatnya terlihat sangat cantik.

"1016, nama asliku Ana. Kamu korban seleksi alam kelas dua, ya?" Hanya basa-basi, karena saat dia menyebut nomor induknya, sudah pasti dia juga korban seleksi alam sama sepertiku.

Oh iya, cara para murid Wonderland Academy saling memanggil adalah dengan nomor induk siswa, karena kamu dilarang memberitahu identitas diri kepada siapa pun. Namun, saat kami sudah lulus dari sekolah ini atau menjadi korban seleksi alam, maka kami sudah boleh memanggil dengan nama kami. Tidakkah kamu rasa Wonderland Academy menyimpan banyak misteri? Lupakan, toh, sekarang aku sudah bebas.

"Iyap, tapi meski aku seniormu, kamu boleh memanggilku dengan nama saja, biar lebih akrab. Senang mengenalmu," jawabnya santai sambil mengulurkan tangan.

"Senang bertemu denganmu juga, semoga kedepannya kita bisa berteman akrab." Aku harus rajin menambah relasi di tempat asing ini karena aku benci kesepian. Aku juga sudah bertekad untuk tidak membuat masalah di sini, agar aku bisa hidup tenang.

Tak kalah anggun dari Sica, seragamku juga sudah berganti menjadi gaun panjang tanpa lengan, warna biru malam dengan taburan gliter putih, menghadirkan nuansa langit malam yang indah. Rambut pendek sebahu tertata rapi dengan jepit rambut berbentuk bulan sabit. Jika saja 1011 melihat penampilanku yang sekarang, mungkin dia tidak akan bisa mengalihkan pandangannya ke gadis lain, sayangnya aku harus menunggu tiga tahun lagi untuk bisa bertemu dengannya, dia akan menyusulku ke sini setelah menyelesaikan tugasnya sebagai murid sekaligus mata-mata di Pulau Surga.

Tak berselang lama, dua korban seleksi alam lainnya juga datang ke tempat ini, barulah datang seseorang yang ditugaskan untuk menjadi pemandu kami. Dia menjelaskan tentang Pulau Impian kepada kami. Termasuk rumah cerdas yang sekarang kami tempati. Ruangan di rumah ini bisa berubah otomatis sesuai keperluan penghuninya, tanpa perlu mengucapkan sepatah katapun, katanya rumah ini bisa membaca pikiran.

Segala keajaiban yang ada di Pulau Impian bukanlah dipengaruhi oleh kekuatan sihir, melainkan hasil dari penemuan para ilmuwan. Semakin canggih tekhnologinya, maka semakin ajaib pula hasilnya. Meski saat ini terasa di luar nalar, katanya kelak kami akan terbiasa dengan semua ini saat terjun langsung dalam proses pembuatannya. Wah, semoga aku tidak salah dengar, terjun langsung dalam proses pembuatan benda-benda ajaib? Sungguh menakjubkan.

Setelah makan malam, kami diminta untuk segera beristirahat. Ruang makan seketika berubah menjadi kamar, aku dan Sica akan tidur di sini. Sedangkan ruangan di lantai atas akan menjadi kamar untuk dua korban seleksi alam lainnya, yaitu Leo dan Yudhi. Saat aku bertanya apakah kami berempat akan tinggal bersama, pemandu kami menjawab bahwa ini hanya untuk sementara. Besok kami akan dipertemukan dengan keluarga kami, lalu kami bisa memilih akan tetap tinggal di sini atau tinggal bersama keluarga kami.

Keluarga yang dimaksud bukanlah orang tua kami, melainkan saudara dari orang tua kami yang sebelumnya menjadi korban seleksi alam sama seperti kami, sehingga mereka juga terjebak di pulau ini. Katanya, kelak kami juga akan bertemu dengan keponakan kami yang akan jadi korban seleksi alam selanjutnya, dan berpisah dengan anak kandung kami karena dia harus tinggal bersama saudara kami yang tidak menjadi korban seleksi alam. Begitulah seterusnya dari generasi ke generasi. Entah apa tujuan memisahkan orang tua dan anak kandung, lalu malah harus hidup bersama keponakan, aku tidak ingin tahu karena aku justru berterima kasih dengan aturan ini yang sudah membebaskanku dari keluarga yang tidak peduli padaku.

Matahari belum muncul ketika kami dibangunkan oleh alarm otomatis yang tidak bisa dimatikan, berbeda dari jam weker, alarm di rumah ini tidak terlihat sehingga kami tidak bisa mematikannya untuk tidur kembali. Alarmnya hanya mati jika semua orang di rumah ini sudah bangun, mau tidak mau kami terpaksa bangkit dari tempat tidur.

Baru saja aku bangkit dari tempat tidur, ruangan ini seketika berubah menjadi ruang santai. Tadinya aku ingin segera menuju kamar mandi, bergegas menyiapkan diri untuk menjadi bintang utama pada acara penyambutan penghuni baru Pulau Impian, tapi mataku mendapati Sica sedang berdiri di teras, dia tidak sendiri, ada seseorang yang baru saja pergi saat menyadari aku sedang memperhatikan mereka.

SELEKSI ALAM 2 [END ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang