"Kenapa? Aku yang makan kenapa kau yang repot?"
"Ayo, ribut kalian. Aku suka lihat orang baku hantam." Chloe memanasi.
"Chlo, jangan mulai," mohon Chrys. Anak itu menatapku kembali. Dia mengangkat bahu pada akhirnya. "Ya sudah, kalau itu maumu."
Aku kembali menekuri soal. Tidak menghiraukan ocehan yang dilontarkan oleh teman-temanku.
Setelah cukup lama berkutat dengan kata-kata, aku masih belum bisa memastikan ada apa di balik soal-soal ini selain kumpulan teka-teki biasa yang sebagian besar aku sudah tahu jawabannya. Kulempar ipapyria-ku ke atas meja rendah dengan kasar. Kutarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekecewaan atas diri sendiri.
"Sekarang kau mau bicara atau masih mau merajuk?" tanya Chloe sambil melipat tangan di depan dada.
Kutarik napas dalam sekali lagi. Kupijat pangkal hidung untuk meredakan emosi sebelum kuambil lagi kumpulan soal di atas meja. "Ini bukan hanya sekadar kumpulan soal," jawabku sambil menyentil kertas elektronik itu. "Ada sesuatu ... mungkin petunjuk. Aku tidak tahu. Yang pasti, Prima Sophia sudah mendapatkannya."
"Dan?" Chloe mengangkat satu alis. "Apa itu penting? Kenapa kau sangat terobsesi sekali?"
"Karena seperti kata Pak Oxa ... dan Alva. Di pertemuan terakhirku dengan Pak Ben juga, dia bilang bahwa tidak hanya hasil di pertandingan saja yang diperhitungkan. Pertandingan sudah dimulai sejak di arena latihan. Semua sesi latihan ini pasti mendapat penilaian. Sepertinya aku terlambat menyadarinya."
"Itu, kan, hanya asumsimu saja." Gadis itu menjawab santai. Ia bahkan bisa-bisanya mengupil di saat aku tengah berpikir keras. "Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." Kotoran hidungnya ia buang ke sembarang tempat. Menjijikkan.
"Kalau tidak seperti itu, kenapa Prima Sophia dari awal selalu ingin menang bahkan hanya dalam sesi latihan?" tanyaku skeptis.
"Ya, mana ada orang yang tidak serius!" Nada bicara si Gadis Badut meninggi. "Pikirkan saja, ini olimpade. Masa mau berleha-leha? Otakmu yang cerdas itu pakai, dong! Kau itu terlalu paranoid!"
"Apa kau mau bilang kalau aku ini bodoh dan mudah takut, huh?!"
"Iya! Memang kenapa?!" Gadis itu bangkit dari duduknya, menantang.
"Sudah, sudah." Chrys mencoba menengahi kami. "Ren, kami hargai sikap waspadamu, tetapi memaksa pikiran untuk hal yang belum pasti hanya akan membuatmu stres. Tenang dulu, oke?"
"Kau juga menganggapku paranoid?" tanyaku.
Chrys mengerutkan wajahnya sambil tersenyum bodoh. Dia memandang ke arah lain, seperti orang yang sedang menyusun kata-kata serta juga takut salah bicara. "Kita makan dulu, ya? Otakmu butuh nutrisi untuk berpikir keras. Itu kenapa kau pesan makanan berat, 'kan?"
Aku mendesah seraya menyandarkan punggung. "Terserah."
"Kau sedang PMS, ya?" cemooh Chloe seraya kembali duduk.
"Ish! Chlo!" geram Chrys. Gadis yang dimaksud hanya mengedikkan bahu.
"Prima Sophia bisa bertingkah seperti itu mungkin karena Bu Eva memberitahukan sesuatu. Bisa saja itu benar, bisa saja tidak. Kita belum tahu," asumsi Chloe.
"Termasuk terburu-buru ke luar ruangan dan berpencar. Mereka diberi tahu sesuatu?" tanyaku skeptis.
"Ya, mana kutahu."
Aku memandang sinis Badut Konyol itu.
Sesaat setelah itu, pintu diketuk. Makanan yang kami pesan datang. Aku menyantap makananku tanpa memperhatikan yang lain. Mereka tengah sibuk menikmati pesanan masing-masing dengan senda gurau sementara aku kembali berkutat dengan petunjuk yang masih belum kutemukan. Aku berpikir keras. Seperti mencari pintu misterius berisi harta karun dalam sebuah kuil yang belum tentu ada.
YOU ARE READING
Avatar System: Brain Games (END)
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...
Bab 26: Syntax Error
Start from the beginning
