"Seharusnya kita membuat karya tulis ilmiah saja," gumamku.
Gadis cerewet di sampingku protes. "Dan membuat cerita ini jadi membosankan? Maaf saja, tetapi aku tidak mau. Meskipun kau tokoh sentralnya, aku akan sekuat tenaga agar semua itu tidak akan terjadi. Kalau perlu biar aku saja yang jadi naratornya!"
"Chloe benar, Ren. Berhentilah jadi orang yang kaku. Itu membosankan!"
"Kau bahkan lebih keras dari batu!" tambah si Gadis Badut.
"Tapi, Chloe, batu akan melunak kalau terus diberi air. Kau hanya perlu menyentuhnya di tempat yang tepat secara terus menerus. Seperti peribahasa." Chrys terus menyenggolku dengan siku sambil tersenyum. Aku menepis lengannya.
"Sudahlah, kalian berdua!" seruku—yang menarik perhatian Pak Ben untuk menegur kami.
"Yang di tengah bisa diam?"
Kami bertiga tertunduk. "Maaf, Pak," ujar kami serempak. Tawa cemoohan terdengar dari kedua sisi.
"Semua ini salah kalian berdua," tuduhku. Si Badut Konyol mencebik, sedangkan si Anak Pirang memonyongkan bibirnya sambil melihat ke arah lain.
"Baik, sekarang kita mulai saja. Setiap ketua tim maju untuk mengambil soal latihan," perintah Bu Eva.
Aku, Saka, dan Alva maju dan mengambil masing-masing empat lembar ipapyria—kalau kalian lupa, kertas elektronik tipis yang dapat memuat beragam data dengan adanya memori yang tertanam di dalamnya—berukuran A5 berisikan 25 soal per lembar dari Bu Eva. Karena juga bersifat digital, tulisan-tulisan yang ada bisa diperkecil atau diperbesar sesuai kebutuhan.
"Kalau kalian bertanya kenapa soal-soalnya tidak dikirim saja ke geniusphone kalian, ini agar kalian bisa fokus dan tidak terganggu dengan notifikasi apa pun, apalagi notifikasi dari gim." Bu Eva mengangkat satu jari. "Ingat, latihan ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Jangan menggampangkan apa pun."
Pak Oxa menambahkan dari tempatnya duduk di ujung kiri. "Pertandingan telah dimulai bahkan semenjak di arena latihan. Kami sudah pernah mengatakannya berulang kali. Tetap perhatikan baik-baik setiap soal latihan yang diberikan. Hal itu mungkin akan membawa pengaruh besar pada hasil akhir."
"Bapak akan jelaskan teknisnya." Pak Ben buka suara kembali. "Kalian punya stylus, 'kan?" tanyanya memastikan.
"Ada, Pak." Sebagian dari kami menjawab, sebagiannya lagi mengangguk.
"Nah, tulis jawaban kalian di bawah pertanyaan yang ada. Kalian boleh mengerjakannya di mana pun. Ada waktu dua hari untuk mengerjakan sebelum kita samakan jawabannya nanti."
Suara riuh bisik-bisik bergaung.
"Kau dapat apa?"
"Aku mau lihat!"
"Oh, aku tahu jawabannya!"
"Mana mungkin jawabannya 'pantat babi'."
"Tukar, dong ...."
"Mana boleh!"
"Untuk permulaan, Bapak akan bacakan salah satu soal, nanti kalian tebak jawabannya beserta beri penjelasannya," kata Pak Ben sambil melihat lembar soalnya sendiri.
"Baik, Pak ...," jawab kami.
"Oke." Pak Ben berdeham mengetes suaranya. "Aku bisa cepat, aku bisa diam. Aku dapat mendingin, aku dapat memanas. Pun, menjadi keras. Pula dapat menyelip hampir di segala hal. Apakah aku?"
Sayup-sayup suara para siswa di aula serbaguna menggema.
Aku menghela napas pasrah. Benar-benar seperti permainan anak SD. Bisa-bisanya yang seperti itu masuk ke soal olimpiade. Seharusnya soal-soal yang lebih menantang otak yang dikeluarkan. Bukannya malah soal komedi. "Meh ...."
YOU ARE READING
Avatar System: Brain Games (END)
Science FictionMenjadi juara umum di kelas sepuluh sebelumnya, mengantarkan Arennga menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Sains Persahabatan bersama dua sekolah lainnya dari negara yang berbeda. Bersama tiga rekan setim dan avatar mereka masing-m...
Bab 26: Syntax Error
Start from the beginning
