RENJANA DAN KEPULANGANNYA

Start from the beginning
                                    

Aku menyipitkan mata. "Bagaimana kalo kamu sakit karena kebanyakan makan pedas?"

"Oh, ayolah, Nona. Bahkan nasi goreng itu tak lebih pedas dari ucapanmu.

Aku semakin menyipitkan pandanganku, menusuk iris pekat miliknya yang ia balas dengan tatapan tajam nan tegas. "Ke mana kamu selama tiga hari?"

Raut wajahnya seketika berubah, tatapannya yang tajam menjadi kosong, ia tampak sedang berpikir. Sedang tatapanku masih menusuknya, satu alisku terangkat seolah meremehkan.

Kavi mengangkat wajahnya dengan tersenyum. "Kamu merindukanku, Nona?"

Aku hampir melempar gelas jus alpukatku yang terisi separuh ke wajahnya. Kenapa orang di hadapanku ini benar-benar menyebalkan? Tentu saja aku merindukannya. Ingin sekali aku berteriak di hadapannya. Aku merindukanmu, aku benar-benar merindukanmu hingga aku hampir gila!

"Aku bertanya, ke mana saja kamu selama tiga hari?" Aku mengulang pertanyaan sebelumnya dengan sedikit tekanan. "Aku hanya perlu jawabanmu. Bukan marah, mencaci, ataupun memukul."

Hening sejenak di meja kami. Aku memutuskan untuk menghabiskan jus alpukat kesukaanku yang kini terasa hambar di lidah. Menutup laptop tak dan beranjak. Lantas berucap, "Kamu tidak bisa menjawabnya, Bukan?" Dan pergi meninggalkannya.

***

Jika ada hal yang lebih kubenci daripada seekor katak, maka itu adalah berbohong, apalagi jika itu harus membohongi diriku sendiri. Aku merindukannya? Tentu saja! Ingin sekali aku berlari kepadanya dan menghambur ke dalam peluknya yang hangat. Oh, aku tak tahu. Hidup ini terlalu rumit untuk aku yang hobi rebahan.

Aku masih memperhatikan sosoknya dari teras ruang laboratorium bahasa yang menghadap langsung dengan taman fakultas Sastra. Ia tengah sibuk dengan kanvasnya di bawah pohon ceri yang berbunga, bahkan sebagian dari bunganya telah luruh tergantikan dengan buah bulat kecil layaknya anggur berwarna merah maupun kuning. Punggungnya yang lebar seolah menjadi pemandangan indah yang membuatku terus memperhatikannya tanpa henti.

Sebenarnya, sudah sedari tadi aku mengikutinya, memperhatikannya diam-diam dari kejauhan. Dalam seharian ini aku merasa menjadi seperti seorang penguntit yang mengekori idolanya.

Dari kejauhan aku dapat melihatnya melukis dengan damai. Berkali-kali berganti warna cat, beberapa kali pula berganti kuas yang sesuai. Tak jarang ada orang lewat yang menyapanya. Siapa juga yang tak mengenal Auriga Kavi, seorang seniman hebat yang baru saja membuka galeri lukisan pribadinya. Jauh sebelum itu karyanya sudah dikenal hingga mancanegara dan digadang-gadang akan menjadi seniman ternama. Mungkin hanya aku yang terlalu nyaman dalam duniaku sendiri sampai baru mengenalnya. Bahkan fakta yang kubeberkan barusan juga baru saja kuketahui lewat pencarian di internet.

Ia kembali menorehkan cat berwarna putih dengan teknik akuarel. Terlihat berbeda dengan warna yang ditumpanginya. Aku dapat melihat dari sini, sebelum ia menambahkan sapuan tipis warna putih di sana adalah percampuran abstrak dari warna-warna pekat yang dibubuhkannya dengan teknik plakat. Aku mengetahui nama-nama dari teknik tersebut karena tercantum dalam buku seni yang kubaca demi memperdalam riset untuk cerita novelku.

Setelahnya ia menyapukan sedikit warna hitam di atas putih kembali dengan teknik akuarel. Dengan kemahirannya ia membuat seolah itu adalah sinar terang yang suram.

Seorang gadis menghampiri Kavi, menyapanya dengan riang. Dari yang kulihat, aku mengenalinya sebagai adik tingkatnya di jurusan seni. Gadis itu duduk di hadapan Kavi, membuat bibirku mengerucut sebal olehnya. Ia berbicara dengan riang, sesekali bercanda dan tertawa. Sayangnya, aku tak dapat melihat bagaimana respons Kavi, karena ia memunggungiku.

Sebenarnya, jarak kami tidaklah jauh. Samar-samar aku masih dapat mendengar apa yang dibicarakan gadis itu. Tentu saja tentang seni, itu kesamaan mereka. Tapi, aku tak dapat mendengar balasan dari Kavi. Si gadis juga memuji lukisan yang tengah digarap oleh Kavi, yang kini telah menggambarkan seorang gadis terseret ke dalam sinar terang yang tadi dilukiskannya.

"Kau tahu?" Kini aku dapat mendengar suara Kavi dengan jelas. Seolah ia memang meningkatkan volume suaranya agar aku dapat mendengarnya. "Aku tengah melukis gadisku." Sedang aku semakin menajamkan telinga, mendengarkan dengan saksama.

Sinar bahagia dari wajah gadis tersebut berangsur meredup. Akan tetapi ia masih berusaha agar terlihat biasa saja. "Oh, ya? Apakah itu adikmu?" tanyanya. Terlihat sangat berharap Kavi akan menjawabnya dengan anggukan. Berharap, gadis yang dimaksud oleh Kavi adalah suatu hal yang lain dari kekasih.

"Dia kekasihku. Dan dia sekarang ada di sini." Ucapan Kavi terdengar begitu manis. Hingga gadis itu mengira Kavi tengah membicarakan dirinya. Menggombalinya dengan kalimat-kalimat indah.

"Kamu pandai bercanda, Auriga," ucapnya malu-malu.

"Aku tidak sedang bercanda." Kavi menanggapi, membuat pipi gadis itu semakin merona merah. Dan aku semakin kesal dibuatnya.

"Kekasihku ada di sini. Dia sedang mendengarkan percakapan kita," lanjutnya. Ia menoleh, tatapannya langsung tertuju kepadaku. Diikuti dengan pandangan tak menyangka dari gadis tadi.

Kavi kembali menghadap gadis tersebut. Dapat kulihat, wajah gadis itu sedikit kesal. Lantas aku mendengar Kavi berbicara sedikit keras agar aku mendengarnya, "Dan tidakkah kau punya rasa malu hingga masih berada di sini?" Kalimat itu diucapkannya dengan halus dan manis, namun terkesan menyindir.

Adik tingkat yang telah malu tersebut meninggalkannya dengan langkah yang mengentak-entak karena kesal. Setelahnya menghilang dari balik ruang administrasi, aku kembali memfokuskan perhatianku pada lelaki itu, merasakan ada yang ganjal
darinya. Ia duduk dengan sedikit bungkuk, kepalanya juga tertunduk. Dan detik berikutnya ia tumbang ke tanah.

TO BE CONTINUED


MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now