2. Bertemu

7.4K 789 90
                                    

9 Tahun lamanya sosok itu pergi meninggalkannya sendiri.

Tanpa kejelasan sosok itu pergi meninggalkannya yang bahkan tidak mengerti apa-apa.

Kepergian sosok itu menorehkan luka yang amat besar di hidupnya.

9 Tahun bukanlah waktu yang singkat.

Lalu sekarang, sosok itu berdiri di hadapannya dengan sorot mata sendu dan penuh penyesalan.

Badai terpaku diam menatap lurus pada sosok di hadapannya. Tangannya meremas kuat ujung seragam sekolahnya. Tubuhnya bergetar menahan rasa sesak yang menyelimuti dada.

Bohong jika Badai tidak rindu dengan sosok yang dia panggil Bunda itu. Badai sangat rindu! Akan tetapi di sisi lain, Badai juga merasa sangat kecewa dengan Bundanya.

Are menghampiri putra kecilnya yang berdiri diam. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua pipi, Are mengusap lembut surai halus putranya. Tangannya bergetar saat membingkai wajah putranya.

Tuhan betapa sangat berdosanya aku karena telah meninggalkan putraku yang bahkan tidak tau apa-apa. Ibu macam apa aku ini? Are menangis tergugu menatap putranya yang kini sudah beranjak remaja, tapi tidak dengan wajahnya yang masih sama saat ia kecil.

"Adek," ucap Are lirih. Ia mendekap erat tubuh mungil putranya. Dihirupnya aroma buah-buahan segar yang menguar dari tubuh putranya yang telah lama ia rindukan. Tidak berubah.

Are memejamkan matanya saat Badai tidak membalas pelukannya. "Maafkan Bunda ya Dek," Are melepas pelukannya menatap sedih putranya yang sedari tadi hanya diam.

Badai tidak tau harus bersikap seperti apa. Ia hanya bisa memandang Bundanya dengan menangis diam. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan sepatah kata.

Are menuntun Badai yang masih diam menuju keluarganya yang sedari tadi memandang momen haru pertemuan ibu dan anak itu.

"Semuanya perkenalkan ini putraku, Badai Arzegara."

Badai merasa gugup saat semua tatapan menatap ke arahnya. Ingat, semua! Mereka menatap Badai dengan pandangan yang berbeda-beda.

Seorang pria paruh baya berjalan tegap menghampiri Badai, "Halo nak," pria itu menunduk dan tersenyum tipis saat melihat perbedaan antara tingginya dengan Badai yang sangat kentara.

Badai mendongak, menatap bingung pria di hadapannya seraya mengelap hidungnya yang mengeluarkan muatan menggunakan lengan seragam sekolahnya.

Semua orang yang ada di ruangan tersebut terkekeh geli. Ah, betapa menggemaskan wajah mungil itu yang memerah karena menangis.

"Jangan gunakan seragam mu, nak. Sini, biar Papa yang bersihkan," pria paruh baya itu—Gempa mengelap ingus Badai dengan telaten.

Badai tersentak kecil saat pria di hadapannya itu menyebut dirinya Papa. Ia sontak sedikit memundurkan langkahnya.

Gempa tersenyum tipis melihat reaksi Badai. Ia mengerti jika semua yang terjadi hari ini pasti membuat putranya terkejut. Apalagi jika putranya sudah mengetahui yang sebenarnya, Gempa tidak tau nanti bagaimana perasaan putranya. Ia takut jika kebenaran itu nanti akan membuat putranya semakin terluka.

Tolong berikan aku satu kesempatan untuk memperbaikinya Tuhan, pinta Gempa.

"Nak duduklah dulu. Apa kau tidak lelah dari tadi berdiri terus?" Tanya Jonas—ayah Gempa.

Badai menatap meliar saat beberapa orang menyuruhnya untuk duduk di dekat mereka. Badai memutuskan untuk duduk di sofa single paling pojok. Ia masih merasa canggung jika berdekatan dengan mereka.

BadaiWhere stories live. Discover now