Night Terror

40 9 1
                                    

Ran tak pernah berlari secepat ini. Tidak saat ia dan Rindou melarikan diri dari kejaran polisi. Tidak juga saat ia mengejar jejak pengkhianat yang merugikan Bonten hingga ke sisi lain Jepang. Namun mendengar kabar tentang gadisnya berhasil membuat Ran berlari bagai Dewa Kematian sendiri yang hendak mengoyak tubuhnya.

"Haitani-san? Benar dengan Haitani-san? Maaf lancang karena menelponmu dari ponsel Akira-san. Aku hanya ingin mengabarkan kalau Akira-san pingsan dan sedang dilarikan ke rumah sakit."

Ran yakin selama beberapa saat jantungnya berhenti berdetak mendengar kabar itu. Abai dengan teriakan Rindou tentang tikus yang belum selesai dibasmi juga rentetan telepon dari Kokonoi tentang berkas yang belum ia tangani, Ran membelah jalanan Tokyo dengan kecepatan yang tak mampu dikejar oleh polisi.

Pintu mobil dibanting kasar ketika berhasil berhenti di parkiran rumah sakit. Kakinya melaju cepat menuju meja resepsionis, mengucapkan nama gadisnya dengan nada tak sabar. Debaran jantungnya menggila, Ran bisa merasakan dentumannya hingga ke telinga. Tak terdengar peringatan suster tentang dirinya yang berlarian di lorong.

Matanya terbelalak menemukan gadisnya tengah berbaring dengan wajah pucat di ranjang rumah sakit.

"Ada apa dengannya?" tanya Ran lirih.

Ia sama sekali tak memikirkan kemungkinan identitasnya akan terbongkar lalu rumah sakit akan melaporkannya pada pihak berwajib. Yang menduduki posisi teratas dalam prioritasnya adalah Akira.

"Kau keluarganya?" Dokter itu memastikan.

Ran mengangguk, mendekati sang hawa. "Tunangannya."

"Kuroyami-san pingsan karena kekurangan cairan dan sepertinya kurang makan." Dokter itu menelisik isi laporannya. "Kemungkinan besar kedua gejala itu dibarengi dengan stress berkepanjangan."

Ran mengucapkan terima kasih pada dokter yang menangani Akira. Menunggu hingga dokter itu keluar ruangan, barulah Ran duduk di kursi di samping ranjang Akira. Ia menggamit tangan Akira, membenahi selimut yang tersampir di atas tubuhnya, berusaha membuat Akira senyaman mungkin.

"Maaf," lirih Ran. "Maaf terlambat datang. Kau pasti lupa makan malam lagi kan? Memilih untuk tidur daripada mengisi perutmu yang meronta."

Bibirnya mengecupi punggung tangan Akira, matanya terpaku pada rupa gadis yang kehilangan cahaya. Hatinya bagai teriris, miris melihat sosok yang biasanya menatap sinis kini harus melewati kritis.

"Kenapa tidak menceritakan apapun padaku?" bisik Ran lagi. Ia menghela napas panjang, mengelus pipi gadisnya. "Poena. Kau mulai harus membuka dirimu terutama ketika aku tak ada di sisimu."

Ran mengembuskan napas berat ketika ponselnya berdering nyaring. Merogoh benda persegi panjang itu dari saku celananya, Ran mendengus kecil melihat nama si Bungsu yang tampil di layar.

"Aniki! Apa kau gila? Pergi ke mana kau?"

"Rumah sakit," balasnya singkat. "Akira pingsan. Kurang makan dan stress berlebihan."

Terdengar desahan panjang dari seberang telepon. "Biar kuberitahu Kokonoi untuk tidak menghubungimu dalam waktu dekat. Akan kuatur dokter yang menangani Aneki. Jangan terlalu lama di sana, Aniki."

Ran berdehem. "Terima kasih Rindou."

"Hanya... pastikan saja Aneki cepat pulih. Kita berdua membutuhkannya untuk kewarasanmu."

Ran terkekeh rendah, menyetujui ucapan si Bungsu sebelum mematikan sambungan. Atensinya teralihkan kala Akira mengerang, meremat jemarinya kuat. Ran mengernyit, menyapu ibu jarinya di punggung tangan Akira. Dalam hati bertanya-tanya apa yang menganggu sang hawa dalam lelapnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 15, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

His Poena : Side StoryWhere stories live. Discover now