Territory

149 16 6
                                    

Akira mengeratkan mantelnya kala angin malam menerpa. Pergantian musim dingin menuju musim semi mulai terlihat. Kian sedikit salju yang memenuhi jalan juga banyaknya kuncup bunga yang siap menyembul setelah bersembunyi di tengah sulitnya musim dingin. Roppongi, seperti biasa, tetap memamerkan pesona dengan kelap-kelip cahaya lampunya.

Uap putih muncul setiap kali Akira menghela napas, pertanda meski bunga sakura hampir bermekaran tetapi masih tidak memungkinkan untuk berkeliaran tanpa mengenakan jaket tebal. Ia meniup tangannya yang terasa membeku. Berdiri hampir sepuluh menit, menunggu sang pria yang berjanji akan pulang lebih awal malam ini, Akira mulai bergerak tak sabar.

Pagi tadi, ia dikejutkan dengan tingkah Ran yang menyodorkan kartu kreditnya berkata bahwa ia harus membeli sesuatu untuk merayakan hari ulang tahunnya. Akira menolak, tetapi Ran tetap bersikukuh hingga ia terpaksa mengangkat tangan. Berangkat dengan janji bahwa Ran akan menjemputnya, Akira mengikuti saran Ran untuk memanjakan diri. Karena itulah ia berdiri di depan toko buku seraya menenteng dua plastik belanjaan selepas bekerja.

Atensi Akira teralihkan saat mobil sedan hitam dengan nomor plat yang familiar berhenti di pinggir jalan. Mendengus kecil saat klakson ditekan, Akira berlari kecil menghampiri mobil. Kedatangannya disambut dengan senyum malas sang kekasih, segera menaruh plastik belanjaannya di kursi belakang lalu menyambar kedua tangannya.

"Tanganmu dingin sekali," Ran meremas tangannya, meniupkan udara hangat. "Kau sudah menunggu lama?"

Akira menggeleng. "Aku cuma lupa membawa sarung tangan."

Ran berdecak. Pria itu membawa kedua tangannya lebih dekat dan mendaratkan bibir di punggung tangan. "Lain kali jangan lupa bawa atau kalau terjadi lagi, lebih baik tunggu di dalam toko saja. Biar aku yang menghubungimu kalau sudah sampai."

"Iya, iya," Akira buru-buru menarik tangannya, membuang muka. "Ayo cepat jalan. Kita mau kemana?"

Ran terkekeh lalu mengusak rambut Akira. "Lucunya."

Ran mengangkat kedua tangannya saat Akira mendecih, melirik sang pria dengan titah untuk segera menjalankan mobil. Patuh pada perintah tak terucap sang gadis, menit selanjutnya Ran kembali menginjak gas.

Melempar pandangan keluar jendela, Akira memanjakan mata dengan keindahan lampu yang menerangi sisi jalan. Deru mobil juga penghangat yang dinyalakan membuatnya semakin rileks. Saat Ran menggamit tangannya lembut, Akira balas meremas. Hening di antara mereka tidak canggung, cenderung nyaman karena saling tahu bahwa kasih sayang tidak selamanya harus diucapkan.

"Jadi," Akira melirik Ran yang fokus menyetir—diam-diam mengagumi betapa tampannya sang pria. "Kita akan pergi kemana?"

"Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu," balas Ran. Ia menoleh sebentar, menyunggingkan seringai tipis lalu kembali memusatkan atensi pada jalan. "Aku kehabisan ide untuk hadiahmu. Jadi kuputuskan untuk menunjukkan hal ini."

Akira mendengus kecil. "Tidak perlu hadiah. Keberadaanmu sudah lebih dari cukup untukku."

"Di situlah kesalahanmu," mobil berhenti saat lampu merah. Ran berpaling menatap Akira dengan senyum khasnya. "Aku tidak bisa dihitung sebagai hadiah."

"Kenapa begitu?"

"Aku sudah milikmu," seringai Ran congkak, menangkup wajah Akira dengan tangannya yang bebas. "Tidak bisa kuberikan jika sudah menjadi milikmu, kan? Karena itu harus memikirkan permintaan lain, Poena."

Ran terkekeh pelan, mencondongkan tubuhnya lalu mencium pipi Akira yang merona. Melihat lampu lalu lintas kembali hijau, atensi Ran teralih pada hiruk-pikuk jalan raya Roppongi. Pria itu bersikap acuh tak acuh dengan Akira yang tersipu walau diam-diam mengulum senyum.

His Poena : Side StoryUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum