Presence

37 10 2
                                    

Seharian ini tidak ada yang berani menegur Akira. Pasalnya sang gadis menekuk wajah, enggan menampakkan senyum ramah yang biasa dilemparkan pada rekan kerjanya. Tahu bahwa ia tidak dalam kondisi untuk bercengkerama dengan tamu, Akira memutuskan untuk menata buku yang baru saja dikembalikan.

Penyebab utama suasana hatinya runyam belakangan ini adalah sang kekasih. Tiga hari yang lalu, Akira pulang dengan kaki limpang dan darah yang mengalir dari dahinya, meringis di sepanjang perjalanan. Bukan tanpa alasan, dalam perjalanan pulang Akira memergoki empat pria yang menyudutkan seorang gadis di gang gelap. Bertindak berdasarkan insting dengan keyakinan bahwa ia bisa menang, Akira menghajar keempatnya.

Bertarung sambil melindungi bukanlah perkara mudah. Alih-alih melarikan diri, gadis yang ia tolong malah bergeming seraya memandanginya bertarung. Meski pada akhirnya, keempat pria itu sanggup ditumbangkan, Akira menang bukan tanpa luka.

Berpapasan dengan Ran yang baru saja pulang, pria itu merongrongnya dengan banyak pertanyaan. Akira bersikeras bahwa ia baik-baik saja, tapi Ran dengan kekhawatirannya seolah tak mau tahu. Tak puas jika belum memindai seluruh tubuhnya untuk memastikan bahwa ia tidak terluka parah. Adu mulut mereka berlanjut hingga Ran mengeluarkan pertanyaan yang mengusik harga dirinya.

"Buat apa, Akira?" Ran menghela napas panjang sambil menutup pintu utama. "Untuk apa kau susah payah bekerja hingga pulang malam dan membahayakan dirimu seperti ini saat aku bisa membiayai hidupmu. Kau bisa hidup nyaman denganku. Lalu untuk apa bekerja?"

Akira tercengang, bersamaan dengan Ran yang tampak terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Seakan baru menyadari kesalahannya, Ran langsung menghampiri dengan raut panik. Dilempar asal mantel hitamnya, memusatkan seluruh atensi pada gadis yang kini menganga mendengar pernyataannya.

"Poena.... maksudku bukan seperti itu."

Akira mengangkat sebelah tangan, meminta Ran untuk berhenti tanpa suara. "Jangan bicara padaku seperti kau bicara pada perempuan di barmu, Haitani," nada suara Akira berubah dingin, tapi tak mengurangi intensitas amarah dibalik kata-katanya. "Kau tahu menjadi pustakawan adalah mimpiku sejak kecil. Setelah hidupku berantakan, kau yang seharusnya paling tahu menggapai mimpiku adalah salah satu hal terbaik yang kudapatkan."

Akira mendudukkan diri di sofa tak berdaya. Pandangannya mengabur ketika rongga dadanya seolah menyempit. Sesak. Saat seseorang yang begitu berharga mempertanyakan keputusannya, mempertanyakan mimpinya, Akira merasa terhina. Terlebih saat Ran yang melemparkan pertanyaan dengan alasan bahwa pria itu sanggup menafkahinya. Ran tahu bahwa pekerjaannya saat ini tidak hanya tentang uang, tapi juga cita-cita dan kesenangan.

"Akira, Sayangku," Ran melangkah mendekat dengan hati-hati, berusaha merangkul sang gadis tapi langsung ditepis. "Maaf kalau kata-kataku salah, tapi maksudku bukan begitu."

"Lalu apa? Mau bilang kalau aku wanita lemah, begitu?"

"Aku hanya khawatir," Ran mencoba memelankan nada bicaranya, merayu sang gadis untuk melunakkan hati. "Khawatir sesuatu terjadi padamu saat aku tidak ada. Aku tidak mengkritik pekerjaanmu, tapi keselamatanmu."

Mungkin karena kepalanya yang tak berhenti berdentum, mungkin karena nyeri di kakinya tak kunjung hilang, mungkin karena keduanya perasaan Akira tak kunjung membaik. Ia tahu ia bersikap berlebihan. Namun pertanyaan Ran beberapa saat lalu benar-benar membakar habis sumbu kesabarannya.

"Aku bisa menjaga diriku sendiri, Haitani. Bukankah itu yang membuatmu tertarik padaku?" desisnya sarkas. Ia bangkit dari posisinya dengan susah payah, menolak bantuan Ran dengan lirikan tajam penuh makna. "Sudahlah. Badanku sakit, aku ingin tidur."

Akira membanting pintu kamar tidur, mengisyaratkan bahwa keberadaan Ran tidak diterima selama beberapa waktu. Meringis ketika menanggalkan pakaiannya, Akira menggigit bibir selama tubuhnya dihujani dengan air hangat pancuran.

His Poena : Side StoryWhere stories live. Discover now