Chapter 2

140 20 0
                                    

BUNYI sepatu bersahutan, menggema seantero teater bermandikan cahaya ungu yang menampakkan kekosongan di tribun penonton. Selama sepuluh menit persiapan, para juri telah menempati posisi masing-masing. Empat diantaranya datang dari Korea dan Jepang. Sedangkan juri lainnya adalah penggiat seni di berbagai bidang, termasuk Arthur yang tidak bersinggungan langsung dengan dunia fesyen.

Sembari menunggu dimulainya acara, Ana dan Arthur pun berbincang santai, mulai dari perkenalan diri, sampai membahas profesi masing-masing.

"Saya dan Pak Arya, rektor baru kampus ini, kebetulan teman lama. Saat beliau tahu saya ada kegiatan launching produk di Jakarta dan harus stay selama beberapa minggu, beliau langsung meminta saya untuk hadir sebagai juri. Kebetulan jadwal saya kosong hari ini, jadi saya bisa datang ke Bogor. Pak Arya juga menawarkan pavilion khusus dosen untuk saya menginap," cerita Ana.

"How great! Saya juga akan tinggal beberapa bulan di sini sebagai pengajar," timpal Arthur.

Ana mengangguk setuju. "Saya dengar jurusan ilmu kuliner di sini bagus. Mereka pasti senang karena yang mengajar adalah chef yang hebat, tampan, dan masih muda seperti Nak Arthur."

Mendengar sanjungan itu, Arthur kontan menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Actually, saya berat meninggalkan pekerjaan di Sydney. Mengenai Mahasiswa di sini, ah, who knows. Saya belum punya gambaran apapun tentang mereka. Mungkin awalnya mereka akan senang. Tapi saya jamin, mereka akan frustasi sampai ingin memotong jari mereka sendiri," ungkap Arthur serius.

"Kenapa begitu?" Ana mengerutkan kening samar.

"Karena saat memegang pisau, saya bisa berubah menjadi Gordon Ramsay di FOX's Hell's Kitchen," jawab Arthur disertai seringai manis.

"Oh, really?" Ana tertawa karena tidak percaya pria charming dan ramah seperti Arthur bisa menjadi sosok horror dari chef terbaik di UK itu. Ah, hampir tidak mungkin, pikirnya lagi meskipun hal tersebut hanyalah candaan semata.

Mendekati dimulainya acara, suasana di dressing room makin gaduh. Tak terkecuali Nadira dan Ola yang sejak tadi sibuk mencari Cindra.

"Cin, lo nggak sakit. Lo sehat. Lo baik-baik aja." Mematut diri di depan cermin toilet, Cindra yang tak tahu dirinya sedang dicari, sibuk mensugesti diri.

Mendengar gema suara Ola dari luar beberapa saat kemudian, Cindra pun cepat-cepat mengatur tatanan rambutnya dan menepuk-nepuk pipi untuk membuatnya merona kembali. Bagaimanapun ia tak boleh terlihat pucat.

Lima detik setelahnya, pintu berdebam keras, disusul dengan kemunculan Ola yang seketika membuat Cindra terlonjak kaget.

"Cin!"

Gadis yang dipanggil itu kontan membungkuk sambil memegangi dadanya, seolah hendak memasukkan kembali jantungnya yang melompat keluar tadi. "Olaa, santai dikit dong!" sergahnya.

"Sorry, ada bad news, Cin!" lanjut Ola pucat.

"Bad news apa?" sergah Cindra tak sabar.

"Anu ... gimana yang jelasinnya?" Tak lantas bicara, Ola kebingungan merangkai kata agar emosi Cindra tetap di batas kenormalan.

"Cin, ada yang sabotase gaun kita." Tiba-tiba dari balik pintu, Nadira muncul dan akhirnya menyempurnakan berita yang dibawa Ola.

"Hah?" Syok. Itulah kondisi yang bisa menggambarkan keadaan Cindra saat ini. Lama gadis itu membatu di tempatnya berpijak. Pikirannya kosong. Bibirnya merapat geram.

Siapa yang peduli dengan kondisi buruk yang terjadi di balik layar, pikirnya. Apalagi ini hanya menimpa satu mahasiswa saja. Penjurian akan tetap berlanjut. Cindra sadar penuh bahwa ia hanya mempunyai dua pilihan. Tetap maju atau mengundurkan diri.

PERIDOT VOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang