Prolog

19 1 0
                                    

***

Aku tak pernah menyangka usaha ku selama ini hanya berujung pada jalan buntu. Tiga bulan bertahan hidup di neraka. Sejak awal kami memang tidak boleh berharap lebih. Dan kami tahu, tidak ada yang baik dalam pilihan manapun. Namun berada disini adalah mimpi buruk yang lebih mengerikan dari pada kematian. Jika memang harus memilih, dengan yakin aku katakan 99% kami semua ingin pergi dari neraka ini. Kalaupun bisa, mungkin kematian juga sudah menyambut kami di luar sana. Optimisme ku di gerogoti ketakutan. Aku takut, sangat takut, dan mungkin yang lain beribu kali lebih takut dari pada aku. Tapi tidak akan ada yang tahu, kalau kami tidak mencoba nya.

Mereka menunggu keputusan ku. Waktu menjadi penentu takdir kami. Setiap detik terlewat sama seperti satu pembuluh darah kami terputus. Satu persatu orang-orang berjas putih mendekat ke arah kami. Mengeluarkan suntikan stainless berisikan cairan biru di dalamnya.

Sebelum jarum yang panjang itu sempat menembus kulit leher ku. Aku dengan cepat menahan tangan orang itu. Krak! Bunyi tulang patah disertai darah segar langsung mengenai wajah ku saat tangan itu hancur. Jeritan kesakitan langsung menggelegar saat mereka tidak bisa merasakan pergelangan tangannya.

Raungan itu tidak berlangsung lama karena aku langsung mengambil suntikan tadi dan menancapkannya ke leher orang itu. Melihat tubuh orang itu bergetar hebat, isi suntikan itu sudah pasti bukan cairan biasa. Orang-orang berjas putih itu kehilangan kesadaran mereka. Kami tidak tahu apakah suntikan itu yang akan membunuh mereka atau tidak. Tapi yang jelas mereka akan mati kehabisan darah.
Kami yang berjumlah lima orang langsung pergi dari tempat itu. Berjalan sangat cepat. Namun terlalu banyak ruang, terlalu banyak pintu. Alarm berbunyi meraung-raung. Darah dan bau busuk ada dimana-mana.

Kami kira kami berhasil, kami kira akan ada ujung dari penderitaan ini. Ternyaya harapan itu hilang sekejap mata. Di depan kami sekelompok orang berbaju hitam mengarahkan senjata ke arah kami, entah sejak kapan di belakang pun mereka sudah mengepung.

Mereka menghalangi cahaya dari pintu yang kami pikir itu adalah apa yang kami cari selama ini. Terlanjur sudah. Ternyata apa yang ku harapkan adalah salah. Ternyata kami hanya berjalan menuju neraka yang baru. Sesuatu berdesakan ingin keluar dari mulut ku saat sebuah peluru menancap di dada ku. Tepat setelah suara tembakan lain terdengar. Aku batuk dan memuntahkan darah segar dari mulut ku. Bahkan menjadi semakin jelas karena dasar baju yang berwarna putih. Aku terjatuh. Rasanya seperti seluruh tubuhku tercabik-cabik. Tenaga ku habis karena rasa sakit yang luar biasa hingga tak mampu bersuara. Disisa-sisa kesadaran ku, aku melihat hal yang sama terjadi dengan teman-teman ku.

Pikir ku seperti itu, sampai aku sadar mereka tak mengeluarkan darah dari mulut mereka. Cairan merah itu keluar dari lubang di kepala mereka. Tidak sekali dua kali, mereka menembak sampai berkali-kali hingga kepala itu hancur. Bagaimana bisa seperti itu? Kami hanya anak-anak. Kami tidak tahu kesalahan apa yang sudah kamu lakukan hingga diperlakukan seperti ini.

Bahkan jika harapan itu ada sepertinya itu tidak diciptakan untuk ku. Tapi setidaknya aku mohon, setidaknya biarkan aku mengingat hal ini. Jangan ambil ingatanku. Jangan biarkan mereka mangambil memoriku lagi. Tidak lagi. Untuk hari ini saja, hari dimana mereka membunuh teman-teman ku. Agar aku ingat, agar aku tidak merasa berdosa ketika terbangun lagi. Agar aku ingat dengan orang yang sedang tersenyum saat ini. Biarkan aku mengingat wajahnya. Karena begitu aku terbangun lagi. Aku bersumpah, dia bahkan tidak akan mampu mengedipkan kelopak matanya.

“Musnahkan semua. Aku ingin 707 berada di laboratorium dalam keadaan bersih.”

“Baik, Profesor!”

Semua menjadi gelap didetik berikutnya.

Dé Hope Corp. Tulisan itu langsung terlihat begitu aku membuka mata. Harapan. Bodoh! Aku mengernyit begitu mencium bau darah yang begitu menyengat. Walaupun pengelihatan ku kabur. Aku masih bisa mengetahui dari mana bau darah itu berasal. Aroma amis itu berasal dari tubuh ku. Ulah dari dua orang yang saat ini sedang melakukan pekerjaannya.

"Dia sadar, Prof."

"Biarkan saja."

Memang dari awal kematian adalah jawaban terbaik. Mereka membunuhku dan menghidupkan ku bekali-kali. Mereka merobek kulit ku. Menguras darah ku. Memasukkan selang ke mulutku. Menancapkan jarum ke tubuhku. Rasanya ada ribuan pisau mengoyak daging saat ini. Aku lelah. Aku tidak sanggup lagi. Aku menyerah!

...........

The New One

PORTRAITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang