"Eh, Neng Farla mau belanja ya?" tanya seorang ibu berdaster hijau.

Pake nanya lagi.

"Iya," jawab Farla tersenyum, "Mang, ikannya 1, yang seger ya," kata Farla kepada Mang Eko seraya menarik bungkusan pete.

"Pilih sendiri aja, Mbak Farla, biar tahu dan pas," ucap ibu lainnya yang berhijab abu-abu. "Oiya, Mbak Farla kan gak bisa masak katanya, ya."

"Oalah, kasihan Bu Dini kerja sendiri kalau ada pesanan makanan," timpal lainnya yang memiliki rambut hingga di bawah pinggul, "Belajar masak, Farla, biar bisa bantuin Bu Dini. Bu Dini kan pinter masak dan masakannya selalu enak, kamu bisa belajar dari mamamu."

Farla mengeratkan genggamannya pada tempe yang dibelinya. Inilah salah satu alasannya tidak mau bangun pagi dan belanja sayur. Mereka terlalu sibuk mengomentari hidupnya tanpa tahu apa yang ada di balik itu semua.

"Neng Farla masih belum kerja?"

"Belum," jawab Farla manis.

Wah ini kol lumayan juga, batin Farla, memegang kol itu dengan senyuman miring, membayangkan bagaimana jadinya jika kol itu melayang mengenai kepala mereka.

"Cepet cari kerja, Farla, kasian Bu Dini dan Pak Ardi kan udah nggak kerja. Tinggal kamu harapan satu-satunya."

"Kalau cucu saya, si Ais, kan dia kuliah di kesehatan, pasti gampang nanti dapat kerjaan jadi suster," sahut si pemilik rambut terlalu panjang itu, "Ini saya belikan daging karena dia sukanya makan daging kalau makan."

"Iya, Mak. Beli daging yang banyak biar bisa dimakan Ais. Tapi, jangan makan daging terlalu banyak, Mak, takutnya kolesterol. Kasian masih muda punya kolesterol. Nanti bukannya jadi suster, tapi jadi pasien," jawab Farla, "Mak Kara juga jangan makan daging terlalu banyak, takutnya kena kolesterol juga, kan kasihan kalau meninggal dulu sebelum lihat Ais jadi suster. Iya kalau jadi suster, kalau jadi dokter lebih sayang lagi, nanti Mak Kara nggak bisa cerita ke orang-orang," lanjutnya kalem. Tapi, matanya memancarkan kemenangan.

"Mbak Farla jangan ngomong gitu, nggak baik. Masa' Bu Dini nggak ngajarin ngomong yang sopan?" tanya ibu berhijab itu.

Oke, cukup!

Farla sudah tidak tahan lagi. Sudah mati-matian ia menahan emosi. Persetan dengan apa yang akan terjadi sebentar lagi. Persetan dengan ajaran mamanya untuk tetap bersikap baik terhadap orang lain. Ia mengeratkan genggaman pada kol itu dan mulai mengangkatnya.

"Farla!" panggil seorang wanita paruh baya.

"Mama?" respon Farla yang terkejut melihat mamanya berada di belakangnya.

"Kamu mau beli kol?" tanya Bu Dini yang melihat Farla mengangkat kol di atas kepalanya.

"Iya, Ma, bagus buat ngilangin racun dalam hati dan pikiran."

"Udah selesai belum belanjanya?"

"Ini, Neng Farla, ikannya," ujar Mang Eko.

"Lama banget sih," gumam Farla kesal.

"Yaudah, ayo pulang," kata Bu Dini, "Mari ya Ibu-Ibu, kami pamit dulu,"

"Mama ngapain ke sini?" tanya Farla lirih seraya menggandeng tangan mamanya. Mereka berjalan menuju rumah.

"Kamu lama," jawab Bu Dini, "Lain kali jangan ngomong kayak gitu. Harus sopan lho, Farla."

"Iya, iya, Ma," jawab Farla malas.

"Ya ampun, dompet saya kerendem air got!" teriak ibu berhijab itu dengan panik, "Tolong ambilin, dong!"

Farla yang mendengar seruan itu langsung tersenyum penuh kemenangan. Setidaknya ia puas sekarang karena berhasil menjahili ibu berkerudung itu. Bukan dirinya yang jahat, tapi mereka saja yang tidak menyadari ulahnya.

***

"Ma, masak itu bukan passion aku," Farla merengut seraya memotong dan membumbui tempe.

"Kamu itu bukan nggak bisa masak, tapi nggak mau, males," kata Bu Dini yang menghidupkan kompor, "Kamu itu harus bsia masak. Kamu cewek lho. Kamu harus jadi istri yang bisa masak untuk suami dan keluargamu kelak."

"Aku kan bisa pesen nanti, Ma."

"Pesen, pesen, emang punya banyak duit?"

"Ya makanya harus dapet suami yang tajir, biar nggak masak."

Bu Dini tidak menggubris ucapan putrinya, "Itu goreng udah tempenya!" sahutnya seraya menyayat ikan.

Dengan malas-malasan Farla menuang tempe yang sudah dibumbui itu ke dalam wajan dan minyak yang sudah panas. Tapi, ia menaruh tempe itu dengan spatula, takut kena cipratan minyak panas. Kemudian, ia berjengit mundur selangkah saat tempe itu sudah menyentuh minyak.

"Astaga, Farla! Itu apinya kecilin, nanti gosong kalau pake api besar," kata Bu Dini seraya mengecilkan kompor, "Kamu kupas aja itu sayur sopnya."

Farla mengupas sayur-sayuran itu. Kulit sayur-sayuran tersebut berantakan, tidak terbuang di tempat sampah. Ia juga hati-hati dalam memotongnya karena takut kena pisau.

"Udah selesai belum sayurnya? Ini airnya udah mendidih."

"Belum, Ma, sebentar lagi."

"Ya ampun, lama banget sih, ini juga ngupas kulitnya tebel banget," omel Bu dini sembari merebut pisau yang dipegang Farla dan melanjutkan potongan Farla yang belum selesai, "Yaudah kamu pergi sana, biar mama masak sendiri."

Farla menghentakkan kakinya kesal. Selalu berujung seperti ini jika masak bareng mamanya. Sekarang sudah tahu bukan apa penyebab Farla tidak bisa masak?

***

Farla sibuk menangkap layar postingan lowongan pekerjaan di beranda instagramnya. Ia kumpulkan dulu semuanya, lalu membuka laptop untuk menulis surat lamaran dan mengirimnya melalui email. Semenjak kelulusannya tahun lalu, beranda instagramnya penuh dengan postingan lowongan pekerjaan.

"Hmm... gini-gini amat hidup gue," keluhnya sembari mematikan dan menutup laptopnya. Ia bertopang dagu sembari menatap rembulan di luar sana. Ia sengaja membuka jendela kamarnya sebelum tidur dan membiarkan angin malam masuk.

"Kapan gue dapet kerjaan?" Farla menerawang jauh ke dalam pikirannya.

Farla bukannya tidak mau berusaha lebih, ia sudah berusaha dan belajar semaksimal mungkin. Ia mengurus SKCK dan surat sehat serta mencetak pas foto untuk dikirimkan ke perusahaan-perusahaan bersamaan dengan surat lamaranya. Ia juga belajar excel lagi dan mulai belajar design.

"Papa udah pensiun, tapi uang pensiunannya kecil. Mama buka pesanan masakan dan kue. Gue? Jadi reseller undangan pernikahan tapi jarang ada yang pesen. Hahhhhh..." Farla menghebuskan napas berat, kemudian tiduran di atas meja, "Nyari kerja mah gampang, dapetnya yang susah."

Sekilas Farla melihat pantulan dirinya di cermin ujung kamarnya. Ia berdiri sangat dekat di depan cermin hingga hidungnya bersentuhan dengan cermin itu, "Wajah gue nggak jelek-jelek amat," katanya seraya menyentuh wajahnya, "Tubuh gue juga nggak buruk-buruk amat," lanjutnya seraya memutar tubuhnya.

"Tapi tetep aja bank nggak akan nerima gue. Tinggi dan berat badan gue nggak memenuhi kualifikasi mereka," ucapnya lesu dengan berjongkok dan bertopang dagu, "Bahkan mucikari juga gak bakal nerima gue, yakin gue."

"Ternyata gue gak punya kelebihan apa pun. Beban banget hidup gue," lanjutnya dengan menyandarkan punggungnya ke tempat tidur.

Tiba-tiba Farla duduk tegak, "Astaga! Hari ini episode terakhir 'The Starry Love'."

Farla segera menutup jendela beserta gordennya. Ia mengambil ponsel dan rebahan di atas ranjang. Jarinya membuka akun tiktok dan mulai menonton drama China favoritnya itu. Bisa saja ia mengunduh aplikasi Youku, tetapi ia terlalu malas untuk melakukannya.

"Hiks, hiks, hiks, kasihan si Sodikin, dia gak punya istri lagi," ujar Farla seraya melap air matanya dengan tisu. Sudah terdapat beberapa bekas tisu yang penuh dengan ingusnya tergeletak di sampingnya.

"Tapi lebih kasihan gue. Udah kerjaan gak punya, duit gak punya, pasangan juga gak punya. Gue hanya punya para tetangga yang julid," ucapnya di sela-sela tangisannya. 

JoblessWhere stories live. Discover now