TWO | PEMERAN UTAMA

29 4 8
                                    


Menjadi pemeran utama di cerita sendiri memang menyenangkan. Tapi bagaimana jika posisi itu direbut oleh si figuran?




Zendaya, gadis biasa-biasa saja yang kecantikannya tidak paripurna layaknya primadona. Bukan gadis berkepang dua dan berkacamata yang biasa duduk di pojok kelas. Bukan pula gadis yang amat populer yang diidam-idamkan oleh kaum adam. Zendaya hanya gadis berkarakter unik yang tidak nampak umum seperti gadis lain. Tapi setidaknya ada satu hal yang bisa ia banggakan sedikit. Dua lesung pipi yang menghiasi senyumnya tatkala ia mengembangkan senyumnya secara sukarela. Karena fakta menunjukkan bahwa hanya 20% dari total populasi manusia di dunia yang memiliki lesung pipi dan suatu hal yang langka jika seseorang memiliki lesung di kedua sisi pipinya. Jadi izinkan dirinya untuk mensyukuri hal itu kali ini.

Hari ini, hari Sabtu. Besok Minggu. Umumnya hari-hari yang acap disebut weekend itu, orang-orang akan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Namun tidak untuk Zendaya kali ini. Sejam sudah Zendaya berguling-guling di atas kasurnya. Mulai dari gaya katak, gaya punggung, sampai gaya dugong pun telah ia lakoni. Bosan. Bingung harus melakukan apa. Frustasi, karena besok subuh ia harus bergegas balik ke asramanya jika tidak ingin kesiangan lalu diceramahi habis-habisan oleh Bundanya. Memang, hari ini adalah hari terakhirnya di rumah. Selama sebelas hari sudah liburan semester yang menurutnya terlampau cepat bak sehari semalam.

"Bodo amat lah! Ogah musingin besok!" acuhnya sambil menutup seluruh wajahnya dengan bantal buluk nan lapuk kesayangannya, sedari kecil. Bantal yang semula berwarna pink muda lalu berkamuflase menjadi warna pink keunguan. Menandakan dekil yang tak tertahankan.

~When she was younger. She would pretend, that her bedroom was a castle she was fairest in the land. She got older and it all changed~

Lagu Keep Your Head Up Princess, favoritnya, berkumandang. Pertanda bahwa seseorang menghubunginya. Ia mengambil handpone-nya yang berjarak beberapa senti dari posisinya dengan malas.

"Rencana bawa berapa tas, Zen?" suara gadis jangkung itu muncul setelah Zendaya memencet tombol hijau.

"Kalo orang normal mah salam dulu kek, apa halo-halo bandung dulu kek, main asal nanya aja kek wartawan."

"Halo-halo bandung lagi, lo kira ibu kita kartini!"

"Ibu kita periangan dodol! Lagu daerah dari Betawi gitu aja gatau."

"Dih sama pea nya juga, dari Bandung dong marpuah kok Betawi sih?!"

"Ganti-ganti nama orang seenak jidat aja lo, jubaedah!"

"Kok jadi ngomongin marpuah sama jubaedah sih, topik kita awal tadi apasih?"

"Lo rencana bawa tas berapa besok."

"Iyaaa itukan pertanyaan gue tadi. Ngopi-ngopi aja lo!"

"Yaiyaaa ini gue lagi ngingetin lo!" gemas sekali Zendaya dengan temannya satu itu. Untung temen coba kalau tidak, sudah ia buang dari zaman stegosaurus masih berkembang biak mungkin.

Yang diseberang pun hanya bisa cekikikan. Mudah sekali rasanya membuat seorang Zendaya naik pitam. Ghia Rianita. Gadis jangkung yang rela dengan segenap hati berteman dengan Zendaya. Bukan tanpa alasan, ia hanya merasa senang saja menemukan teman yang sefrekuensi dengan dirinya.

"Jadi lo dari tadi pagi ngapain aja sih Zen? Berangkat tinggal besok lo belum siap apa-apa gitu?"

"Ya gak ngapa-ngapain lah, lo kira gue tasyakuran karena besok balik ke asrama?! Gila kali ya lo, gue aja masih pewe ini di rumah."

"Kalo pewe mah gue juga pewe kali, emang lo doang? Tapi ya niat dikit gitu Zen, ini besok loh kita balik ke asrama."

"Iye bawel ah. Gue udah sambil mengumpulkan niat ini. Nih ya, nanti sore gue belanja buat keperluan besok sama nyokap, terus ntar malem tinggal kumpulin baju mana yang pengen gue bawa, abis gitu yang packing-in nyokap deh, beres kan?"

"Sedeng ni anak. Belajar mandiri dong, masa sama nyokap mulu sih lo."

"Biarin lah, kan nyokap ini yang mau gue masuk asrama yaudah semuanya terserah nyokap aja lah."

Fakta jika seorang Zendaya tidak bisa menolak apapun perintah kedua orang tuanya, terutama sang wanita yang telah melahirkannya. Setelah lulus kemarin Zendaya memang difokuskan oleh Novia, bundanya, untuk sekolah asrama. Alasan utamanya tidak lain karena, "Pergaulan anak jaman sekarang itu makin bebas gak karuan, Kak. Bunda gak mau ya, kamu kayak anak tetangga sebelah yang hamil duluan!" Begitulah kira-kira omongan Novia jika ia bisa mengcosplay.

Geleng-geleng kepala sudah Ghia mendengar jawaban sosok manusia satu itu, "Terserah lo deh marpuah!"

"Udah ya, gue kan gak ada jawaban atas pertanyaan lo 'bawa berapa tas besok' jadi gue matiin ya, daaaahh!"

"Ehh jangan du—" Tutt.. Zendaya mematikan sambungan telepon itu secara sepihak sambil terkekeh. Ia baru saja hendak menaruh benda pipih nan slim itu pada tempatnya, tapi urung saat notif chat masuk tiba-tiba.

Ghia
Emang gak ada adab ni anak curut satu!           
  
   
                                                                                         Bodo wle.


Sent. Ia meninggalkan ponselnya begitu saja di atas kasur. Tuh kan, gue mah baek. Hp gue aja gue suruh rehat dulu bentar, bobo. Capek dia, kasian. Lama-lama sekarat gue maenin mulu, pikirnya.

***


Zendaya menatap bangunan yang ada di depannya. Gerombolan orang yang berlalu lalang. Riuh dan terik menjadi satu di dalamnya. Bagaimana tidak? Dua ratus siswa datang berbondong-bondong silih berganti di Bratasena Boarding School, sekolahnya. Memang karena letak sekolahnya berada di tengah-tengah pemukiman warga, jalan yang tidak terlalu besar, dan lahan parkir yang minim, membuat saling sikut satu sama lain, tapi saling senyum. 

DUG!

Pintu mobil ia tutup. Bukan, tentu saja bukan mobil Zendaya. Itu mobil milik Arya. Suami dari tantenya. Pamannya itu sibuk menurunkan barang-barang bawaannya satu per satu. Bukannya tak sopan dan enggan membantu, tapi sungguh ia hanya ingin berkencan lebih lama dengan benda pipih yang dua tahun setengah ini setia menemaninya.

"Barangnya udah ini aja? Ada yang ketinggalan gak di dalam, Kak?" suara Novia mengalihkan atensinya dari benda pipih di genggamannya. Yang ditanya hanya menjawab dengan gelengan.

"Yaudah hati-hati ya, Kak."

"Hm. Pamit ya, Bun," tangan kanannya ia sodorkan kepada sosok wanita yang sangat disayanginya itu.

"Iya, udah sana ke Om Arya, bilang makasih udah dianterin."

"Pamit ya, Om. Makasih udah nganter Zendaya," perlakuan sama seperti sebelumnya ia tunjukkan. Tangan kanannya ia ulurkan.

"Okedeh, jangan nangis disana ya, Kak," gurau Arya guna mencairkan suasana. Tak mau menjawab, Zendaya hanya membalas dengan bibir yang ia kerucutkan dan tatapan yang ia siniskan. Berbeda dengan Novia, ia tertawa senang. Seolah candaan itu telah meluruhkan segala rasa sedih yang ia tahan karena berpisah dengan anak sulungnya.

"Yaudah, assalamu'alaikum," kata terakhir Zendaya sebelum mengambil beberapa barangnya yang semula berada di atas rerumputan.

"Wa'alaikumussalam," jawab keduanya kompak.

***


By the way, foto PU nya gue ganti. Kemarin kayak terlalu badas gituu, takut aja overrated jatohnya dari story ini mwehehe.

Terimakasi telah membaca. See ya! ✨

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 01, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AmorWhere stories live. Discover now