Chapter 7 : A Bit About His Past

69 7 6
                                        

Terkoyak tulangnya kurasa, tapi kuyakin juga orang itu tak merasa apa-apa. Tatapannya kosong, jangan tanya padaku apa yang dia pikirkan saat ini. Jawabannya sudah tentu abu-abu. Aku juga tidak tahu. Anyir karat yang mengalir dari lubang hidung mau sebanyak apapun tak dihiraukannya. Meski tangan tak terantai, tubuhnya tetap harus diam di tempat. Meski dilibas dengan sekuat tenaga yang si pengeksekusi punya, Lee Heeseung harus tetap diam di tempat. Kalau tidak, aku tak bisa lagi memprediksi apa yang tubuhnya rasa.

Satu tamparan keras melayang. Sekeras kepala Lee Heeseung yang dipaksa keadaan. Aturan khusus yang tak memperbolehkan dirinya untuk bergerak satu sentipun namun baru saja dilanggar setelah setengah mati ia bertahan—membuat dia yang berperan sebagai eksekutif khusus mendecih puas.

“Aku yang menjadi kuat atau kau yang melemah?”

Hening saja tersapu angin. Orang yang ditanya menolak untuk menyahut. Selain karena menggerakkan satu jari saja terasa menyakitkan, Lee Heeseung memang tak berminat saja. Padahal tahu sendiri ‘kalau punya mulut digunakan untuk apa?’.

Sementara mari kilas balik sedikit. Sejak Lee Heeseung dihabisi tanpa melawan sedikitpun, ada seorang yang duduk diam saja di balik meja dengan kursi besar sambil membaca buku. Sesekali melirik, namun dia tak perduli. Sampai tiba halaman berganti dan menunjukkan bab baru dengan isi yang juga baru, dipindahkan pembatas buku itu ke tempat terakhir dia sibuk merapal kata dalam hati.

Barulah seluruh perhatiannya itu ditaruh pada Si Kebanggaan yang konon Tak Pernah Mengecewakan.

“Aku tak mengira kalau satu orang yang dijadikan panutan dapat melakukan kesalahan juga,” ucapnya sambil membersihkan kacamata. “Apa yang terjadi? Ethan?”

“Aku juga manusia.” Yang disebut Ethan itu balas melirik. Tatapan datar yang diberi diartikan salah oleh eksekutif, atau entah memang orang itu sedang bersemangat memukul saja. Disangkanya sorot menantang, padahal sedari tadi memang sudah begitu. Satu tinju kembali menghantam rahang, aku meludah setelahnya.

“Lalu anak itu?”

“Tak bisakah kau murahkan hatimu sedikit?” tanya Heeseung, tak perduli posisi si eksekutif yang juga dapat merugikannya, inilah yang kumaksud. Anak itu hanyalah jaminan yang mengatasnamakan aku.

Entahlah siapa yang akan benar-benar mati kali ini—Lee Heeseung hanya berharap bukan Park Jongseong orangnya.

Anak itu masih punya janji dengan adiknya.

Dia harus mengabulkannya.

“Oh? Mau semurah apa?” tanya Si Otak dari semua ini, atau seseorang yang pernah ditemui Heeseung dulu saat masih di penjara anak. Kami memang punya janji hanya saja aku tak mau lebih lagi dari ini, dan di sinilah ia terjebak. “Aku masih ingat seberapa banyak ambisi yang kau punya itu.”

“Aku tak lagi seambisi kau,” sahut Heeseung cepat. “Terserah kau mau melakukan apa, tapi dia sama sekali tak kuizinkan mati.”

Suaranya terdengar serius—ah, aku juga mendengar ketulusan. Di antara puluhan manusia yang ada di dalam gedung ini, ada juga ternyata manusia yang berhati?

Woah.

Maka dari itu, eksekutif itu memundurkan langkah. Emosi yang dipanaskan dalam kepalan tangan dan siap meledak kapan saja, dia turunkan. Lalu beralih mengeluarkan kotak rokok dari saku jas, mendekat pada Lee Heeseung yang dengan kurang ajar tak berminat menaruh perhatian sedikitpun padanya. Posisi eksekutif—walau tingkatnya lebih tinggi tetap saja.

Serius. Ini kita sedang membahas Lee Heeseung.

Barang tak menyia-nyiakan sedetik saja kerap kali dia dengar omongan anak-anak yang menyanjungnya; menyukainya; bangga dijadikan murid dan di kalangan anak-anak jika kau dipilih oleh Lee Heeseung, kastamu adalah yang tertinggi. Posisi eksekutif tidak ada harganya di kalangan anak-anak.

if the world was the endingDonde viven las historias. Descúbrelo ahora