Chapter 1 : In Solid Bricks

137 14 3
                                        

Tidak ada yang bisa dilihat. Mau celingukan kesana-sini dalam beberapa kali pun, memang tidak ada yang bisa dilihat di sini. Park Jongseong sampai jenuh karena harus menatap tembok ini lagi. Belum lagi semua tembok ditiap-tiap ruangan yang sudah pernah ia masuki itu sama wujudnya. Cat dinding berwarna putih yang sudah memudar, mengelupas dengan bercak-bercak hitam, juga retak disana-sini. Apa mereka pernah berpikir barang sekali ketika iseng kalau sewaktu-waktu itu bisa saja retaknya jadi bolong?

Huh. Park Jongseong jengkel sekali. Jengkel setengah mati padahal ini termasuk penculikan tapi dirinya malah mengamati bagian-bagian kecil yang harusnya tak dilakukan. Harusnya biarkan saja itu bolong agar kami bisa kabur.

Eh? Kami?

Tidak. Tidak. Bukan kami.

Yang benar, hanya dirinya seorang.

Satu yang paling membuatnya sudi bertanya-tanya akan tempat ini adalah, mengapa sepertinya hanya dirinya yang menganggap ini adalah penculikan? Ia datang bersama puluhan anak laki-laki dan perempuan, mereka dikumpulkan jadi satu dan tak sekalipun dirinya temukan ada anak yang beranggapan bahwa ini adalah penculikan. Sama sekali tidak ada. Mereka santai saja, malah cenderung senang dibawa ke tempat ini. Park Jongseong tidak mengerti, mengapa mereka semua melihat seakan hal ini biasa-biasa saja?

Diiming-imingi dan dibawa dengan paksa, bukankah itu masih termasuk tindakan penculikan? Dalam diamnya anak itu, dalam sikap acuh tak acuhnya jika ada yang mengajak berbicara, Park Jongseong selalu mencari dan berharap setidaknya ada seorang teman yang satu pemikiran dengannya. Tetapi sampai saat ini, tak pernah ia temukan. Tak ada anak yang seperti itu sejak dirinya dibawa kemari.

Ah, tunggu? Sejak aku dibawa kemari?

Benar sekali.

Sudah berapa lama aku di sini?

Dua hari? Empat hari? Dua belas hari? Atau bahkan dua minggu? Yang di kepala anak itu hanyalah adiknya. Bagaimana kabar sang adik membuatnya meringis sampai tak bisa berpikir cerdik. Bangunan yang sepertinya memang khusus dibangun untuk menculik anak-anak ini tak bisa diakali sedikit sebagai celah melarikan diri. Ventilasi yang baru bisa digapai jika kau menggunakan tangga itupun, Jongseong yakin tak akan terbuka dengan mudah walau pakai darah sekalipun. Mau membahas filosofi dunia yang tetap mengeras pun rasanya mati rasa sebab terlalu terdengar cupu.

Park Jongseong sudah benar-benar muak.

Baiklah jika kau tidak mau melunak, aku tinggal mengerasi saja, kan?

Hah ... tinggalah itu dalam anganmu, Park Jongseong. Kau saja sekarang ini, setiap malammu itu, selalu hampir mati di tangan seorang kakak laki-laki yang kau anggap amat sangat baik hati.

DUAGH!

“Ayolah,” dengus kakak itu terdengar sangat dongkol. Poni lepek akibat keringat dilibas ke belakang, sebelum kembali menendang perut Park Jongseong tanpa belas kasihan. Anak itu benar-benar butuh diselamatkan. “Bahkan saat di jalanan, kau lebih hebat dari ini.”

Tubuhnya jadi meringkuk lebih dalam lagi. Ini lebih keras dari yang sudah-sudah. Saat di jalanan pun, kakak ini tak pernah terlihat sesadis ini. Dia tak pernah sekeras ini padanya, bahkan selalu membawa banyak makanan yang baru akan diberikan seusai mereka latihan. Dan sesi latihan mereka dulu, selalu berakhir dengan kekehan-kekehan tipis kakak itu ketika dirinya bercerita tentang cerita masa kecil dengan ceriwis.

Apa benar mereka ini adalah orang yang sama? Park Jongseong juga tak pernah lagi melihat sorot ‘kakak laki-laki’ di mata orang itu. Pendarnya redup, seredup lampu jalanan di mana mereka pertama kali bertemu.

if the world was the endingWhere stories live. Discover now