ALVERA

38 5 0
                                    


Tidak ada obat untuk kelahiran dan kematian, kecuali menikmati yang ada di antara keduanya.

...

Seperti janji Alvera dengan Maryam, setelah pulang sekolah Alvera akan menemuinya dirumahnya. Dan sekarang Alvera sedang berjalan kearah parkiran. Matanya sedikit menyipit melihat Raska yang akan menaiki motornya.

Dengan berlari-lari kecil Alvera menghampiri Raska. "Hai, Angsa." Alvera tersenyum melambaikan tangannya terhadap Raska. Raska yang melihat itu hanya acuh tak acuh. Tangannya kembali memasangkan helm nya yang sempat tertunda.

"Angsa mau kemana?. Boleh anterin Vera gak?." Mendengar itu membuat Raska menatap Alvera malas. "Siapa lo?, pulang sendiri. Suruh keluarga lo jemput. Apa lo gak punya keluarga?." Terdengar nada ejekan disetiap kalimat yang Raska lontarkan.

Alvera menggeleng menanggapi. "Vera punya keluarga kok, tapi perannya gak dijalanin aja." Ujarjnya sembari menundukkan kepalanya. "Gak peduli." Dan setelah itu terdengar suara motor yang sudah menjauh. Alvera mendongkak menatap punggung Raska yang sudah hilang dari pandangannya.

Melihat Acil yang baru saja keluar dari pagar, seketika Alvera memiliki akal baru. Jika mencoba menyuruh abangnya itu mengantarkannya, apakah dia mau?. "ABANG!!." Alvera berseru semangat saat sudah sampai didepan Acil. Acil yang melihat kearah belakang teman temannya akan datang lantas mendorong Alvera sehingga gadis itu terjatuh.

"Lo yang buat janji tapi lo juga yang ngingkarin?!, ingat janji lo anjing gak ada yang tau lo tuh adek gue. Bisa malu entar orang orang tau gue punya adek gak guna kayak lo." Perkataan yang baru saja Acil lontarkan tidak sebanding dengan luka fisiknya. Walaupun keduanya sudah sama sama terluka.

"Padahal Vera cuman mau nanya abang, kalo abang mau gak anterin Vera pulang." Alvera berdiri lalu menepuk nepuk roknya yang terkena pasir. Matanya kembali menatap Acil yang sedang memandang was was kebelakang. Alvera mengikuti arah pandang Acil. Setelah tau apa yang sedang Acil tatap Alvera tertawa sumbang.

"Abang malu ya kalau misalnya salah satu diantara mereka tau, kalau abang punya adek kayak aku." Kenapa laki-laki itu tidak ingin orang orang mengetahui bahwa dia memiliki seorang adek. Banyak orang-orang luar sana yang ingin memiliki adek, tapi tidak bisa. Lalu apa kabar dengan Acil?. Dia dikirimkan adek tapi tidak dijaga dengan baik, tidak disayangi dengan baik.

"Udah tau kok nanya." Cibir Acil pelan. Alvera yang melihat teman teman Acil yang semakin lama semakin dekat lantas memandang Abangnya sebentar. "Kalau gitu maaf ya, Bang. Vera permisi." Setelah itu Alvera benar benar pergi dengan berlari kencang. Acil menatap punggung Alvera malas.

"Wih, ada hubungan spesial apa lo bos sama si mubar?." Acil menatap malas Gani yang bertanya dengan pertanyaan tidak bermutu seperti itu. "Bukan urusan lo." Jawabnya cuek.

"Idih, naksir bilang."

Uhuk uhuk uhuk

Acil yang mendengar itu lantas terbatuk batuk. Naksir dengan Adek sendiri?, situ ngaco?. "Bacot lo, najis." Gani manggut manggut mengerti. Lama lama Gani merasa bahwa Acil ini memang spesies gay. "Gue lupa lo gay." Gumam Gani yang masih bisa didengar Acil.

"Anjirt!!, filter dong kalau ngomong." Sahut Amir. Gani memang tidak pernah menyaring apa yang ia katakan. Semua perkataannya yang lolos dari mulut Gani itu sangat panas dan pedas.

Sedangkan disisi lain. Alvera berjalan kerumah Maryam dengan bersenandung kecil. Tak ayal pun kadang kakinya ikut meloncat loncat sesuai dengan keinginannya. Kaki mungilnya berhenti sesaat saat melihat siluet laki-laki yang teramat familer dimatanya.

ALVERA [Hiatus]Where stories live. Discover now