she didn't ask like that

Mulai dari awal
                                        

"Oh. Mungkin dia taunya mereka udah putus," jawabnya santai.

"Emang pernah putus?"

"Pernah. Sering, waktu masa sekolah. Itu dari info yang gue tau. Terakhir sih, mereka gak komunikasi sejak awal masuk kuliah, atau bahkan sebelum Ace jadi maba di Unpelya."

"Kenapa?"

"Lo tau kalau Ace sengaja gapyear? Harusnya dia satu angkatan sama gue karena kita seumuran."

Aku sudah memperhatikan hal tersebut sejak awal. Seharusnya dia berada diangkatan 2020 bersama dengan Kak Felix, Kak Ruben, dan Kak Raihan. Dan sampai saat ini aku tidak tahu alasan dibaliknya.

"Saya sadar kalau Kak Ace harusnya angkatan 2020, tapi saya gak tau kalau itu karena gapyear."

Aku sempat berpikir secara sederhana bahwa Kak Ace gagal ikut ujian masuk perguruan tinggi sehingga ia mencoba lagi ditahun berikutnya.

"Ace sengaja gapyear karena baru tau kalau sertifikat kemenangannya di 'Art Olympia' tahun 2017 itu dimanipulasi."

"Maksudnya?"

"Iya, sebenarnya bukan dia pemenangnya. Tapi orang lain. Dia dipilih sebagai pemenang atas permintaan salah satu juri, yang ternyata adalah adik dari ibu Sha, alias Paman dari pacarnya sendiri."

Tapi aku tidak menyangka jika penyebab aslinya jauh lebih mengejutkan dari yang aku duga.

"Semua udah direncanakan. Dan beritanya baru simpang siur waktu Ace mau daftar universitas luar negeri pakai piagam itu. Usut punya usut ternyata kemenangan itu emang permintaan dari Sha sendiri, katanya dia mau bikin Ace seneng dengan cara memenangkan dia di ajang besar itu. Begitu tau, Ace marah besar, dia banyak mengurung diri di kamar. Gak ngapa-ngapain selama setahun. Sampai akhirnya nyasar di Unpelya. Sedangkan Sha yang kehilangan cara buat minta maaf ke Ace lebih milih untuk fokus kuliah di luar negeri. Dan sejak saat itu mereka hampir gak pernah berkomunikasi."

"Jadi mereka gak putus?" Aku sempat kebingungan.

"Gak ada kata putus. Merenggang aja gitu. Kayak break gitulah. Tapi harusnya sih tergolong putus secara gak langsung. Mungkin itu juga yang bikin Ace stress dan melampiaskannya dengan deketin banyak cewek."

"T-Tapi kenapa harus gitu—"

"Lo telat kalau baru kaget sekarang. Ace udah gitu sejak maba. Padahal dia anak baik-baik, tapi karena pergaulan dia jadi seenaknya," Ia mendengus panjang. "Atau bisa dibilang semua karena gue."

Saat suasana mendadak menjadi sentimental, tiba-tiba saja pintu café terbuka dari luar dan sosok teman Natalie yang sebelumnya berjaga di meja kasir muncul dengan wajah was-was.

"Udah gue bilang, lo cabut dulu aja sana," sahut Natalie kesal.

"Berapa lama lagi?" Tanya sosok itu dengan wajah bosan.

"Sejam."

Ia melotot, "Hah? Gila lo."

"Iya, setengah jam! Sana pergi!"

Si penjaga kasir pun berdecak pelan, "Galak bener."

Setelahnya, sosok perempuan berambut pirang itu lantas menutup pintu café dan meninggalkan kami dengan kesunyian yang sempat terjalin.

"Tadi sampai mana?"

"Salah pergaulan," balasku.

"Ah, iya. Jadi waktu itu gue kakak pembimbing kelas ospeknya. Dan gue juga yang jerumusin dia buat ikut nongkrong di Red Line," jelas Natalie. 

Ia tampak begitu tenang, berbeda denganku yang seolah mendapatkan setrum kejut disetiap kalimat yang ia sampaikan.

"Lo tadi sempet bilang, gue sering kasih warning ke elo karena gue yang gak suka lo deket sama Ace. Itu ada benernya sih. Karena gue suka sama Ace sejak dia maba. Padahal posisi gue udah punya Bas. Gue brengsek ya?" Sorot sedu Natalie pun terlihat makin ketara, "Dulu kita bertiga baik-baik aja. Nongkrong seru-seruan, bahas banyak hal. Tapi gara-gara gue, semuanya gak sama lagi. Ace anggep gue cuma sebagai temen, seharusnya gue juga bersikap sama. Tapi gue malah gak terima dan selalu berusaha untuk selalu ada untuk dia."

Sungguh aku tidak bisa berkata-kata lagi.

"T-Tapi kenapa?"

"Karena dia ingetin gue sama almarhum mantan. Pinter, murah senyum, berkharisma, seru, punya lesung pipi samar waktu ketawa. Bener-bener mirip. Semacam fall in love at first sight. Gue bener-bener hilang akal. Bahkan gue musuhin semua cewek yang Ace deketin waktu itu."

Kedua mataku membulat, "Semua cewek? S-Siapa aja Kak?"

Natalie sempat berpikir sesaat, "Uhm, banyak. Waktu awal dia sempet sama Karin, anak Hukum yang cantik dan kaya raya. Tapi sayang dia bitch. Kayaknya gara-gara dia, Ace kelakuannya jadi bangsat."

"Gara-gara dia?" Aku kebingungan.

"Yup. Ace jadi belagak sok nakal. Rajin mabuk padahal sebelumnya minum beberapa gelas aja dia gak tahan. Gara-gara itu, dia berusaha deketin banyak cewek, seolah-olah dia suka dan serius sama mereka. Mungkin sama kayak yang dia lakukan ke elo."

Aku merundukkan kepala, jemariku sibuk memainkan ujung tasku gelisah. Sungguh kesialan yang memalukan.

"S-Sama si Karin itu lama Kak?"

"Bentar doang, seminggu. Habis itu ganti anak Sastra China, si Yelena. Sama kayak Karin, dia juga cantik. Bedanya si Yelena ini anak baik-baik. Dan waktu udahan dia sampai ngemis-ngemis ke Ace."

Aku membelalak tak percaya, "Hah?"

"Ada juga Acha anak Ilkom. Terus Dinda anak Teknik Arsitek. Renata anak Psikologi. Dan terakhir, Ann anak Seni Rupa."

Lidahku sempat kelu selama beberapa saat hingga akhirnya aku memaksakan diri untuk berkomentar.

"Wow banyak juga ya." Aku menyunggingkan senyum getir dengan sesak dada yang tak kunjung reda.

"Gue gak tau semisalnya ada yang diluar itu. Semua info gue dapatkan waktu nongkrong di Red Line. Dan Ann, kondisinya sama kayak Yelena, atau mungkin lebih parah. Saking stress-nya dia harus kontrol ke psikolog selama sebulan."

Napasku tercekat, "S-Serius?"

"Buat apa gue bohong."

Rasa bersalah pun mulai bermunculan di sudut pikiranku yang kacau. Tidak menyangka apabila Ann melewati banyak rasa sakit ketimbang diriku.

"Lo pasti sadar kalau Ace anggap semua cewek-cewek yang dia deketin itu seolah-olah gambaran dari hewan?" Tanya Natalie.

Aku mengangguk mantap, "Tau. Kak Natalie dianggap katak hijau. Ann dianggap burung."

"Dan gak ada satupun yang dianggap kupu-kupu," ucapnya.

Aku tercenung.

Kemudian Natalie menambahkan, "Karena kalau dianggap kasta, itu yang paling tinggi. Siapapun gak akan pernah dianggap kupu-kupu sama Ace, kecuali si Sha."

Pikiranku melayang entah kemana setelah mendengar penjelasan tersebut. Memikirkan betapa mudahnya Kak Ace melabeli para perempuan yang ia dekati dengan seenak hati, membuatku justru semakin kesal. Dan kasta tertinggi? Ah, aku tidak merasa begitu. Justru merasa direndahkan karena seolah dibandingkan dengan sosok yang pernah menyakitinya, padahal aku berusaha untuk selalu ada.

"Lo dianggep apa sama Ace?"

Hingga pertanyaan berikutnya yang muncul dari bibir Natalie langsung membuat lamunanku buyar seketika.

"A-Ah i-tu—"

Seandainya saja dia tidak bertanya seperti itu, aku tidak akan merasa sebimbang ini.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang