Prolog

47 15 17
                                    

Gak semua orang beruntung dalam hidupnya. Karena hidup memang kadang seperti puzzle yang berserakan di tempat yang nggak seharusnya. Beberapa orang punya materi yang melimpah tapi nggak punya kasih sayang yang cukup untuk buat mereka ngerasa puas.

Sementara beberapa orang mendapati banyak kasih sayang, namun selalu kekurangan dengan materi yang ia tak punya. Semua hanya soal beruntung dan gak beruntung.

Namaku Ben. Siswa kelas tiga SMA yang tengah sibuk menyusun karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Agak jarang memang, SMA mewajibkan siswanya untuk membuat karya ilmiah. Apalagi dijadikan prasyarat kelulusan juga. Tapi ini tentang SMA Bakti Kencana, salah satu SMA terbaik di kotaku.

***

Aku menyinggung tentang keberuntungan diawal. Bukan tanpa sebab aku menyebutkan perihal itu. Karena ini semua tentang keberuntungan yang datang berurutan sembari sesekali diselipi ketidakberuntungan yang memuakkan.

Untuk memenuhi kebutuhan karya ilmiahku, aku harus membagikan beberapa angket ke kelas. Karena aku memakai metode sampling yang membuatku harus meminta beberapa jawaban dari responden yang tak sedikit. Akhirnya aku menuruti saran sahabatku, Zihan, untuk membuat angket dan membagikannya ke beberapa kelas.

Ini adalah keberuntungan pertamaku.

Ketika jam istirahat datang, aku segera melaksanakan misiku untuk membagikan angket. Karena aku tidak dapat bersosialisasi dengan baik, Zihan dengan sukarela menemaniku.

"Kita mau mulai darimana?" ucap Zihan dengan rona wajah yang selalu ceria. "Aku ngikut kamu aja, yang penting angketnya kebagiin."

Zihan tersenyum. Dia selalu begitu setiap kali aku menjawab pertanyaannya yang energik. "Kamu tuh kalau ngomong kayak gak ada antusiasnya."

Entah sudah berapa kali Zihan mengutarakan itu. Saking seringnya, aku jadi tak merasa dia bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

***

Kelas pertama yang kami datangi adalah yang terdekat dari kelas kami. Ngomong-ngomong, kelas kami adalah kelas IPA – 5. Zihan adalah peringkat pertama di kelas, sementara aku peringkat kedua. Dia selalu berbangga hati dengan hal itu. Sementara aku biasa saja.

Kami tiba di kelas IPA – 6. Kelas kami tak bersinggungan, terpisahkan oleh parit kecil tempat air hujan disalurkan. Zihan memimpin langkah, ia berujar kenal dengan seseorang di kelas IPA – 6 yang bisa diajak kerjasama.

"Han, ini beneran gak bakal kenapa-napa?" ucapku sedikit ragu.

"Gak bakal kenapa-napa gimana maksudnya?" jawab Zihan memelankan langkahnya.

"Ini angketnya takut kebanyakan. Ntar mereka malah ngisinya asal-asalan lagi," timpalku cemas.

Zihan tersenyum. "Udah tenang aja. Aku udah ngobrol sama kenalanku, pokoknya nanti kamu terima beres aja."

Ketika Zihan sudah berbicara, aku gak bisa melakukan apa-apa selain menuruti perkataannya.

Beberapa langkah kemudian, kami sampai di depan pintu kelas IPA – 6. Kelasnya tampak sepi karena sebagian besar sedang mengisi perut di kantin. Ada beberapa orang yang duduk di meja sembari memakan bekal yang dibawa dari rumah.

Zihan memencarkan pandangannya, mencari orang yang ia kenal di kelas yang sepi itu. "Inggit!" Penuh ceria Zihan menyebut satu nama yang membuat seorang perempuan yang duduk di pojok belakang kelas menoleh ke arahnya. Aku tidak begitu jelas memandangnya, namun ia tatapannya tampak berbinar melihat Zihan.

"Zihan!" Tak kalah cerianya perempuan itu membalas panggilan Zihan. Inggit, begitu ia biasa dipanggil, datang menghampiri kami yang berdiri tempat di pintu kelasnya. Semakin langkahnya mendekat, aku hanya bisa tersenyum sebagai satu syarat agar dianggap orang ramah.

"Nggit, kenapa gak istirahat?" tanya Zihan.

"Nggak nih, lagi ngulik soal. Mau ngasihin itu ya?" ucap Inggit sembari melirik angket yang sedang aku pegangi.

Zihan mengangguk. "Iya bener. By the way, ini Ben, temen aku sekaligus yang bikin angketnya."

"Ben, salam kenal," ucapku sembari berusaha tersenyum.

"Inggit, salam kenal juga." Gadis itu tersenyum sama riangnya seperti Zihan. Sepertinya mereka memiliki kelebihan dalam memberikan kesan yang menakjubkan.

"Kamu bikin angket soal kesulitan siswa dalam menyukai pelajaran matematika ya?" tanya Inggit tiba-tiba.

"Iya, kenapa tau?" Perasaan aku belum pernah cerita ke siapapun, kecuali..

"Sorry, kemarin sambil ngobrolin soal pengisian angket, aku ceritain karya ilmiah kamu ke Inggit," timpal Zihan terkekeh.

Inggit tertawa kecil. Tatapannya melirik Zihan, teringat obrolan yang mereka lakukan beberapa hari ke belakang. "Zihan sering banget ceritain kamu. Makanya aku juga tau soal judul karya tulis kamu."

Aku tidak tahu mesti bereaksi seperti apa. "Wah, dia gak cerita hal yang aneh kan?"

"Kalau ada juga udah aku ceritain semua kali, Ben. Inimah kan emang kamu hidupnya flat banget jadi ya apa yang mau diceritain," Zihan berkelakar.

"Tapi judul karya tulis kamu gak flat sih, anti mainstream banget," timpal Inggit.

Aku tidak bisa menimbrungi perbincangan dua sahabat ini. Sepertinya Zihan dan Inggit memang sudah lama kenal dan akrab satu sama lain.

"Jadi kemana-mana deh ngobrolnya. Emang gak pernah cukup sebentar ya kalo ketemu kamu. Ini aku mau titipin angket si Ben, boleh kan?" tanya Zihan.

"Boleh dong. Nanti pokoknya aku suruh temen-temen isi sampe abis semua, tenang aja." Inggit menebarkan aura seperti halnya Zihan yang selalu bersamaku di kelas.

"Makasih ya sebelumnya, udah ngerepotin." Hanya kata-kata sungkan saja yang bisa kuutarakan. Sembari malu-malu menggariskan senyum pada Inggit.

"Oke santai aja. Nanti kalo udah beres aku anterin ya ke kelas kamu," jawab Inggit membalas senyumanku."

***


Hello, Ben.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang