16. Tali yang Terputus

3.4K 241 2
                                    

“… kamu yang pergi, Bisma! Kamu yang tinggalin aku! …”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“… kamu yang pergi, Bisma! Kamu yang tinggalin aku! …”

“Kalau aku tau rasanya bakal sesakit itu, aku nggak pernah mau memulainya dengan kamu!”

Berengsek! Kata itulah yang pantas disematkan di belakang nama Bisma sekarang. Atau bahkan sejak empat tahun lalu. Melihat kesakitan Dara membuat hati Bisma ikut mencelos.

Empat tahun sudah Dara menahan semuanya. Semua luka yang Bisma beri tanpa ampun. Luka yang berhasil merusak hubungan mereka yang nyaris berusia empat tahun pada saat itu. Bisma merasa menjadi makhluk yang paling jahat di muka bumi setelah ia mendengar curahan hati dari Dara yang ternyata selama ini menyimpan luka karenanya.

Sekalipun tidak ada air mata yang menetes dari gadis itu, Bisma dapat merasakan sebesar apa kekecewaan Dara terhadapnya.

“Bodoh!” Bisma tidak henti merutuki dirinya sendiri.

Usai lancang mengutarakan rindu dan ingin mengulang seperti dulu lagi, Bisma merasa menyesal karena mengutarakan hal itu kalau pada akhirnya justru membangkitkan luka lama untuk Dara. Ia menyesal karena lagi-lagi ia mementingkan ego-nya sendiri.

Andai saja waktu dulu ia tidak bertindak bodoh. Bisma mengusap wajahnya dengan kasar. Frustrasi.

Ingatannya terlempar pada hari itu. Hari di mana Bisma meminta untuk mengakhiri hubungannya dengan Dara.

Dengan masih memakai seragam putih abu-abu, Bisma meminta Dara untuk bertemu di taman yang tidak jauh dengan sekolah. Tidak ada yang berbeda pada hari itu.

Dara melambaikan tangan pada Bisma yang sudah menunggu di bangku taman. Gadis itu berlari kecil untuk menghampiri Bisma dengan membawa satu buah botol minuman. Senyumnya tersungging begitu indah. Senyum yang selalu membuat Bisma jatuh cinta berkali-kali.

“Nih!” Dara memberikan minuman dingin itu pada Bisma dan menjatuhkan bokongnya untuk duduk di sebelah laki-laki itu. “Tumben ketemunya di taman, kenapa nggak di lapangan basket? Nggak latihan?”

“Libur,” jawab Bisma sangat pelan.

Dara mengangguk-anggukkan kepala. Pandangan matanya berkelana menelusuri taman yang cukup sepi. Hanya segelintir anak-anak SMA—yang sama dengannya tengah berjalan di sekitaran sini.

“Kamu kenapa?”

Dara menyadari ada sesuatu yang aneh dari Bisma. Tidak seperti biasanya. Bisma adalah sosok yang suka berbicara. Laki-laki itu pintar mencari topik pembicaraan jika bersama dengan Dara. Mulai dari hal yang serius atau bahkan sampai yang receh sekalipun.

Akan aneh kalau Bisma menjadi orang yang pendiam. Mentok-mentok Bisma akan menjadi pendiam kalau sedang sakit.

“Kamu sakit?” tanya Dara yang mulai panik.

Dara hendak memeriksa suhu tubuh Bisma dengan menempelkan telapak tangannya di dahi laki-laki itu, tapi segera Bisma tahan.

“Aku baik-baik aja,” jawab Bisma sambil menepis pelan tangan Dara.

Dara adalah pacar pertama untuk Bisma, begitu juga sebaliknya. Mereka menjalin hubungan sejak duduk di bangku kelas dua SMP. Kedekatan mereka bermula dari tempat kursus yang sama dan kelas yang kebetulan bersebelahan. Karena sering bertemu dan bermain bersama, akhirnya kisah cinta itu dimulai.

“Kita udahan aja, ya, Ra,” ucap Bisma tiba-tiba.

Hal ini tentu saja membuat Dara terbelalak. Ia jelas terkejut mendengar pernyataan Bisma yang tak terduga. Dara mengerjapkan matanya lalu menatap Bisma dengan penuh tanda tanya.

“Kenapa? Kok tiba-tiba? Perasaan kita baik-baik aja, loh,” Dara tampak kebingungan. Ia menatap Bisma dengan penuh telisik. Bukan karena mencurigai laki-laki itu bermain api, melainkan untuk memastikan keseriusan atas ucapan yang baru saja terlontar itu. “Apa aku ada bikin salah sama kamu?”

Bisma menggeleng. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Melihat raut wajah Dara yang kebingungan membuatnya makin merasa bersalah. “Kamu nggak salah, kok. Semua kesalahan ini ada di aku. Jadi, kita putus aja, ya… aku udah nggak bisa bareng-bareng lagi sama kamu.”

Ada bagian dari hati Dara yang tercubit. Sangat nyeri sampai ia merasakan dadanya begitu sesak. Namun, Dara tidak ingin gegabah untuk menelan mentah-mentah soal rasa sakitnya.

“Kesalahan apa? Emang kamu ngapain, Mbis? Aku nggak paham,” ucap Dara dengan sedikit menuntut.

Jujur, Dara takut untuk mengetahui kenyataan apa yang akan ia dengar dari Bisma. Perasaannya kalut tak menentu, bersamaan dengan pikiran negatif yang datang menghantui.

Bisma menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Rasanya sulit untuk mengungkapkan, tapi baik buruknya ini harus terucapkan. Ia sudah siap jika pada akhirnya Dara akan membenci.

“Aku selingkuh.”

Satu kalimat yang berhasil pertahanan Dara runtuh seketika. Ketakutannya menjadi kenyataan.

“Dalam hatiku, nggak cuma ada kamu aja, Ra. Ada cewek lain juga di sini,” lanjut Bisma sambil memegang dadanya sendiri.

Dara diam tak menjawab. Kepalanya tiba-tiba terasa pening. Energi yang penuh tadi langsung terkuras begitu saja tanpa sisa, hingga Dara kesulitan untuk berkata-kata lagi.

Dara tidak pernah menyukai pengkhianatan. Ia tidak bisa menoleransi jika itu terjadi dalam hidupnya dan Bisma berhasil melakukannya. Bukankah laki-laki itu tahu kalau Dara sangat membenci ini?

“Kita putus, ya, Ra. Kamu terlalu baik untuk aku. Maaf, kalau aku belum bisa jadi cowok yang baik buat kamu.”

Kalimat itu terlontar dengan lancar dari bibir Bisma. Mendengarnya, Dara ingin menertawakan dirinya sendiri.

Kamu terlalu baik untuk aku?

Omong kosong macam apa ini?

“Kamu kalau lagi bercanda, lucu ya? Lucu banget!” Dara tertawa terbahak-bahak. Ia menyunggingkan senyum dan menatap Bisma yang tengah tegang dan kebingungan, “Kamu bilang, kita bakal terus bareng-bareng. Kita bakal lulus SMA bareng, kuliah bareng, pake toga bareng sampai nanti bareng. Ternyata semua itu cuma becandaan kamu doang gitu? Hebat banget!”

“Ra…”

Dara mengangkat tangannya dan tidak membiarkan Bisma untuk mengeluarkan sepatah kata pun.

“Hati aku sakit banget, tau nggak, Mbis! Boleh nggak aku berharap kalau ini cuma mimpi? Aku nggak tau hidup aku kalau nggak sama kamu,” celoteh Dara sangat lirih.

Bisma adalah satu-satunya laki-laki--yang bukan keluarganya--yang Dara cintai. Bagi Dara, Bisma adalah cinta pertamanya yang sangat berarti. Ia tidak pernah berekspektasi buruk mengenai Bisma ataupun hubungan mereka.

Hampir empat tahun sudah hubungan yang Dara jalin bersama Bisma. Banyak hal positif yang mereka jalani bersama. Wajar sekali bukan kalau Dara tidak pernah menyangka kalau hal ini terjadi dalam hubungan mereka?

“Maaf…”

“Jadi, ini beneran, ya? Kamu mau pergi ninggalin aku?”

Bisma menghela napas dalam-dalam. “Aku harap, kamu bisa nemuin cowok yang lebih baik dari aku. Maafin aku, ya, Ra. Aku pamit.”

Setelah itu, yang Bisma dengar adalah isakan Dara yang begitu hebat. Bisma tak ingin membalikkan tubuhnya untuk sekadar menoleh, karena ia yakin, ia tidak akan bisa meninggalkan gadis itu.

“Kamu udah ngelakuin hal jahat, Bisma!” gumam Bisma saat kilasan masa lalu itu kembali membayangi.

Wajah kecewa Dara.

Tangisan kesedihan Dara.

Luka menganga yang tertoreh di hati Dara.

Penyebabnya adalah satu, yaitu Bisma.

Luv, HD💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,
HD💜

Langit Tak Selalu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang