3

433 95 24
                                    

Daripada berada di ruang perawatan yang mana pasti akan banyak pertanyaan dan obrolan yang membutuhkan kepiawaian berbohong, Ena memilih mengobrol santai dengan dokter yang baru ditemuinya sambil menelan makanan. 

"Aleena, boleh saya panggil kamu begitu?" Jerry bertanya sopan.

"Iya," Ena menjawab pendek sambil tersenyum.

"Sebenarnya, kamu kerja sebagai apa di perusahaan itu?" Jerry bertanya lagi.

"Oh..., admin." Lagi-lagi Ena menjawab singkat.

"Admin? Yang seharusnya mengurus masalah keuangan? Tapi, bukannya masalah administrasi rumah sakit sudah selesai, ya? Kenapa kamu ke sini lagi? Jenguk?" Ena tertawa melihat kebingungan lelaki itu.

"Saya disuruh antar-jemput ART yang nemenin Bu Rena ke sini," katanya, membuat Jerry semakin tidak mengerti. "Biasa aja, dong, Pak. Bukan hal aneh kalau satu posisi memback up posisi lain dalam perusahaan, kan? Bahkan sampai urusan pribadi bos juga, kok!"

Meski berkata seperti itu, Ena tidak bisa mengenyahkan nada menyindir dari suaranya. 

"Kalau nggak nyaman, kenapa nggak cari kerjaan yang lain?" Jerry bertanya, menyadari kalau perempuan di hadapannya sudah muak jika membahas pekerjaannya.

"Cari kerja di jaman sekarang nggak segampang itu, Pak. Saya udah ngajuin lamaran ke beberapa tempat, tapi belum ada panggilan, makanya tetap bertahan sampai dapat yang baru," emosi Ena kembali mereda, sementara Jerry menganggukkan kepala mengerti.

"Ngomong-ngomong, saya boleh tanya soal yang tadi pagi?" Kali ini Ena yang mengajukan pertanyaan. Meski bilang sudah memaafkan, perempuan itu tetap tidak mengerti dengan sikap yang lelaki itu ambil.

"Oh, ya..." Jerry berdeham sebelum menjelaskan. "Itu refleks yang sama sekali nggak bertanggung jawab. Cuma karena saya lihat mantan saya yang selingkuh mau masuk lift, saya langsung berpikir untuk bales perbuatan dia walau cuma pura-pura. Saya yakin, dia dateng ke sini buat nemuin saya, dan di situasi itu cuma ada kamu di lift. Bener-bener kayak bocah!"

"Mba yang tadi marah-marah itu selingkuh dari Pak Dokter?" Ena mengerutkan kening. "Kok, kayak nggak tau diri banget?"

Bukannya tersinggung, Jerry justru nyengir dengan kejujuran Ena. "Sebenarnya, saya baru sadar kalau ternyata Greesa itu agak tolol setelah tadi pagi," katanya terkekeh. Ena juga tergelak.

"Tolol? Pas banget deh, kata-katanya!" puji Ena. Perempuan itu bergumam tidak jelas sambil menggelengkan kepala dan tersenyum sinis.

"Btw, kamu kayaknya dekat banget sama anak bosmu, ya?" Jerry menyenderkan punggungnya ke kursi, terlihat lebih santai daripada beberapa saat yang lalu. Kali ini Ena tidak menjawab gamblang, hanya tersenyum singkat.

"Jer?" suara lelaki yang asing membuat Ena ikut menolah meski nama Jerry lah yang di panggil. Seorang dokter lain, menatap mereka berdua dengan kening mengerut. "Sama siapa?"

"Oh, Jam. Lagi makan siang juga?" Jerry menyahut ramah, tidak berkomentar saat dokter itu duduk di antara mereka.

"Temanmu?" dokter itu diam-diam melirik Ena, dan perempuan itu pun menunduk untuk memperhatikan.

"Ya," Ena mendengar Jerry menjawab, kening perempuan itu kembali mengerut karena menyadari ada senyum saat lelaki yang baru dikenalnya itu berbicara. "Aleena, kenalkan ini teman kerja sekaligus tetangga saya, Jamal. Jam, ini Aleena, salah satu wali dari pasien di kamar nomer 303."

"Oh..." Jamal terdengar terkejut, sementara Aleena menggelengkan kepalanya tidak setuju.

"Tidak bisa disebut wali, loh..." ucap Ena. "Sebut saja budak korporat," tambahnya dengan nada kecut. Jerry tergelak mendengar balasan Ena, bukan hanya karena kata-kata yang bernada penuh sindiran, tapi juga karena raut wajah perempuan itu tampak kecut. Jamal juga tersenyum mendengar candaan Ena.

SemicolonsWhere stories live. Discover now