SANG PANGLIMA

11 0 0
                                    

Namanya Naladhipa Nagara, biasa dipanggil Nara. Si pemilik netra sekelam malam, yang selalu bisa membunuh rasa hanya dengan sekali pandang. Lelaki dengan rahang tegas yang selalu memancarkan aura dominan, membuat siapa saja segan hanya dengan berpapasan. Memiliki paras yang rupawan dan juga aura yang mencekam, membuatnya pantas menyandang gelar seorang panglima.

Panglima? Tentara? Polisi? Ah, bukan.

Panglima gangster Chibenx. Gangster besar yang cukup berpengaruh dan ditakuti, dengan anggota yang sudah mencapai ribuan orang. Kegiatan mereka? Ah, jangan tanyakan itu. Karena jawabannya juga tak jauh beda dengan gangster lain. Balapan, tawuran, membuat kerusuhan, dan berbagai tindakan lain yang cukup umum dilakukan para gangster. Kemenangan seringkali mereka bawa. Tidak hanya dengan berbekal anggota yang banyak, panglima mereka juga berandil besar. Nara adalah orang yang ambisius, tak ingin kalah, akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang diinginkannya.
Namun sifatnya akan berbanding terbalik jika sudah berurusan dengan rumah. Nara hanya tinggal dengan sang kakak, Yera, yang mempunyai anak kecil tampan berumur 5 tahun. Sifat Nara begitu lembut dan juga berlimpah kasih sayang, terlebih pada sang ponakan, Jinan. Menjadi sosok paman yang dianggap ayah, membuat Nara lebih bersikap dewasa.
Seperti sekarang, tugasnya pagi ini adalah mengantar Jinan ke sekolah karena Yera yang mendapat panggilan operasi dari rumah sakit—iya, Yera adalah seorang dokter, tepatnya dokter bedah jantung— jadilah karena memang Nara adalah salah satu kandidat terbaik untuk mengantar, maka dengan senang hati Nara mengantarkan keponakan kesayangannya.
"Uncle, aren't we late?" si kecil Jinan memecah keheningan yang terjadi di dalam mobil.
Nara menoleh sekilas, memeriksa jam tangan yng melingkar apik di tangan kirinya. Benar, ini sudah jam 07.30, dan mereka masih terjebak di jalanan yang masih padat.
"Sebentar, Jwi. Uncle janji kita akan sampai sebelum gurumu datang," kata Nara dengan senyuman, tangan kanannya terulur mengusak rambut hitam Jinan.
"Tapi Jinan tidak mau ketinggalan kelas kak Rain, she is my favorite teacher."
Dengan nada sedih Jinan kini menunduk, tangan mungilnya memainkan kotak pensil di pangkuannya.
Okey, itu cukup membuat Nara semakin tak sabar. Dia bukan tipe orang yang suka menunggu, ngomong-ngomong. Jalanan masih bertahan dengan kepadatan dan suara klakson mobil yang saling bersahutan, tanda ingin segera keluar dari zona yang tak nyaman bagi semua orang.
"Sialan," kesal Nara dengan suara lirih.
Ingin mengumpat sebenarnya, tapi ada Jinan, sepertinya kepalanya bisa mendapat jitakan maut dari Yera jika Jinan menirukan ucapan Nara. Nara sudah kapok dengan jitakan Yera ngomong-ngomong. Cukup sekali dan itu menyakitkan.
Netra serupa jelaga milik Nara kini sedikit berbinar, saat melihat seseorang dengan motor besar berhenti di samping mobilnya.
"Jinan, wanna ride a motorbike with uncle?"
Mata bulat Jinan berbinar, bibirnya naik membut senyuman lebar hingga memperlihatkan gigi putihnya, lalu sekian detik berikutnya mengangguk semangat hingga membuat rambut mangkuknya bergerak lucu.
"Tapi jangan bilang sama mommy, yah?" kata Nara.
"I promise!"
Dan singkat waktu, si bungsu Naladhipa kini mengantar Jinan dengan motor Hendry—salah satu anggota Chibenx—yang sekarang ditugaskan Nara untuk membawa—menunggu mobilnya di tengah kemacetan.
Berdoa saja Yera tidak tahu kalau anaknya dibawa ngebut, dan berulang kali hampir jatuh, karena menyerobot orang di tengah kemacetan. Sedangkan Jinan? Tenang, anak lima tahun itu justru tertawa sepanjang jalan. Sepertinya Jinan sudah terpengaruh dengan Nara.
Tidak memerlukan waktu yang sangat panjang seperti mengendarai mobil, kini Nara dan Jinan telah sampai di sekolah—yang terlihat sudah sepi. Dengan hati-hati, Nara menurunkan sang ponakan. Merapikan rambut mangkuk Jinan, dan merapikan seragam sekolah Jinan.

"Uhm, uncle, we're late," lirih Jinan dengan bibir yang melengkung ke bawah, melihat gerbang sekolahnya yang sudah tertutup rapat.
Nara mengerjap, lalu tersenyum kemudian. "Nope, ayo kita masuk, Jwi nggak telat. Ayo uncle antar sampai kelas," ujar Nara dengan mengusap pelan pipi gembil Jinan.
Sang ponakan masih diam, tak menanggapi ucapan sang paman, dan masih diam saja saat Nara menggendongnya menuju gerbang sekolah yang tertutup.
"Pak, buka gerbangnya, ponakan saya mau masuk ini!" seru Nara tanpa basa-basi kepada satpam yang duduk di dalam pos. Pak satpam yang sedang santai kini beranjak, setengah berlari membuka pintu gerbang.
"Lain kali jangan tutup gerbangnya kalau ponakan saya belum datang, Pak." Dengan entengnya Nara bicara.
"Maaf, Pak. Tapi—"
"Ini masih taman kanak-kanak, bukan SMA. Atau Bapak mau saya panggil teman-teman saya buat buang ini gerbang?"
Pak Satpam menggaruk pipinya yang tak gatal. Jujur saja ini bukan kali pertama Nara bersikap seperti ini. Satpam itu sudah berulangkali mendapat cerocosan Nara hanya karena Jinan yang terlambat. Ah, seharusnya ini bukan salah satpam, ia hanya menjalankan peraturan sekolah. Tapi yang namanya Nara memang tidak perlu dibantah, iyakan saja jika tidak mau kena getahnya.
"Uncle, Jwi masuk ke kelas sendiri aja, deh." Si kecil Jinan menepuk bahu Nara, meminta untuk menurunkannya.
Nara yang tadinya masih ingin mengoceh pada satpam kini mengurungkan niatnya, beralih mengerutkan kening saat melihat Jinan tersenyum ceria, berubah drastis dibanding tadi yang sudah sayu hampir menangis.
"Yakin?" tanya Nara yang mendapat anggukan dari Jinan, lagi, rambut mangkuknya kembali bergerak.
Merasa tak masalah dengan permintaan Jinan, Nara menurunkan sang ponakan dari gendongannya.
"Chela! Wait for me!" seru Jinan yang langsung berlari kearah koridor kelas, di mana ada anak cantik dengan rambut tergerai sepunggung. Anak cantik bernama Chela itu menoleh, menghentikan langkah dan benar menunggu Jinan yang berlari, namun belum genap sepuluh langkah berlari, Jinan berhenti. Lalu berlari kearah Nara.
"Ah, thank you, uncle. Nanti jemput Jwi pakai motor lagi, yah! Jwi janji nggak bakal bilang sama mama," ujar Jinan sebelum akhirnya menghadiahi Nara sebuah ciuman di pipinya.
"Okay, buddy!" seru Nara mengacungkan jempolnya.
Jinan kembali melangkah, berlari menuju Chela si gadis cilik yang masih menunggunya. Dan Jinan langsung menggandeng tangan Chela setelah sampai di dekat gadis itu, berjalan beriringan menuju kelas yang sama.
Urusan selesai, Nara kini kembali ke motor milik Hendry yang masih terparkir di depan gerbang sekolah. Tepat saat Nara ingin memakai helmnya, seseorang dengan motor sport hitam mendekat kearahnya.
"What the fuck..." umpat Nara lirih saat menyadari siapa yang mengendarai motor hitam itu.
Senyuman evil tercipta saat pengendara itu berhenti tepat di depan motor yang dinaiki Nara. Surai kecokelatan terlihat saat si pengendara melepas helmnya. Senyuman terlihat, dari pada dibilang senyum sapaan, itu lebih kepada senyum yang mengejek sepertinya. Nara tahu benar siapa itu, Luki, salah satu musuhnya, petinggi geng Trigon.
"What's wrong with your gaze, dude? Gue nggak ngapa-ngapain—" ujar Luki saat melihat pandangan elang netra serupa jelaga milik Nara menyambutnya.
"—atau mungkin, belum?" imbuh Luki diakhiri kekehan tawa di akhir kalimatnya.
Nara tak menjawab. Mencoba menahan agar tak meladeni ucapan seseorang yang selalu mengajak berbuat keributan ini. Dipakainya helm milik Hendry, memilih mengabaikan petinggi dari geng Trigon.
"Jam tujuh malam ini, gue tunggu di tempat biasa," kata Luki sebelum Nara menyalakan motornya.
"Gue nggak ada waktu buat balapan sama orang licik kayak kalian," jawab Nara menyalakan motor.
"Are you sure? Gue pikir lo masih peduli sama Jovan,"
Nara terdiam. Perasaannya kini seolah diterpa dengan beban sekali hentak saat sang lawan menyebut tentang sang kakak. Dimatikannya motor, helm yang sudah terpasang kini ia lepas. Berjalan menuju Luki yang masih setia di tempatnya.
"Maksud lo apa bawa-bawa Jovan?!" seru Nara.
"Weitss... calm down, dude. Jovan ada sama Trigon sekarang, dia kalah balapan semalam."
Nara mengerutkan kening. "Balapan? Semalam nggak ad—"
"Jovan balapan sama Mahen, kalau Jovan menang, dia bakal kasih motornya ke Jovan sekaligus bayarin biaya rumah sakit ibunya Jovan. Kalau Jovan kalah, Mahen masih mau bayarin biaya nyokapnya Jovan asal Jovan jadi anggota Trigon—"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PEMIHAK SEMESTAWhere stories live. Discover now