[7] Tamu

15 9 0
                                    

Lino melangkah lunglai memasuki pekarangan rumah milik nya yang mulai ditumbuhi rumput dan dedaunan yang beterbangan. Kentara sekali dengan teras yang gersang tanpa tanaman sedikit pun seperti milik Rian yang dipenuhi pot bunga segar milik Ibunya.

Baru saja ia bersandar pada pintu meluruskan pinggang dan kaki, hari ini berakhir sudah kontrak nya mungkin besok ia menemui Rian untuk bertanya lebih lanjut soal toko roti milik ayahnya. Dari kejauhan, Lino menatap sebuah sepeda motor yang menuju ke pekarangan miliknya.

"Lino?"

"Siapa?"

Lelaki dengan perawakan tegap, rambut nya rapi penuh minyak; mengkilap. Dari penampilan nya Lino menebak-nebak mungkin tamu Pak RT atau Pak Kades.

"Brian"

Tubuh nya kaku beberapa saat, begini rupa nya penampakan Brian yang sering mengunjungi Lia beberapa waktu ini sampai-sampai Lia menolak diajak berkeliling beberapa kali. Lukman menatap pada Brian tak kalah sinis, dalam hati nya menggerutu.
'Agak letoy sedikit dari Lino, kok mau aja Lia sama Abang ini. Berduit kali ya'

"Ah masuk, maaf ya berantakan. Saya bikin minum dulu"

"Gausah repot-repot"

"Gapapa, tunggu bentar"

Lukman mengekor, duduk tepat di samping Brian memperhatikan gerak-gerik lelaki yang kira-kira seumuran Lino didepan nya ini. Tangan Brian bergerak mengelus bulu-bulu halus milik Lukman. Awalnya Lukman waspada, mana tau dia di cekik lantaran dendam pada Lino yang merebut Lia.

"Diminum ya"

"Makasih ya"

"Oh iya, ada apa?"

Lukman diam diam bersorak, Lino terlihat agak jantan sekarang, seperti Sahrul waktu itu. Ia sangat ingin memanggil beberapa kawan nya untuk menyaksikan pertarungan manusia. Tapi, tidak mungkin ia pergi sekarang jadi ia hanya akan menonton dan nanti bercerita pada kawan nya.

"Soal Lia, saya minta maaf mungkin kesan nya kaya merebut. Tapi, saya kesini mau menegaskan kalau saya akan bertunangan dengan Lia. Jadi, saya mohon supaya berhenti"

Lino diam, mata nya lurus kedepan menatap kekosongan yang tiba-tiba merayap tanpa di minta. Lukman sama terkejutnya, besar juga nyali abang ini untuk menemui Lino dan menjelaskan niat nya.

"Iya"

Brian terdiam, sedari tadi ia sudah siap dengan kemungkinan-kemungkinan buruk misalnya penolakan dari Lino, tapi jawaban singkat itu seolah menusuk hati nya. Ia merasa menjadi penjahat disini.

"Saya, maaf kalau saya tiba-tiba datang jadi perusak saya cuman..."

"Gapapa"

"NO!! MAIN YUK!! Eh ada tamu"

Rian datang memecah keheningan dengan membawa sekantong roti dan nasi hangat beserta lauk nya. Lino menyuruh Rian untuk masuk lalu mengajak Brian makan bersama.

Brian, Lukman maupun Rian tidak pernah mengerti kemana dan dari mana jalan berpikir Lino yang terlampau santai. Semua orang tau, perihal Lia ia tidak akan menyerah begitu saja. Kenapa kali ini lelaki itu seolah tunduk pada keadaan.

"Kamu, gapapa?"

"Gapapa, makan aja aku laper. Ini lauk buatan Ibu nya Rian, biasanya enak banget. Kalau asin berarti Rian yang masak"

"Enak aja! Bapakku kalau asin masakannya"

"Tumben ga manggil nama"

"Di jambak aku"

Brian dan Lino tertawa mendengar cerita Rian dijambak Bapak nya lantaran kelepasan memanggil dengan lantang nama Bapak nya itu. Lukman sebenarnya saksi mata dengan beberapa kucing lain nya. Insiden itu sempat jadi topik ghibah beberapa jam yang lalu.

"Saya pamit, maaf ya datang kesini malah ngasih kabar kayak gitu"

"Gapapa, hati-hati"

Brian berlalu pergi meninggalkan jejak kelabu dalam diri Lino, pun Lino beranjak pergi menuju surau bersama Rian. Ia merasa perlu Tuhan nya saat ini. Malu sekali rasa nya, saat hati nya dihantam oleh sesuatu yang bukan untuknya ia malah meminta kesembuhan pada Tuhan nya. Kemarin-kemarin ia seolah melupa pada Tuhan nya.

★★★

Malam itu, Lino menangis ditemani Lukman dan beberapa kucing lain yang sengaja diundang Lukman untuk menghibur dan menemani Lino sekedar menatap wajah Lino yang memerah. Ia ikut terjaga, sekedar mengeong sesekali meyakinkan Lino bahwa ia akan baik-baik saja meskipun tanpa Lia.

"Gue bisa kan, Man?"

Kalau saja, Lukman diberi kesempatan sekali oleh Tuhan untuk berbicara pada Lino maka ia ingin mengucapkan kalimat yang ia simpan selama ini.

"Semua mungkin berat, semua mungkin bikin kamu mengeluh dan nangis malam-malam. Tapi, jangan takut sendirian, aku disini, aku ga pernah sekalipun berniat untuk pergi jauh dari kamu. Aku mungkin hanya diam tanpa membantu apa-apa, tapi jauh dalam diriku, aku selalu berdoa kelak kebahagiaan yang bakal menjemput kamu. Lino, Allah ga tidur"

Lino memeluk Lukman erat, bersamaan dengan dengkuran halus yang keluar dari mulut Lino. Lukman dan kawan nya bernafas lega, setidaknya Lino tenang setelah menangis. Mereka berbaring disamping Lino turut serta memejamkan mata. Bergabung dengan jutaan manusia yang kini sibuk merajut benang mimpi sendiri-sendiri.

★★★

"Kalau mau istirahat, istirahat dulu aja hari ini. Besok mulai kerja"

Lino mengiyakan ucapan Ibu nya Rian. Mungkin, hari ini ia akan ke kota tempat Ibu nya tinggal. Entah, ia merasa merindukan sosok ibu yang sudah lama tidak ia dekap. Menyiapkan tas kucing untuk Lukman, mereka menuju kota.

Entah sudah berapa lama, Lukman sendiri tidak sadar kini mereka sudah di depan pagar. Lino hanya menatap, tanpa memanggil. Mata nya menangkap dua anak kecil yang berlarian bermain bola di halaman luas itu. Suara ibu nya terdengar, memanggil kedua nya untuk masuk ke rumah dan makan.

"Assalamualaikum"

"Walaikumsalam"

Bukan, bukan ibu nya yang keluar. Melainkan sosok laki-laki yang Lino yakini itu ayah tiri nya. Lino tersenyum lalu meraih tangan lelaki itu.

"Saya Lino, anak Ibu"

"Ohh, Lino. Masuk, Nak. Ma!! Ini ada tamu!!"

Selama ini, Lino terlalu takut. Takut untuk sekedar menyapa, mendekat, dan mendekap. Ia mengira-ngira ibu nya mungkin akan pura-pura tidak mengenalnya, atau ayah tiri nya berusaha menjauhkan nya dari ibu nya.

"Lino!!"

Dekap ini yang ia cari, dekap ini yang ia rindui. Kini, ia dapati setelah lama memendam kerinduan. Sesak nya menguar, air mata nya mengalir sendiri.

"Masuk, sayang. Ibu udah masak, kita makan bareng adik-adik kamu"

Dari situ, Lino tau seberapa rindu juga ibu nya pada nya. Ia juga tau ternyata adik nya kembar; Aji dan Ali. Perihal surat yang tidak terbalas, ibu bukan nya tidak ingin membalas melainkan sedikit merepotkan jika membawa si kembar ke kantor pos. Lukman turut merasakan hangat yang menguar, ia suka dengan saudara tiri Lino. Mereka lebih gesit dalam bermain ketimbang Lino yang sudah tua.

❤️

Bandang [Lee Know] • 1998 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang