01

6 1 1
                                    

Seseorang yang sedang kau temui entah sedang menjadikanmu sebagai awal yang baru untuk hidupnya, atau sedang menjadikanmu objek yang lain untuk kebiasaan lamanya - Zhafir Akalanka.

Hanya takut, saat segalanya hanya ada namamu, saat itu pula hadirku tak lagi berarti untukmu.

Disastra, sebuah bencana.

-0-

Kulitku terasa dingin saat berjalan di ubin, lorong masih terasa asing bahkan saat tak kusadari sudah genap empat minggu hidungku menghirup udara Gavya-sekolahku, dan aroma . . .

Bacaratz.

"Matematika udah belum, Ra?" aku menengok, mencoba menampilkan senyum terindahku.

"Udah,"

"Liat dong."

Aku mencebik menatap ia yang kini menampakkan cengiran menyebalkan dengan kaki yang terus berusaha menyamai langkah cepatku. "Excuse me? Emang kita kenal?" balasku bergurau.

"Jahat banget," aku hanya terkekeh melihat raut kecewanya yang sedikit dibuat-buat.

Lucu.

Arazani Mahisasura Mardini, namaku. Kata Ibu, itu terinspirasi oleh salah satu nama ratu yang dijumpainya pada materi Sejarah Indonesia saat duduk di bangku SMA. Dalam mitologi Hindu, Mahisasura Mardini adalah Dewi Durga yang mengalahkan raksasa Mahisasura, sedangkan Arazani adalah variasi dari Bahasa Arab Arzan' yang berarti 'Tumbuh Subur' atau 'Berlimpah. Jadi, secara keseluruhan namaku dapat diartikan sebagai seseorang yang subur dan kuat seperti Dewi Durga yang mengalahkan kejahatan. Aku cukup berterimakasih kepada Ibuku yang telah menganugerahkan nama itu, setidaknya arti kuat yang dibawa mengingatkanku untuk tak gampang menyerah ditengah-tengah rasa lelah Umurku 16 tahun bulan depan, tepatnya pada tanggal 19.

Tak ada motiv lain yang membawaku menjadi siswi Gavya selain nama sekolahnya yang terdengar menarik ditelingaku, yeah... aku tak pernah melihat bangunannya secara langsung dengan mataku, seluk beluk, bahkan letaknya saja aku tidak tahu, hanya sepenggal "Sekolah swasta terbaik di Purbalingga yang meyakinkanku untuk mengirimkan foto berukuran 3x4 berlatarkan merah dengan beberapa dokumen pendukung ke server Gavya.

Aku tak pandai mendeskripsikan diriku, sampai saat ini aku bahkan masih belum bisa memahami diriku dengan baik. Aku tak percaya diri untuk menyebut diriku cantik, namun rasanya terlalu jahat untuk menyebutnya jelek, jadi mari kita anggap tengah-tengah, okay? Ayahku kusebut orang paling tidak pernah egois sedunia, lihat saja! Ia selalu mementingkan orang lain lebih dari apapun dengan memastikan kereta api membawa orang-orang selamat sampai tujuan. Oh, apakah ini sarkas? Ya. Sedangkan ibuku adalah seorang MUA merangkap sebagai pemilik brand skincare yang tidak terlalu terkenal di masyarakat. Gila kerja, adalah sebutan yang pantas bagi mereka.

"Kepala gue hampir meledak gila!" itu Isya, teman pertamaku di kelas ini. Cukup mudah untuk dekat dengannya, sebab kita memiliki getaran frekuensi yang sama persis.

"Santai dulu gak sih?" Aku menimpali ocehannya dengan nada slow, mencampakan atensi rumus-rumus matematika, mengalihkannya pada putaran vidio meme yang kutemukan pada aplikasi instagram. Terlalu malas dengan kebiasaan si guru matematika yang selalu memberikan tugas setiap harinya kemudian beliau pergi begitu saja hingga jam pelajaran terakhir.

"Ngerti lo?" tanyanya kemudian dengan nada sedikit mengejek

Menyengir kuda adalah alternative ku sebelum mengeluarkan jawaban andalan, "Nggak "

Kupikir matematika terlalu egois untuk membiarkanku menyelesaikan masalah sendirian apalagi tanpa opsi damai. Terlebih lagi jawabannya yang terkadang cukup diluar nalar benar-benar menguras energi dan emosi. Namun, keadaan lagi-lagi memaksaku untuk mencoba mencintainya, walau jujur tak yakin ini akan berjalan mudah, dapat dilihat dari seberapa banyak air mata dan malam kuhabiskan untuk meratapi rumus-rumus itu, cengeng memang.

"Ra,"

Aku mendongak menatap manusia yang tengah berdiri di depanku, "Apa? Mau nanya matematika? Gue belum selesai, kerjain sendiri gih." Ucapku kemudian dengan nada sedikit kesal.

"Kata siapa mau nanya matematika, gue cuman mau nanya, telur sama ayam duluan mana ya?

"Duluan Bapakmu kali,"

"Kalau gitu, mau makan bareng gak?"

Aku mendadak cengo, sedangkan Isya hanya diam, walau aku tau bahwa ia sedang menahan senyuman.

"Kalau dibayarin mah ayo," Aku bercanda, tentu saja.

Gentara- manusia aneh dihadapan ku hendak menjawab, namun bel istirahat dengan hentakan kaki khas sepatu mengkilat milik Pak Roy sudah lebih dulu menggema, mau tidak mau, aku harus mengalihkan atensiku sepenuhnya pada guru di depan kelas dengan Genta yang berlari menjauh menuju bangkunya tanpa mengeluarkan sepatah kata kecuali senyuman yang nampak menyebalkan.

-0-


Sudah dapat dipastikan, bahwa ajakan makan bersama yang Genta lontarkan hanyalah wacana semata, Genta tak seberani itu, pikir Hisa.

Ia tak ambil pusing apalagi membawa segala candaan Genta dalam hati, hell, ini memang bukan saatnya jatuh hati, apalagi setelah dijatuhkan berkali-kali. Okey catat, kutipan ini akan Hisa ketikkan di facebook usai pelajaran nanti.

"Sa, belakang ngeliatin Lo terus tuh." Isya berbisik pada Mahisa dengan senyum dan tatapan menggoda, mengundang kernyitan dalam dari Hisa.

"Siapa?" jujur saja, Hisa tak se-tidak peka itu untuk tidak tahu dengan yang dimaksud oleh Isya.

"User G," bisik Isya lagi disusul cekikikan girang darinya, untuk urusan menjodoh-jodohkan, Isya adalah juaranya.

"Hah . . . lagi liatin ke luar kali," Hisa mencoba positif thinking, padahal dalam otaknya sudah overthinking. Ia adalah tipe orang yang mudah overthinking dan sensitive dengan hal-hal kecil, apalagi masalah gesture, sebab baginya, gesture adalah 'ungkapan' yang sesungguhnya.

Beberapa hari ini, ia merasa bahwa sepasang mata itu terus menatap ke arahnya. Beberapa gerakan kecilnya yang diikuti juga menambah pikiran, seperti menguap hingga tertawa. Tolong katakan, bahwa Hisa hanya terlalu percaya diri saja!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 17, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hey, Ta!Where stories live. Discover now