25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan

Começar do início
                                    

"Jean koleps, gue harus ke rumah sakit."

Setelah mengatakan itu, Jeremy segera meninggalkan ruang kerja Abizar. Dan Abizar, lelaki itu masih geming. Seperti terpukul kenyataan dua kali, ia segera berjalan menyusul langkah Jeremy dengan cepat.

•••

Suara denting dari ventilator serta beberapa tim medis yang sibuk menangani Jean membuat Abizar semakin kalut. Ia berjalan kesana-kemari dengan perasaan sesak yang tak mampu di utarakan lagi.

Ia ingat kejadian 17 tahun yang lalu, di mana ia berada di posisi seperti ini. Berjalan-jalan di depan ruang ICU sembari menatap orang yang ia sayang berjuang antara hidup dan mati.

Dan hari ini, hal itu terulang kembali. Abizar kembali berdiri di depan ruangan yang sama, dengan penampilan yang sama- urakan layaknya orang yang kehilangan akal.

Lagi-lagi rasa takut itu kembali memeluknya begitu erat, sampai-sampai yang ia rasa hanya sesak. Ia takut hal itu terulang kembali, ia takut kehilangan lagi.

"Papa nggak mau kehilangan kamu, Jean."

Ada getir setelah ia mengatakan itu, belum lagi perkataan Jeremy satu jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Perasaan sesak semakin mencekiknya, hingga ia lupa bagaimana ia bisa bernapas dengan begitu lega. Atau memang dari lama, ia sudah lupa bagaimana caranya untuk kembali bernapas dengan baik.

Hingga pintu dari ruang icu terbuka, di mana Jeremy menatapnya dengan tatapan yang tak mampu lagi ia terka.

"Anak gue gapapa, kan?" tanya Abizar.

Jeremy hanya menghela napasnya seraya berujar, "Kita bicara di ruangan." Hanya itu yang mampu Jeremy katakan, sebelum akhirnya keduanya memilih pergi menjauh dari ruangan ICU.

Hening masih tercipta ketika beberapa menit sampai di ruangan. Jeremy masih belum membuka mulutnya. Hingga akhirnya suara Abizar memecah hening di antara keduanya.

"Anak gue nggak kenapa-kenapa kan, Jer?"

Jeremy tertawa getir, seraya menatap Abizar. Jujur, ia tidak tau harus memulai semua dari mana.

"Kapan terakhir kali lo perhatiin anak lo?"

Perkataan Jeremy membuat Abizar berpikir sejenak. Ia tidak tau kenapa dokter yang tak lain sahabatnya itu berbicara sedemikian rupa kepadanya. Padahal, sebelumnya ia bertanya, tetapi kenapa malah lelaki itu kembali memutar pertanyaan yang sama sekali tak ia paham.

"Maksud lo?"

Jeremy kembali menarik napasnya, sorot matanya tampak lelah dan Abizar masih belum bisa menangkap apa-apa. Hingga suara Jeremy kembali terdengar, dan semuanya terasa seperti berhenti berputar.

"Lo terlalu gila kerja, sampe-sampe lo nggak tau kalo anak lo udah dari lama sakit parah."

"Jean mengidap Sirosis hati. Di tambah kemarin-kemarin dia minum obat dengan dosis tinggi yang sangat beresiko untuk hidupnya. Penyakit Sirosis hati harus ditangani dengan segera. Kalo dibiarin gitu aja, kondisi ini dapat berkembang menjadi kanker hingga menyebabkan kematian."

"Tapi masih bisa di sembuhin, 'kan?" tanya Abizar.

Jeremy menghela napasnya cukup panjang, lalu menatap sorot kelabu milik Abizar. "Sirosis hati adalah kondisi yang tidak dapat disembuhkan, hanya saja bisa dilakukan perawatan untuk mencegah pemburukan dan menangani komplikasi beserta meringankan gejalanya."

Ucapan dari Jeremy berhasil membuat Abizar terdiam. Lagi-lagi kenyataan memukulnya hingga tak mampu lagi untuk berdiri dengan benar.

Matanya ia pejamkan beberapa saat, agar air matanya tak jatuh dengan mudah. Namun, yang ia lihat malah sosok Rania yang menatapnya dengan tatapan kecewa.

JevianOnde histórias criam vida. Descubra agora