Bab 3

3 0 0
                                    


Mengerjap bingung, Anis mengucek mata dengan punggung tangan. Pikirannya belum sepenuhnya pulih, kesadarannya pun belum kembali utuh. Menoleh ke arah jendela, matahari sudah lumayan tinggi.

Ya ampun! Kesiangan!

Bergegas berlari menuju kamar mandi, dia berteriak saat melewati dapur, "Buuuk! Kok, Anis nggak dibangunin, sih?"

"Sudah berapa kali ibuk bangunin kamu, tapi kamu lanjut tidur lagi. Jadi, ya, ibuk biarkan," sahutan terdengar dari arah dapur, berteriak tak kalah keras.

Mandi secepat kilat, Anis tidak mau terlambat. Setidaknya tidak untuk hari ini, hari pertama dia bekerja di rumah produksi sepatu milik Haji Sholeh, saudara Uwak* Saikun---pemilik sawah yang digarap bapaknya.

(Uwak: paman)

Uwak Saikun pula yang menawari Anis bekerja pada adiknya. 'Lumayan buat mencari pengalaman,' begitu kata beliau saat berkunjung ke rumah dan mengetahui Anis tidak memiliki pekerjaan setelah putus sekolah.

Orang bilang, jaman sekarang mencari pekerjaan itu sudah seperti meminta tulang pada lintah, susahnya sampai tahap tidak mungkin terwujud. Apalagi untuk orang yang berpendidikan rendah seperti Anis, ditambah dengan usia yang masih belum cukup.

Tentu saja Anis menyambut antusias tawaran tersebut. Bahkan kemarin, dia telah mendatangi tempat Haji Sholeh---dengan diantar Wawan---sepulang latihan. Beruntung rumah Haji Sholeh sejalan dengan arah rumahnya dari tempat latihan, walau harus sedikit memutar. Wawan sendiri tampak tidak keberatan mengantarnya terlebih dahulu.

Dan hasilnya, hari ini menjadi hari pertamanya bekerja. Karena ternyata Uwak Saikun juga sudah bicara pada Haji Sholeh mengenai dirinya. Dan sekarang, dia bangun sangat terlambat karena semalam tidak bisa tidur saking bahagianya.

"Anak gadis, kok, bangun kesiangan, rezekinya nanti bakal dipatok ayam," ejek Supriati saat melihat Anis menyendok nasi ke piringnya dengan terburu-buru.

"Iiih, Ibuk! Ayamnya, kan, udah dikurung dan dikasih makan sama bapak, nggak bakal matok rezeki Anis," berbicara dengan mulut penuh, beberapa butir nasi tersembur keluar. Mengabaikan sang ibu yang sudah melotot marah, Anis bergegas menghabiskan sarapan agar tidak semakin terlambat.

Supriati menegur putrinya yang tampak berantakan, "Telan dulu nasinya, Nduk. Nggak baik ngomong sambil mulut penuh kayak gitu."

"Udah, Buk, udah habis. Anis berangkat dulu, ya, Buk." Meraih tangan sang ibu, menunduk untuk mencium punggung tangannya. "Nanti Anis cuci piringnya kalo pulang," lanjutnya sambil bergegas menuntun sepeda keluar dari pekarangannya.

Anis masih berusia enam belas tahun, baru tahun depan dia bisa mengurus KTP dan mencari pekerjaan yang sesungguhnya. Maka dari itu, Anis merasa sangat beruntung waktu Uwak Saikun menawarinya bekerja di tempat saudaranya.

Anis tidak bisa terus berdiam di rumah saat orang tuanya bekerja keras, bahkan sang kakak juga harus bekerja di luar kota untuk menambah pemasukan untuk biaya hidup mereka. Walau sedikit membantu dengan penghasilan saat grup bantengan mendapat job panggilan, rasanya masih ada yang kurang. Anis ingin lebih berguna bagi kedua orang tuanya.

Mengayuh sepeda mini dengan semangat, melintasi jalan desa yang belum seluruhnya diaspal, melewati kerumunan ibu-ibu yang sedang asik bergosip, eeh, berbelanja. Senyuman manis dari bibir Anis merekah lebar tiap menyapa orang yang dikenalnya.

Begitu tiba di depan rumah besar dengan pagar besi berwarna hitam tinggi yang terbuka separuh. Di balik pagar terdapat pekarangan luas dengan rumah besar tetapi terkesan sederhana dengan nuansa hitam putih.

Di samping rumah, baru terdapat sebuah gudang yang berfungsi sebagai gudang bahan dan tempat produksi. Ke sanalah Anis menuju saat ini, menemui Bu Isah, istri Haji Sholeh yang bertanggung jawab atas karyawan yang bekerja pada mereka.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 03, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PANTANGWhere stories live. Discover now