Bab 2

7 0 0
                                    

Minggu pagi, seperti biasa Anis sudah rapi dan melangkah ke luar rumah dengan celana training warna biru dongker dan kaos oblong hitam bergambar daun rasta milik kakaknya yang sudah tidak terpakai, membuat tubuhnya tampak lebih ramping.

"Nis, Anis, Nak Wawan sudah nunggu di luar, tuh. Masih pagi, kok, sudah mau berangkat, to, Nduk?" Supardi, yang awalnya sibuk dengan kandang ayam, masuk memanggil Anis. Merasa heran karena tidak biasanya sang putri berangkat sepagi ini.

"Iya nih, Pak. Biasa, hari ini latihan utuh, jadi jam latihan ditambahin dikit." Gadis berkuncir kuda itu meneruskan langkah sambil merapikan penampilan.

Pemuda bernama Wawan itu adalah putra Pak Bambang, pemilik perguruan kanuragan sekaligus pemilik grup bantengan dari Desa Sukorejo, yang mengajak Anis bergabung menjadi salah satu anggota penarinya. Sejak beberapa minggu lalu selalu rajin menjemput serta mengantar Anis pulang setiap kali ada jadwal latihan.

Supardi sendiri menilai Wawan sebagai sosok pemuda yang baik dan bertanggung jawab. Di usia itu sudah mampu mengemban tanggung jawab membantu sang ayah mengelola grup bantengan mereka dengan baik.

"Anis berangkat dulu, Pak," pamit anis sambil mencium punggung tangan sang ayah sebelum berjalan ke arah motor Wawan.

Wawan melakukan hal yang sama, mencium punggung tangan Supardi. "Kami berangkat dulu, Lek."

"Hati-hati di jalan," nasihat Supriati, ia keluar tepat saat Wawan menghampiri suaminya untuk pamit.

Wawan beralih ke arah Supriati untuk mencium punggung tangan wanita itu sebelum kembali menaiki motornya.

Anis menyusul Wawan yang mengendarai motor matic warna biru, duduk manis di boncengan. Keduanya mengangguk serempak pada pasangan orang tua Anis sebelum akhirnya motor melaju dengan kecepatan pelan meninggalkan pekarangan rumah Anis.

"Buk, kok, bapak liat sekarang Anis keliatan lebih bening, ya? Kayak ada yang berbeda, gitu, lho," Supriadi berkata begitu motor Wawan menghilang di tikungan.

Melirik suaminya sekilas, akhirnya suaminya menanyakan pertanyaan yang selama ini sudah dia siapkan jawabannya. "Sudah biasa, atuh, Pak, namanya anak gadis kalo sudah akil baliq, sudah mens, bakal keliatan lebih bersinar. Istilahnya kalo kembang, tuh, lagi mekar-mekarnya, wangi."

Mengangguk-angguk tanda setuju, pria paruh baya itu membawa topik baru, "Wawan itu, anaknya baik, ya, Buk."

Kali ini perhatian Supriati mengarah penuh pada sang suami. Dia tahu pembicaraan ini mengarah ke mana, ada sorot tidak suka terpancar di mata keriputnya. "Pak, anak kita masih kecil. Jangan mikir jauh dulu."

"Dia sudah mekar, lho, Buk. Sudah wangi," berbisik di bagian akhir, Supriadi membalikkan ucapan istrinya dengan nada menggoda.

Supriati meninggalkan suaminya sambil mendesah lelah. Tidak ingin bertengkar untuk saat ini. Lagi pula jodoh sudah ada yang mengatur, dia tidak ingin memaksa sang putri menikah sekarang. Hanya berdoa saja supaya putrinya kelak mendapat jodoh yang baik.

Meskipun mereka bukan orang berada, tetap saja bibit, bobot, dan bebet juga harus diperhitungkan agar tidak sampai menconteng arang di muka karena asal memilih menantu.

*****

Wawan dan Anis tiba di balai dukuhan, tempat yang biasa digunakan oleh grup bantengan mereka berlatih. Sebuah bangunan terbuka beratap joglo dengan sembilan pilar utama berukuran besar sebagai penyangga, dilengkapi sebuah bangunan utuh berpintu kayu dengan ukiran jepara menghiasi, terkesan sederhana sekaligus anggun.

Memarkir motor di salah satu sudut pekarangan, keduanya berjalan bersama menuju teman-teman mereka, yang telah menunggu, dengan wajah cerah. Rambut ekor kuda Anis melambai ke kanan dan ke kiri mengikuti langkah kaki riangnya saat mendengar suara musik gamelan yang sudah terdengar sejak mereka belum memasuki pekarangan.

PANTANGWhere stories live. Discover now