Bab 1

14 4 0
                                    


Kicauan burung bersahutan, sinar matahari pagi menembus daun-daun dari kebun samping rumah, menerobos jendela yang memang dibiarkan terbuka.

Anis yang kini berusia empat belas tahun terbangun dengan sedikit limbung, duduk mengucek matanya untuk beberapa saat kemudian bangkit menuju kamar mandi. Saat melewati dapur, ia melihat sang ibu tengah sibuk berkutat dengan peralatan masak dan bahan makanan yang hampir semua telah siap.

Usai memenuhi panggilan alam, Anis kembali ke dapur, duduk manis di kursi meja makan yang berada di sudut ruangan. Memperhatikan dengan saksama tangan ibunya yang lincah saat mengemas makanan ke dalam rantang.

"Kok banyak sekali, to, Buk? Perasaan bapak kalo makan gak sebanyak ini, deh."

"Bapak  dan Lek Kiman diajak Pak Lurah kirim hasil panen, sekaligus mau kulakan* bibit sama pupuk buat koperasi. Katanya besok baru pulang, karena itu bekalnya dibanyakin, jadi bisa dimakan sampe sore."

(Kulakan: beli stok barang untuk dijual lagi.)

"Kok, lama, Buk?"

"Gak tau juga, _Nduk_*. Pak Lurah yang turun langsung kali ini, mungkin ada tempat baru yang dinilai lebih menguntungkan."

(Nduk: panggilan untuk anak gadis.)

Anis mengangguk walau tak sepenuhnya mengerti.

Supriadi---bapak Anis---masuk tepat setelah sang istri menutup rantang bekal yang selesai dikemas. Berpamitan sekenanya kepada anak istri karena truk angkut milik Pak Lurah sudah menunggu di depan pagar rumah mereka.

"Hari ini gak ada jadwal latihan, 'kan, Nduk?" Supriati membuka suara begitu truk yang ditumpangi suaminya menghilang di belokan.

Kepala miring ke kiri, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Gak ada, Buk. Besok Minggu baru latihan lagi. Memang kenapa, Buk?"

"Gak apa, ibu mau ajak kamu ke suatu tempat. Tapi kamu jangan bilang-bilang bapak, yo, Nduk?"

"Eeeh, kenapa nggak boleh bilang?"

"Pokoknya jangan bilang. Kalau bapak tau, nanti kamu gak boleh nari lagi. Mau?"

Wajah gadis tersebut berubah kaku, kepala menggeleng kuat. Mana mau dia disuruh berhenti menari. Usaha mendapat izin dari bapak saja susahnya setengah hidup.

Tidak perlu menunggu lama, dengan sepeda mini tua yang rantainya selalu bernyanyi, Supriati membonceng Anis melewati jalan setapak berbatu pinggir sawah menuju rumah salah satu saudara jauhnya yang tinggal di pinggiran desa.

"Budhe Tun rumahnya di mana, sih, Buk? Kok perasaan dari tadi kita muter-muter terus gak sampe-sampe." Seumur-umur, Anis memang belum pernah sekali pun pergi ke rumah saudara ibunya yang satu ini. Bertemu pun hanya satu dua kali saat berkumpul di rumah neneknya dan kebetulan budhenya ikut datang.

"Bentar lagi juga sampai, sabar, ya. Memang jalannya muter gini, Nduk."

"Trus, kenapa kita ke sana?"

"Ibuk mau pasang pengasih sekalian sikep* biar auramu keluar dan gak gampang terpasang jerat halus."

(Sikep: jimat.)

Anis mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Memiringkan kepala ke kiri sambil bertanya, "Sakit nggak, Buk?"

"Kalau masang gak sakit, kalau lepas iya dikit, paling meriang satu dua hari," jawaban Supriati tidak sepenuhnya benar, tapi dia juga tidak ingin menakuti putrinya.

Sisa perjalanan dilalui dalam diam, tak butuh waktu lama hingga mereka tiba di depan sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah sedikit miring. Hanya ada satu pintu dan jendela sederhana, berwarna cokelat alami, yang tertutup rapat. Pagar bambu setinggi pinggang juga tertutup, sangat sunyi, tampak seperti gubuk kosong yang ditinggalkan jika saja halaman tidak bersih.

PANTANGWhere stories live. Discover now