05. Pusara

57 12 7
                                    

Seorang petugas kepolisian menghampiri Erizal yang terduduk dengan mata sembap di selasar rumah sakit. Pemuda itu tak henti menyesali keputusan egoisnya meninggalkan amak sendirian. Nara dan Herman yang berusaha menghibur, tidak mampu berbuat banyak.

"Saya turut berduka atas kehilanganmu. Autopsi forensik dan klinis sedang dilakukan petugas medis. Semoga hasilnya bisa segera kamu dapatkan," ucap petugas tersebut penuh empati.

"Meskipun dari temuan meninggalnya ibumu tidak ada yang janggal, kami melakukan autopsi untuk memastikan tidak ada unsur kriminal yang dialami ibumu," lanjutnya lagi.

"Terima kasih, pak," ucap Erizal lemah. Dia menoleh ke arah Nara dan Herman yang menatapnya dengan iba.

Petugas itu hendak berlalu, namun dia kembali berbalik menghampiri Erizal dan memberi isyarat kepada Herman dan Nara agar memberi mereka ruang bicara berdua.

"Saya tadinya ragu menyampaikan ini kepadamu," ucapnya setengah berbisik.

"Entah kenapa, saya melihat beberapa hal janggal di kamarmu. Pada sudut dinding kamarmu, saya melihat seperti jejak... ehm, saya tidak bisa pastikan," lanjutnya ragu.

"Jejak itu memanjang hingga langit-langit kamar. Bukti seperti ini tidak menunjukkan apa-apa dalam sebuah kasus, karena bisa saja dianggap sebagai bercak atau noda dinding biasa."

Petugas itu lalu mengeluarkan secarik kertas terlipat dalam sebuah plastik, lalu dengan hati-hati, dia membuka kertas itu dan menunjukkan kepada Erizal.

"Karena ini menjadi temuan barang bukti TKP, saya hanya bisa menunjukkan saja kepadamu. Kertas ini saya ambil dari tangan ibumu." ucapnya.

Terlihat tulisan-tulisan yang tidak Erizal mengerti dan pola berbentuk rajahan pada kertas itu.

"Boleh saya foto, pak?"

Petugas itu mengangguk. "Semoga informasi ini berguna untukmu," ucapnya menepuk lembut pundak Erizal dan berlalu sambil melipat dan memasukkan kertas tadi ke dalam kantong jaketnya.


***


Amak dimakamkan di taman pemakaman umum. Selain Herman dan Nara, hanya beberapa tetangga yang hadir dan menghibur Erizal. Tidak menunggu lama, pemakaman itu kini hanya menyisakan mereka bertiga yang membisu dengan pikiran masing-masing.

"Kalian duluan saja, saya masih ingin disini sebentar," ucap Erizal menatap Nara dan Herman yang terlihat enggan meninggalkannya sendiri.

"Beneran, nggak apa-apa. Aku butuh waktu sendirian," ucapnya lagi. Herman menghela napasnya dan menggamit tangan Nara, mengajaknya meninggalkan Erizal.

Pemakaman itu kini benar-benar sunyi. Hanya ada Erizal yang duduk tepat di samping nisan papan Amak. Dia berguman sendiri seolah berbicara dengan ibunya, menumpahkan semua penyesalan-penyesalan dan tak henti mengutuki keputusannya meninggalkan amak sendirian.

Hampir menjelang waktu maghrib ketika Erizal dengan berat hati berdiri dan akan meninggalkan pemakaman ketika seorang pria tua  berkulit legam datang dan menghampiri

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

Hampir menjelang waktu maghrib ketika Erizal dengan berat hati berdiri dan akan meninggalkan pemakaman ketika seorang pria tua  berkulit legam datang dan menghampiri. Keriput di wajah dan lehernya menunjukkan usianya sudah sekitar 60 tahun.

"Saya turut berduka, anak muda..." sapanya datar. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi ketika mengucapkan itu.

Erizal menatap lelaki tua di depannya itu berusaha mengenalinya. Namun dia yakin baru pertama kali bertemu. "T... Terima kasih, Pak," ucap Erizal gugup.

Meskipun berbadan kurus, tapi entah kenapa Erizal merasa terindimidasi ketika beradu pandang dengannya. Lelaki tua itu menyeka kumis dan janggutnya yang penuh uban dan kurang terawat, lalu dia merogoh sesuatu dari kantong kemeja flanelnya dan menyerahkan selembar foto kepada Erizal.

Erizal menerima foto hitam putih itu dan melihat gambar sepasang pengantin di dalamnya. Dia tidak mengenal lelaki di dalam foto itu, tetapi gambar wanita itu adalah Amak. Kening Erizal berkerut dan menoleh kepada lelaki tua itu meminta penjelasan.

"Kakekmu sudah mencari kalian bertahun-tahun, saya ditugaskan untuk mencari tempat tinggal kalian, namun baru saja kami menemukan kalian, sudah terlambat. Ibumu..." Dia tidak melanjutkan ucapannya, hanya melirik sekilas ke pusara Amak yang tanahnya masih merah.

"Ini ayah saya?" tanya Erizal memastikan. Ini untuk pertama kalinya Erizal melihat wajah ayahnya, laki-laki yang selama ini tidak pernah dia ketahui. Lelaki tua itu mengangguk.

"Kakekmu menunggu kedatanganmu di kampung. Pulanglah, kamu akan menemukan siapa diri kamu sebenarnya. Sesuatu yang selama ini tidak pernah kamu temukan jawabannya," ucap lelaki tua itu.

Degup jantung Erizal berdetak tidak menentu. Lelaki tua di hadapannya ini merupakan kunci dari semua pertanyaannya selama ini. Tapi apakah dia bisa dipercaya?

"Kamu boleh menghubungi saya kalau ingin mengunjungi tanah kelahiranmu. Saya akan pulang ke kampung hari ini, kita bertemu di sana dan saya akan mengantarkan kamu ke rumah kakekmu. Di balik foto itu ada nomer ponsel saya. Hubungi saya tepat ketika engkau sampai," ucapnya. Lelaki tua itu melangkah pergi dengan tenang.

Erizal membalik foto itu. Hanya ada tulisan sebaris nomer ponsel, Pasar Koto Baru dan nama lelaki itu; Sutan Rajo Itam.


***



Lembah BunianМесто, где живут истории. Откройте их для себя