01. Lebam

152 10 7
                                    

Erizal berdiri bertelanjang dada di depan cermin kamar mandi. Matanya menatap bayangan tubuhnya dari balik pantulan cermin. Terlihat lebam-lebam dan bercak merah kebiruan di bagian dada dan bahunya. Lelaki muda itu menghela lalu mengembuskan napas panjang sambil menyentuh bagian tubuhnya yang lebam.

Dia tidak tahu pasti sejak kapan lebam itu mulai muncul dan menghilang secara misterius dari kulitnya. Yang jelas setahun belakangan, lebam itu semakin kerap muncul. Meskipun tidak terasa sakit, namun lebam itu cukup mengganggu penampilannya apabila muncul di bagian yang tidak tertutup oleh pakaian.

Tetes air dari keran wastafel yang tidak tertutup sempurna jatuh satu-satu. Gelembung udara dalam jentik air itu membuat bunyi gemercik yang konsisten ketika tetesannya pecah membentur dasar wastafel..

Suara seorang wanita memanggil namanya, "Zal, Erizal...."

Wajah Erizal seketika berubah kesal. Dia mengenakan baju dan merapikan penampilannya lalu keluar dari kamar mandi dengan sedikit tergesa.

Seorang perempuan paruh baya terlihat memegang sebuah bungkusan berbalut kain putih seperti jimat, berdiri menunggu Erizal. Usianya masih sekitar empat puluh lima tahun, namun wajahnya jauh terlihat lebih tua dari usianya. Rambutnya yang memutih digelung seadanya dengan ikat karet, sementara kerutan mulai menghiasi sudut mata dan pipinya yang tirus.

"Zal, wa'ang lupo mambaok iko. Jan ditinggakan barang ko. Baok taruih kama pun wa'ang pai." [Zal, kamu kelupaan membawa ini. Jangan tinggalkan barang ini. Selalu bawa kemanapun kamu pergi.]

Erizal menatap wajah wanita paruh baya bertubuh kurus di depannya dengan raut kesal, tidak berusaha untuk mengambil jimat yang diulurkan ibunya itu.

"Mak, sudah berkali-kali ambo [saya] bilang. Jangan percaya samo [sama] hal-hal indak [tidak] masuk akal seperti ini."

"Ondeh, Nak... Iko [ini] bisa melindungi..."

"Melindungi dari apo? Melindungi dari sia [siapa]?" potong Erizal cepat.

"Amak menyuruh membawa iko, tapi indak [tidak] pernah menjelaskan setiap ambo batanyo [bertanya]. Indak! Ambo ndak nio!"[Tidak! Saya tidak mau!]lanjutnya ketus.

Erizal buru-buru pergi keluar rumah, membanting pintu meninggalkan ibunya yang menangis memanggil-manggil namanya. Amak menggenggam jimat itu kuat-kuat dengan raut cemas.


***


"Aku sudah nggak tahan tinggal sama ibuku, selalu saja meracau tentang hal-hal tidak masuk akal," sungut Erizal kepada wanita muda manis berkulit putih dengan gingsul menggemaskan setiap dia tersenyum yang duduk di hadapannya.

Nara berhenti memainkan ponselnya dan menaruhnya di atas meja, lalu bertanya, "Kalian ribut lagi?"

Ditatapnya lelaki berambut sedikit ikal berusia 24 tahun itu dengan wajah kurang suka. Yang ditanya tidak menjawab, hanya mendengus kesal.

"Tidak baik lho, Zal. Sebagai anak, kita nggak boleh ngelawan orang tua. Apalagi kamu kan cuma tinggal berdua sama ibumu. Kasihan beliau." Nara mencoba menasihati temannya itu.

"Kamu nggak paham. Amak sering bertingkah aneh, membicarakan hal-hal diluar akal sehat dan sering berhalusinasi merasa sedang dikejar-kejar seseorang. Kadang tengah malam Amak berteriak-teriak histeris tanpa sebab," jelas Erizal.

Dia kesal karena setiap menceritakan ini kepada Nara, wanita ini selalu saja membela Amak.

"Yah, setidaknya kamu beruntung masih punya ibu. Aku mah punya, tapi ibu tiri," ucap Nara menghibur.

Mereka berdua berteman dekat sejak kuliah. Meskipun sekarang Nara sibuk menjadi seorang streamer di TikTok dengan ratusan ribu followers, namun sesekali mereka masih nongkrong berdua dan saling curhat tentang banyak hal.

Erizal tidak pernah tahu asal-usulnya dengan jelas. Yang dia tahu, dia berasal dari daerah Padang karena sejak kecil, Ibu Maharani, Amaknya berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa minang, meskipun dia selalu membalas dengan bahasa Indonesia karena besar di Jakarta.

Amak tidak pernah mau menceritakan lebih detail tentang asal-usulnya. Siapa ayahnya, kenapa mereka tinggal di Jakarta sejak Erizal kecil dan kenapa mereka beberapa kali berpindah tempat tinggal. Terakhir kali mereka pindah rumah, ketika Erizal menginjak bangku kuliah.

Sejak itu pula Ibu Maharani merintis warung nasi padang kecil-kecilan yang bisa membiayai hidup mereka berdua hingga sekarang. Meskipun warung itu sering tutup karena Ibu Maharani entah karena alasan apa sering tiba-tiba merasa ketakutan dan menolak berjualan.

"Menurutmu, gimana kalau aku nyari kosan aja dekat kantor?" tanya Erizal.

Nara mengerutkan keningnya. "Kamu tega ninggalin ibumu sendirian?" tanya Nara heran.

"Aku terpaksa, Nara. Kamu kan tahu aku baru dapat kerjaan. Kalau suatu hari entah dengan alasan apa Amak melarangku berangkat kerja, bisa-bisa aku dipecat atasan," jawab Erizal lirih.

Dia sebenarnya sangat menyayangi Amak, namun belakangan, sikap Amak yang semakin aneh, mengganggu pikirannya. Amak selalu menolak setiap Erizal mengajaknya ke dokter atau psikolog. Itu pula yang membuat Erizal semakin frustrasi.

Nara tidak menjawab, hanya mengangkat bahu tanda dia tidak setuju dengan rencana sahabatnya.

"Aku janji, kok. Bakalan pulang sesering mungkin untuk memastikan Amak baik-baik saja," Erizal berusaha meyakinkan.

Belum sempat Nara menjawab, dia terlihat ketakutan melihat wajah Erizal. "Eh, kenapa hidungmu?" tanya Nara panik.

Erizal menyeka hidungnya. Darah segar mengucur membasahi punggung tangannya.

***

Lembah BunianOù les histoires vivent. Découvrez maintenant