03. Pindah

60 10 7
                                    

Waktu Isya sudah satu jam berlalu namun Erizal belum selesai merapikan kamar kos barunya ketika seorang pemuda datang sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Badannya agak gempal dengan kumis dan janggut tipis kurang terawat, menghiasi wajahnya. Topi caps denim biru dengan bagian lidah melengkung yang dikenakannya, diputar terbalik ke belakang.

"Tetangga baru, nih." sapanya cengengesan. Tingkahnya tengil dan tubuhnya tidak bisa diam. Dia melongokkan kepala berusaha melihat ke dalam kamar dengan lebih jelas.

Erizal hanya mengangguk tersenyum kecil.

"Siapa namanya, Mas?" tanyanya lagi.

"Erizal Mahzar... Teman-teman biasa memanggil saya Zal," jawab Erizal ramah.

"Eh, Erizal? Kenapa namanya mirip nama orang Padang?" tanya Pria itu penasaran.

"Iya, saya keturunan Padang," jawab Erizal lagi.

"Wuih, dunsanak, mah. Urang awak kironyo!" [Wah, saudara. Ternyata orang minang] seru pria itu.

"Kenalkan bang, namo ambo Herman Piliang, asli Kuranji, Padang," lanjutnya lagi.

Mendadak logat minangnya keluar karena mengira Erizal bisa berbahasa minang seperti dirinya.

Erizal mengangguk dan berkata, "Iya, saya memang orang minang, tapi tidak begitu lancar ngomong minang. Maklum, sejak kecil sudah tinggal di Jakarta. Tapi tenang saja, saya mengerti semua ucapan kamu."

"Dimana kampung, Bang?" tanya Herman yang terlihat makin penasaran.

Erizal menggeleng dan menjawab, "Amak tidak pernah cerita asal saya dari kampung mana. Sejak kecil saya juga tidak pernah sekalipun pulang ke kampung halaman."

Herman heran dan bergumam, "Ba'a lo paja ko. Indak tantu kampuang halaman surang." [Gimana sih orang ini, masa kampung halaman sendiri tidak tahu.]

Erizal hanya nyengir mendengar gerutuan Herman, dia tidak merasa harus menjelaskan lebih jauh kepada orang yang baru saja dia kenal.

Sebenarnya Erizal ingin segera menyudahi basa-basi ini, namun dia mencoba menghargai Herman. Toh suatu saat dia pasti akan butuh bantuan atau minimal dengan mencoba bersikap ramah, dia tidak menambah musuh di tempat tinggal barunya.

"Kerja di mana, Bang?" tanya Herman lagi seperti tidak kehabisan pertanyaan.

"Di perusahaan marketing agency dekat sini," jawab Erizal singkat meskipun dia mulai kesal karena merasa pembicaraan ini seperti tidak akan berakhir.

"Ajak-ajaklah saya kerja di sana, Bang," cerocos Herman dengan bahasa Indonesia yang kental dengan logat Padang. Terlihat jelas dia berusaha keras mengimbangi logat Erizal.

"Emangnya kamu nggak kerja?" tanya Erizal sambil melanjutkan pekerjaannya tanpa menoleh.

"Eits, saya ini pernah kerja di banyak tempat, Bang. Konter handphone pernah, kasir mini market pernah, jadi kurir ekspedisi juga pernah. Tapi karier saya tidak berkembang disana, Bang. Siapa tahu di kantor Abang karier saya bisa naik, jadi eksekutif muda pula saya disana. Kan bangga orang tua saya jadinya, Bang," jawab Herman berapi-api masih dengan logat campurannya.

"Oh, orang tuamu masih ada?" tanya Erizal.

"Masihlah, Bang. Orang tua saya jualan pakaian di Mangga Dua. Sejak saya SMA, kami merantau ke Jakarta dan tinggal di Sawah Besar," jelas Herman.

"Trus, kenapa kamu ngekos?" Erizal penasaran apakah Herman juga sama seperti dirinya yang memiliki masalah dengan orang tua.

Herman menggeleng-geleng sambil berkata, "Bang...Bang...Bang... Awak pemuda minang ini pantang tinggal menyusu sama orang tua, apalagi umur udah segini. Ambo harus bisa membuktikan mampu mencari pitih surang [uang sendiri]. Baa ka kawin kalau alun punyo pancarian? [Bagaimana mau nikah kalau tidak punya penghasilan?]" Herman menjawab dengan serius, namun rautnya tetap terlihat konyol.

Erizal tertawa geli mendengar ocehan tetangga barunya. Agak annoying memang, tapi Herman sepertinya adalah pemuda yang baik, hanya saja dia tidak sadar sikapnya yang sok akrab kerap mengganggu lawan bicaranya.

"Baiklah, nanti kalau ada lowongan di kantor, saya kabari. Maaf saya lanjut beres-beres dulu, ya," ucap Erizal berusaha menutup percakapan.

"Oke, oke Bang. Nanti kalau ada apa-apa, Abang jangan ragu minta tolong saya, kamar saya tiga pintu dari sini," jawab Herman sambil menunjuk arah kamarnya.

Erizal mengangguk dan berjalan menuju pintu. Sebelum dia menutup pintu, wajah herman muncul lagi di sela pintu. Kaki kirinya mengganjal agar daun pintu tetap terbuka.

"Bang, ada rokok sebatang?" tanya Herman dengan tampangnya yang menyebalkan sambil menempelkan dua jarinya di bibir memberi isyarat orang sedang merokok.

"Saya tidak merokok," jawab Erizal sambil buru-buru menutup pintu dan menguncinya.

Dengan malas Erizal menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pikirannya menerawang mengingat kembali keputusannya untuk pergi. Bukan hal yang mudah buatnya pindah ke kos ini dan meninggalkan Amak sendirian di kontrakan mereka.

Atasannya di kantor telah beberapa kali menegurnya yang datang terlambat dan mengancam kalau Erizal masih tidak berubah, maka perusahaan akan langsung memecatnya. Merasa kalau salah satu penyebab keterlambatannya adalah pertengkarannya dengan Amak yang terjadi hampir setiap pagi, Erizal memutuskan untuk pindah.

Amak menangis meratap ketika Erizal menyampaikan hal itu. Bukan karena takut ditinggal sendirian, Amak malah mengkhawatirkan Erizal yang hidup sendiri tanpa pengawasannya.

Malam itu Erizal kembali bermimpi masuk ke dalam hutan lumut, namun bukan lagi Amak yang dilihatnya dalam mimpi itu, melainkan sesosok mirip manusia yang berjalan sedikit membungkuk.

Ketika sosok itu menoleh padanya, Erizal melihat yang membedakan sosok itu dari manusia biasa adalah sosok itu tidak memiliki garis atau celah di antara hidung dan bibirnya. Makhluk itu berkelebat di sela-sela pepohonan lalu kemudian menghilang dalam lebatnya rimba.   


***

Lembah BunianWhere stories live. Discover now