11. Ketahuan

127 32 36
                                    

— 𝘓𝘌𝘔𝘉𝘈𝘙 𝘛𝘌𝘙𝘈𝘒𝘏𝘐𝘙 —

Aya tidak ingin rumah baru, Aya tidak ingin tempat pulang baru. Akan tetapi, apa yang dilakukan Teh Ajeng kepadanya sudah melampaui batas. Bagi Aya, Teh Ajeng keterlaluan. Membela Ana, bahkan sampai menyinggung perasaan Aya dengan lebih menggunggulkan gadis itu.

Melati Arumnika.

Ibu Aruna yang begitu baik membukakan pintunya untuk Aya, berkata bahwa Aya bisa datang kapan saja ke rumahnya. Bahkan, Ajeng juga mengenal Ibu Melati ini, sebab mereka pernah bertemu saat pembagian rapor kelas sepuluh.

"Benar sudah sarapan, ya?" tanya Melati.

"Benar, Tante."

"Ya sudah, kamu istirahat saja." Melati membelai surai hitam Aya.

"Tante, terima kasih banyak, ya." ungkap Aya, ia menahan pergelangan tangan Melati belum siap ditinggalkan. "Aya ngga mau ngerepotin Tante sebenarnya, tapi Aya ngga kuat kalau pulang."

"Ngga apa-apa, Aya," balas Melati. "Kan, Tante sudah bilang kalau kamu boleh ke sini kapan saja. Daripada di rumah sendirian, lebih baik di sini sekalian, supaya Tante ada teman juga."

"Seandainya Aya ngga dilahirkan, pasti Teh Ajeng bisa bahagia sama Ibu," gumam Aya.

"Jangan bicara seperti itu, Ay." Melati mengusap lengan Aya yang memeganginya. "Ibu kamu bisa sedih kalau mendengarnya."

Aya menganggukan kepalanya, dia berterima kasih kepada Ibu Melati yang menyadarkan dirinya bahwa kehadiran dia di dunia ini bukanlah kesalahan. Lagipula Ayah dan Teh Ajeng tidak pernah menyalahkan Aya, sepanjang hidupnya Aya selalu diutamakan. Tapi sepertinya hal itu tidak lama lagi akan berubah, sebab kehadiran Ayana Bintang Darmawan siap menggantikan posisinya.

"Tante ke dapur dulu, nya," pamit Melati. "Nanti Tante ke sini lagi."

"Sekali lagi maaf dan terima kasih, Tante."

Melati balas tersenyum, dia mengusap dahi Aya sebelum pada akhirnya beranjak pergi keluar dari kamar tersebut. Ketika Aya datang ke sini, wajahnya pucat sekali, tentu saja Melati cemas dan segera membawanya masuk ke kamar Aruna. Bahkan, Aruna yang membukakan pintu kamarnya untuk Aya.

Sepasang mata Aya terpejam, kepalanya benar-benar berat dan butuh sekali waktu untuk tidur. Namun, notifikasi pesan masuk malah mengganggu waktu tidurnya. Sebelah tangan Aya meraba-raba, mencari keberadaan ponselnya yang ditaruh di samping.

Teh Ajeng♡

Aya, di mana?
Teteh lagi di sekolah kamu

Kamu ingat, 'kan?
09.46 a.m

Aya lagi belajar
Jangan diganggu
09.47 a.m

Oh, ya sudah
Teteh langsung ke kantor saja
Belajar yang benar
09.47 a.m

Aya empas ponselnya ke samping kanan, lalu ia berbalik membelakangi benda pipih canggih itu untuk lanjut beristirahat. Dia berbohong kepada Teh Ajeng, tapi sepertinya tidak akan ketahuan.

"Aish, nyebelin banget, sih!"

Tidak bisa. Aya tidak bisa tidur kalau begini, dia merasa bersalah karena sudah membohongi Teh Ajeng. Dia mulai gelisah, takut Teh Ajeng datang ke kelas lalu tidak melihat dirinya di kelas. Bisa menambah masalah kalau sampai ketahuan.

Aya membalik tubuhnya lagi, dia merogoh ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada temannya. Harus ada salah satu yang diajak kerja sama, karena takutnya Teh Ajeng nekat ke kelasnya. Belum juga Aya mengirimkan pesan kepada salah satu temannya, Teh Ajeng sudah lebih awal mengirimkan pesan.

Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang