Chapter Four

5 2 0
                                        

Seperti halnya malam ini, gerimis mengundang misteri untuk bertindak lebih ataupun menahannya dalam awan yang membendung, yang ingin meluapkan untuk menumpahkan air bah untuk merugikan orang lain atau memilih diam dan menahannya dalam awan awan mungil.

Perihal dua pilihan yang tak seharusnya menjadi pilihan

Ketika hadir daripadaku bahagia, meluapkan rasa ingin berbagi pun enggan kulakukan, rasanya hanya seorang istimewa yang ku ijinkan mendengar bisik lirih bahagiaku.

Hanya teruntuk raga, jasad, dan Tuhanku yang boleh tahu.

Namun mungkinkah ini telah menuju puncak tertinggi apa itu bahagia, hingga akhirnya pecah dalam lontar kata senandung tak bersuara.

Percikan api pun masih keras kudengar, namun ini beda bukan soal percikan api yang bergejolak ataupun yang hampir padam sebab terlalu bahagia berlebihan.

Petang pun paham bahwa surya akan hilang, dan surya juga paham bahwa ini adalah waktu bahagia rembulan menyapa mahluk Tuhan.

Tiada yang takkan merasakan bahagia di dunia ini, biarpun air mata ia juga pernah bahagia.

Seakan tak terlihat pancaran sinar pancawarna yang melipir ke arah bosan, yang kulihat malah mereka kegirangan menorehkan tinta beranekaragam tuk mengekspresikan rasa yang dimaksudnya.

Tak terhingga ternyata engkau bercerita, hingga pada akhirnya cerita yang kau simpan rapat rapat itu tersebar tak sengaja dengan cerita bernada tanpa sadar.

Kupeluk tubuh menggigil ini dengan erat, nampak tak ikhlas saja rasanya menerima kenyataan

Bak daun putri malu yang tersipu malu mengakui bahwa ia pernah disentuh, dengan sekuat tenaga ia bangkit untuk tak disebut rapuh ataupun jatuh.

Katanya hanyalah omong kosong yang berisikan kata tak pasti, baru saja kau bercerita begini, langsung kau sebar entah kemana untuk menarik simpati.

Bukan untuk seluruh isi bumi tahu tentangku, cerita ini kuucapkan untuk engkau yang kupercaya, namun janganlah kau manfaatkan kesempatan emasmu sebagai seorang yang tak lagi dapat kupercaya, hanya karena katamu kepadanya tentang diriku, biarkan telingamu saja yang mendengarnya.

Entah kemana aku akan pergi, menceritakan keluh kesah dan cerita bahagiaku agar hanya sepi seorang yang mendengarnya, agar hanya Tuhan dan aku yang tahu gambaran ceritanya, andai saja aku bisa diam rapat rapat tak terlalu banyak bicara, mungkin tidak akan ada penyesalan yang tak beraturan seperti ini.

Aku pernah berfikir andai aku bisa menarik semua ucapan yang pernah kuutarakan kepadanya mungkin aku takkan se khawatir ini, aku lebih tenang dan tak banyak berkeluh kesah tentang keadaan.

Dunia aku rindu kesepian bicaraku, tanpa ada yang harus paham maksudku untuk dapat kuajak berdebat tentang bahagiaku .

Terlalu ramai membuatku lebih lelah menaruh hati, terlalu ramai pula aku kesulitan menemukan jalan ketenangan untuk pikiran yang kadang kadang berubah ubah ini.

Disetiap detik kata yang ingin kuucap dalam dalam, hanya ketenangan dan kedamaian yang kuharapkan datang.

Selagi aku dapat memahami diriku tentang perbedaan pokok perhatian ini, aku masih sedikit mampu menahan mampuku untuk cepat pergi.

Duhai dikau yang Maha Tahu tentang mahlukmu, jadikan ketenangan dan kedamaian ini menemaniku membangkitkan semangatku mengejar mimpi mimpi yang tinggi.

Bukan sekedar ingin ku raih ataupun kugapai namun ingin kugenggam erat di tangan yang penuh harapan ini.

Dari tenang aku akan paham, apa maksud dari diriku yang lama terbungkam oleh ramainya omong kosong yang berkelanjutan.

thank you, so few scribbles for chapter four hope you like it.

#jangan lupa vote and comment
#pantau terus ceritanya
#jangan lupa baca juga cerita satunya " Nostalgia Abi dan Zahra "

iNTRoVeRTWhere stories live. Discover now