Bogor, 2015.
Alphard putih berhenti di depan rumah yang masih sama warna cat-nya seperti ingatan Dewa enam tahun lalu. Sebelum membuka pintu, Dewa memandangi rumah itu dari kaca mobil dengan hati yang teriris oleh rasa bersalah. Mencoba mengukuhkan diri untuk bisa menemui perempuan yang entah kini masih sendiri atau telah berhasil mencari pengganti.
Dewa ingat bentuk di tiap sudut rumah itu –rumah yang dulu jadi tempat pelariannya. Kalau belum berubah, akan ada kolam ikan dan pepohonan yang menyambut setelah memasuki pagar, deretan sofa berwarna krem di ruang tamu dan sofa panjang warna hitam di ruang tengah depan TV –tempat yang sering jadi tempat nongkrongnya dengan Maura dan kadang juga Nando, lalu ruang makan dengan enam kursi, tangga di belakang sofa ruang tengah yang mengarah ke kamar Maura dan orangtuanya, di belakangnya terdapat dapur bersih nuansa putih –tempat dulu dia sering menyeduh mie instan untuk jadi pendamping nonton DVD, dan di samping pintu yang mengarah ke taman belakang terdapat ruangan yang dijadikan perpustakaan kecil sekaligus ruang kerja Pras.
Tak hanya bentuk dan isi rumah yang Dewa ingat, kenangan-kenangan yang tercipta di rumah itu juga masih jelas Dewa ingat. Rasanya seperti baru kemarin dia berada di masa itu.
"Wa?"
Suara Luna menyadarkannya dari kenangan tentang rumah itu. Dewa pun menoleh dan tersenyum.
"Thanks, ya, Lun, udah mau repot-repot nganter ke sini," kata Dewa.
"Sama-sama. Aku langsung balik, ya, Wa. Salam buat Maura."
Dewa mengangguk lalu membuka pintu mobil. Kopernya dibantu turunkan oleh supir Luna. Kemudian, mobil putih itu membunyikan klakson dan berjalan pergi.
Kembali memandangi rumah berpagar hitam itu, Dewa lagi-lagi menguatkan hati untuk bisa menerima segala kenyataan yang akan terjadi di hadapannya nanti. Entah rumah ini bukan jadi rumah keluarga Maura lagi, entah orang yang dicarinya sedang tidak berada di rumah ini, atau entah Maura akan menerima kedatangannya lagi atau tidak.
Untuk menebus kesalahannya enam tahun lalu, Dewa pun melangkahkan kaki medorong pagar tersebut dengan keberanian tinggi. Bersiap menerima apapun kenyataan yang akan terjadi.
"Iyaaaa, sebentar."
Suara yang masih sama seperti saat dulu menyambutnya dari balik pintu setelah membunyikan bel. Membuat Dewa merasa lega karena pemilik rumah ini masih sama.
"Good night, Bi Kokom," sapa Dewa penuh yakin setelah pintu dibuka.
Yang disapa terkejut bukan main. Matanya membesar, mulutnya menganga, telapak kakinya serasa tidak menapak bumi.
"Den Dewa?!"
Dewa mengangguk sambil tersenyum, lalu mengambil tangan Bi Kokom untuk dicium.
"Eh, ya ampun!" Bi Kokom menarik tangannya dan mencium lagi tangannya sendiri. Kalau kata orang dulu, supaya rezekinya ikut mengalir ke diri sendiri. "Ini Den Dewa, kan??!! Gak mimpi ieu, teh? Hah?! Jawab! Beneran bukan siluman, nya?"
"Bener, Bi, ini saya nggak melayang buktinya," jawab Dewa tertawa-tawa.
"Gustiiiii!" Bi Kokom refleks memeluk Dewa walaupun badannya masih bau bumbu dapur. "Den Dewa dari kapan balik ke Indonesia?! Baru nyampe? Ini bawa-bawa koper ke sini mau tinggal di sini?!" Bi Kokom melepaskan pelukannya. "Eh, maap ya, Den, Bibi replek. Saking kangennya sama Den Dewa, udah lama banget, atuh, ih."
Dewa tertawa ngakak. "Saya baru aja landing, emang boleh numpang hidup di sini, Bi?"
"Eh, nggak tau ya, bukan rumah Bibi sih."
"Hahaha! Bi Kokom udah makin pinter bahasa Inggrisnya belom?"
"Hah!? Emang Den Dewa udah inget lagi? Iya?"
"Bibi orang pertama yang saya inget!"
"Aaahh, Bibi terharu."
Dewa cuma tersenyum-senyum. "Maura ada di rumah, Bi?"
"Jam segini mah masih ada di–"
"Dewa?!"
Dari belakang Bi Kokom, suara lain muncul. Membuat Dewa menatapnya dari atas kepala Bi Kokom lalu tersenyum dan mengangguk sopan. Ah, Dewa kira siapa.
"Halo, malem, Tante Finda," sapa Dewa seperti pamer karena telah mengingat nama mamanya Maura.
Finda mengekspresikan keterkejutan yang sama seperti Bi Kokom. Buru-buru wanita itu menghampiri dan memegangi lengan Dewa demi membuktikan pada diri sendiri kalau yang dilihatnya ini adalah nyata.
"Beneran ini Dewa, kan? Kapan pulang dari Jerman, Dewa? Ya ampun, kamu sehat-sehat aja, kan? Kamu inget sama Tante?"
Rentetan pertanyaan dari Finda membuat Dewa tersenyum lagi. "Dari bandara langsung ke sini, Tan. Dan alhamdulillah saya udah inget semuanya. Maaf, ya, Tan, dulu udah banyak ngerepotin, maafin juga kalo saya sempet nggak inget sama Tante dan Om. Bahkan nggak sempet pamit sebelum berangkat ke Hamburg."
"Ih, nggak masalah," Finda mengelus-elus lengan Dewa lagi, seperti masih tak percaya sosok ini berdiri lagi di hadapannya. Dia langsung teringat dengan putrinya, pasti akan sangat bahagia sekali. "Bi, tolong telfon Maura suruh pulang, ya," ujar Finda pada Bi Kokom yang langsung mengangguk dan berjalan cepat menuju telepon rumah.
"Ayo, masuk, Dewa. Duh, Om Pras pasti kaget banget tau kamu udah pulang. Seneng banget pasti kalo tau kamu udah inget sama dia lagi."
"Hehehe, iya, Tan."
Dewa mengikuti Finda ke ruang tamu, kopernya ditinggal di teras. Dulu, bukan ruangan ini yang sering diduduki olehnya, dulu tidak harus disambut seperti ini jika datang ke sini, dulu bahkan tidak harus menekan bel atau mengetuk pintu. Tetapi sekarang Dewa merasa jadi tamu di sini.
"Sebentar, Tante panggil Om Pras dulu, ya."
"Gak usah, Tante, nanti ganggu Om Pras."
"Ganggu apaan! Bentar, ya, sambil nunggu Maura pulang."
Dewa pun akhirnya mengangguk. Setelah Finda menghilang dari tangga, Dewa melihat-lihat keadaan sekeliling rumah. Benar-benar tidak ada yang berubah sama sekali. Reka ulang kejadian di dalam rumah ini langsung memenuhi kepala Dewa. Tentang dia yang bolak-balik dengan seragam sekolah, tentang Maura yang beberapa kali mengomelinya gara-gara mengjarkan bahasa asing yang tidak sopan pada Bi Kokom, dan semua tentang mereka yang selalu menghabiskan waktu bersama di rumah ini setiap hari.
Tak lama kemudian, Pras datang dan berbincang dengan Dewa. Membunuh waktu sampai menunggu Maura datang.
Namun tiga jam berlalu sampai pukul sepuluh malam, Maura tak juga datang. Ekspresi tak enak juga sudah terlihat di wajah Finda dan Pras. Mereka bolak-balik menanyakan Bi Kokom posisi Maura. Dan dari raut wajah Bi Kokom, sudah dapat dibaca jawabannya oleh Dewa.
Maka saat itu Dewa baru sadar; bahwa Maura tidak ingin menemuinya.
Dan tidak bisa semudah ini dia datang pada seseorang yang punya luka paling dalam atas kepergiannya enam tahun lalu.
Artinya, bukan malam ini dia bisa melepas rindunya bertemu dengan Maura.
Dewa harus lebih berjuang lagi jika ingin diterima kehadirannya lagi oleh Maura.
***
YOU ARE READING
Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]
RomanceKetika kisah mereka telah menjadi masa lalu bagi orang lain, tapi baginya hanya seperti kemarin. Banyak hal berubah, tapi ia masih tetap di perasaan yang sama. Kedatangannya kembali ingin mengulang kisah yang dulu ia tinggalkan. Mengejar lagi seseor...
![Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]](https://img.wattpad.com/cover/107761384-64-k558045.jpg)