[5] Before We Know Something Wrongs

35 9 0
                                    

___

Hopelly, kalian bakal banyak memberi komentar/review/kesan serta vote for me in this chapter. I really apreciation for that. Semangat nulisku dari kalian!

___

Tak biasanya kepribadian seorang Bram meledak-ledak. Kali ini ia sudah kalap emosi, seperti orang kalang kabut, bulak balik mengarungi koridor dan mendongak begitu seseorang keluar dari ruang interogasi. Alisnya menukik tajam. Sontak menyosor Airin bagai banteng merah di arena. "Mengapa kau melakukannya? Apa alasannya?!" Serunya bertubi-tubi.

"Cukup Bram, kita salah juga." Dua pemuda lain mencoba menengahi, menarik bahu kanan dan kiri Bram hingga mundur menabrak dinding belakang. Bagaimanapun, kedua pemuda itu yakni Hilal dan Moreno cukup setuju dengan kata-kata Bram. Ekspresi mereka keruh, menahan perasaan yang Airin cukup tahu itu.

Karena Airin merasakannya juga.

"Mengapa kau sangat membencinya hingga ingin membunuhnya?" Ujar Bram lagi masih dipenuhi bara api dalam citranya. Napasnya tersengal-sengal.

"Aku tidak membunuhnya!" Akui Airin, tetap tidak membuat yakin teman-temannya. "Aku tak berniat begitu!"

"Dia hilang Airin setelah banjir bandang, menurutmu dia masih hidup?!"

Airin mencelos. Memandang ke bawah lantai.

Bram kembali memajukan badan, menundukkan kepala menyejajarkan tinggi Airin sedang tangan Moreno dan Hilal masih tetap di posisi awal.

"Semua orang tahu, Airin, fakta bahwa kau membencinya. Sudah cukup lama kau sangat membencinya. Yang kami bertiga tahu Rey tidak membencimu. Ini kebencian satu arah. Apa masalahmu? Kau tahu kita berempat jadi tersangka sekarang." Bram mendesah berat, kemudian menjatuhkan tubuhnya pada kursi panjang disamping. Hilal mengikuti disebelahnya, tatapannya sangat kosong. Keduanya menontoni ubin seakan-akan ada atraksi menarik disana. Sedangkan Moreno duduk merosot ke lantai menyender dinding diseberang. Matanya tak melepaskan seinci pun tubuh bergeming Airin. Hening yang lama hanya diisi derai hujan deras diluar.

Airin kemudian sesegukkan. Kemudian menangis. Kemudian menjerit-jerit histeris.

Tak ada satupun yang berpindah posisi. Larut dalam amukan emosi masing-masing.

"Kalian temannya, tentu tidak mengerti." Gumam Airin tetap ditangkap indra pendengaran teman-temannya. "Bagaimana rasa dihina olehnya, mengenai latar belakang kalian, keluarga, rumah, bahkan diri kalian sendiri. Kalian tidak tahu kan, seberapa sering ia merebut perhatian guru, seakan-akan sekolah itu miliknya. Aku membencinya, kadang memang ingin membunuhnya, tapi itu tidak benar-benar."

Akhirnya Moreno mengacak-acak rambutnya frustasi. "Sekarang gimana?" Mendelik menatap semua teman-temannya. "Kita berempat jadi tahanan? Akan lebih baik salah satu dari kita masih diluar, setidaknya bisa membantu yang lain kabur."

"Kan masih ada Raday," Sahut Hilal tiba-tiba, kemudian turun dari kursi dan berjongkok di lantai. Entah bermaksud jenaka atau tidak, wajahnya kelewat serius. "Gunakan saja temannya."

Bram memutar bola mata jengah, berdecak sebal. "Setidaknya ungkap rencana kalian diluar kantor polisi, sialan." Kemudian ia meninju kursi besi yang didudukinya berulang kali hingga menimbulkan debuman sedang. Tak lama wajahnya mendongak memandang Moreno.

"Apa? Apa?" Sangsi Moreno agak risih sekaligus penasaran.

"Ayahmu Polisi kan?"

"TNI Bram, TNI."

"Dia bisa membantu mengeluarkan kita darisini?"

"TNI Bram, TNI. Memangnya kau teroris yang menggangu teritorial negara?"

PARALEL FUTUREWhere stories live. Discover now